-->

Imigran, Perdagangan Manusia Ilegal, Dimana Perlindungan Negara?


Oleh : Hasna Hanan

Memilukan dan sedih nasib imigran TKI indonesia yang bekerja di Malaysia, beberapa kali mengalami kriminalitas oleh aparat negeri Malaysia tanpa proses peradilan dan menguap begitu saja, baru-baru ini ditemukan 5 imigran yang terbunuh kembali, sehingga total jumlahnya sekitar 75 orang imigran meninggal setiap tahunnya dan berita ini dikutip dari BBC news, LSM Migrant Care mencatat setidaknya 75 pekerja migran Indonesia (PMI) telah meninggal selama 20 tahun terakhir, karena diduga extrajudicial killing atau pembunuhan oleh aparat.
Direktur Migrant Care, Wahyu Susilo menilai kasus serupa berulang dan menguap tanpa kejelasan.

"Kalau kita merunut peristiwa ini hampir terjadi setiap tahun dan penyelesaiannya enggak pernah tuntas," kata Wahyu kepada wartawan Johannes Hutabarat yang melaporkan untuk BBC News Indonesia, Selasa (28/01).

Oleh karenanya pemerintah Indonesia didorong menuntaskan kasus dugaan penembakan lima pekerja migran asal Indonesia (PMI) di Malaysia yang dilakukan oleh aparat hukum negara itu.

Sementara itu ditemukan adanya Penyelundupan calon tenaga kerja Indonesia secara gelap ke Malaysia yang telah menjadi "bisnis haram" miliaran rupiah dan  berlangsung secara tersistematis, terstruktur, dan masif, mulai dari jalur ilegal hingga pintu resmi.

Semuanya terorganisir rapi di bawah kendali apa yang disebut 'mafia perdagangan manusia yang bekerja sama dengan oknum-oknum petugas', kata Chrisanctus Paschalis Saturnus dari Komisi Keadilan Perdamaian Pastoral Migran dan Perantau (KKPPMP).

Salah satu lubangnya adalah pintu resmi antarpelabuhan dari Batam dan Johor Bahru, berdasarkan penyelidikan independen yang dilakukan oleh tim Paschalis.

Menurut dia, calon tenaga kerja seolah-olah masuk Malaysia secara resmi sebagai turis, padahal, calon pekerja migran diselundupkan untuk kemudian bekerja secara ilegal.

Duta Besar Indonesia untuk Malaysia, Hermono, menyebut sekitar 70% tenaga kerja gelap dari Indonesia ke Malaysia masuk melalui pintu-pintu resmi.
Sehingga menurut aturan, warga negara Indonesia dapat masuk ke Malaysia dan negara-negara ASEAN lain tanpa visa sebagai pelancong dan tinggal selama maksimal 30 hari.

Sementara sesuai Pasal 13 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia, setiap WNI yang bekerja di luar negeri harus dilengkapi dengan beragam dokumen, tidak hanya paspor.
tetapi juga  memiliki visa kerja, perjanjian kerja, sertifikat kompetensi kerja hingga surat keterangan izin dari keluarga yang diketahui oleh kepala desa atau lurah, serta dokumen lainnya. 

Paschalis menyebut, negara tidak pernah serius memberikan perlindungan dan pencegahan kepada WNI yang hendak menjadi pekerja migran.

“Negara justru menjadi pelaku yang memeras uang rakyat dan keringan darah mereka untuk kepentingan mereka. Mengapa saya katakan negara? Karena di situ ada aparat-aparat, wakil negara. Aparat yang seharusnya berdiri paling depan untuk mencegah, tapi mereka yang justru menjadi pelaku,” kata Paschalis.

Itulah yang terjadi pada negara yang tidak mampu menyelesaikan persolan rakyatnya dan kesejahteraan rakyatnya untuk memenuhi kebutuhan hidup yang menjadi kewajiban negara memberikannya, justru negara tidak peduli rakyat dibiarkan cari pekerjaan hingga menjadi imigran ilegal dengan nyawa melayang jadi taruhannya. nauzubillah mindzalik

Negara Abai Melindungi Rakyatnya 

Perlindungan PMI(Pekerja Imigran Indonesia) masih menjadi PR besar pemerintah padahal jumlah PMI non prosedural mencapai 5 juta orang (data BP2MI November 2024), 1.300 PMI meninggal dalam 3 tahun terakhir). Masalah perlindungan PMI adalah masalah multidemensi yang tidak akan bisa diselesaikan dengan satu kementrian baru. Ini karena masalah perlindungan PMI menyangkut masalah tata kelola, pengangguran dalam negeri, sindikat perdaganga global, liberalisasi ketenagakerjaan, dan penegakan hukum. 

Hal yang masih memungkinkan diperbaiki adalah memperkecil jumlah pekerja migran dengan regulasi yang ketat, dan meningkatkan peluang lapangan kerja di dalam negeri. Sayangnya pemerintah tidak mampu menyusun langkah ke sana karena arah pembangunan yang kapitalistik (mengejar pertumbuhan).

Sehingga kesalahan mendasar dari sulitnya memberi perlindungan pada pekerja migran adalah paradigma negara yang keliru, yakni melihat warga negara sebagai tenaga kerja, penghasil remitansi yang menjadi cadangan devisa yang menguntungkan bagi perdagangan internasional dan pembayaran utang negara. Inilah paradigma kapitalisme, yang menjadikan negara akan selalu lemah dalam memberi perlindungan kepada pekerja migran.

Disamping itu tata kelola ekonomi yang kapitalistik oleh negara menjadikan kekayaan alam dikuasai segelintir kapitalis, sedangkan rakyat tidak mendapatkan apa-apa kecuali bencana, kerusakan alam, dan limbah pertambangan. Akibatnya, rakyat terbenam dalam kemiskinan. Sementara itu, lapangan kerja di dalam negeri jumlahnya sedikit sehingga memaksa warga untuk mencari nafkah di luar negeri. Ditambah lagi lemahnya supremasi hukum terhadap sindikat global perdagangan orang sehingga kasus perdagangan orang terjadi lagi dan lagi. Liberalisasi ketenagakerjaan sebagaimana termaktub dalam Omnibus Law UU Cipta Kerja juga menjadikan kesejahteraan buruh makin minim sehingga peluang kerja di luar negeri tampak seolah-olah menjanjikan kesejahteraan, padahal taruhannya adalah nyawa.

Islam Melindungi Rakyat

Islam melindungi rakyat dengan total, baik jiwa maupun hartanya. Negara adalah pengurus rakyat, sebagaimana sabda Rasulullah saw., “Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya.” (HR Bukhari).

Penguasa juga adalah pelindung rakyat. Ini sebagaimana sabda Rasulullah, “Sesungguhnya al-imam (khalifah) itu perisai yang (orang-orang) akan berperang mendukungnya dan berlindung (dari musuh) dengan (kekuasaan)-nya.” (HR Muttafaqun ’Alayh dll.)

Negara wajib melindungi nyawa rakyatnya, sebagaimana sabdanya, “Hilangnya dunia lebih ringan bagi Allah dibandingkan terbunuhnya seorang mukmin tanpa hak.” (HR Nasai 3987, Tirmidzi 1455).

Islam menetapkan paradigma bahwa warga negara adalah objek penerapan politik ekonomi Islam. Dalam buku Politik Ekonomi Islam halaman 37, Syekh Abdurrahman al-Maliki rahimahullah menjelaskan bahwa negara menjamin  terpenuhinya kebutuhan dasar (sandang, pangan, dan papan) orang per orang. Setiap warga negara berhak mendapat pelayanan dari negara, termasuk kemudahan lapangan kerja melalui kebijakan politik ekonomi negara.

Syekh Taqiyuddin an-Nabhani rahimahullah dalam kitab Muqaddimah ad-Dustûr Pasal 153 menjelaskan, “Di antara urusan penting yang termasuk bagian dari tugas ri’ayah adalah menyediakan lapangan pekerjaan bagi warga negara yang memiliki kemampuan, tetapi tidak mendapatkan pekerjaan. “Siapa saja yang meninggalkan harta, itu adalah hak ahli warisnya. Siapa saja yang meninggalkan orang lemah (yang tidak punya anak maupun orang tua), itu adalah urusan kami.” (HR Bukhari dan Muslim).

Dengan cara ini, Daulah Khilafah akan memberikan perlindungan terbaik bagi setiap warga negaranya dengan memampukan setiap individu hidup dalam kondisi sejahtera. Negara juga akan menindak tegas sindikat perdagangan orang dengan sanksi yang menjerakan. Wallahualam bisawab.