-->

Jaminan Kesehatan Sejatinya Hak Semua Orang


Oleh : Istiaisyah amiyni, S.Kep.Ners

Layanan Kesehatan di Indonesia masih terbelit banyak masalah. Dari sisi pendanaan, pemerintah daerah banyak terlilit hutang. Bupati Ogan Ilir, Panca Wijaya Akbar angkat bicara perihal penangguhan kerjasama dengan BPJS Kesehatan yang berimbas pada pelayanan kesehatan gratis bagi masyarakat di Ogan Ilir. Panca mengungkapkan, di tahun 2023 BPJS Kesehatan meminta Pemkab Ogan Ilir untuk membiayai Universal Health Coverage (UHC)* atau cakupan kesehatan semesta, kurang lebih sebesar Rp 45 miliar. Sedangkan pemkab hanya mampu menganggarkan Rp 25 miliar dan BPJS Kesehatan meminta Pemkab Ogan Ilir memasukkan sisa anggaran sebesar Rp 20 miliar untuk menjadi utang pokok daerah.

Diketahui Pemkab Ogan Ilir menunggak pembayaran JKN ke BPJS Kesehatan sebesar Rp 18 miliar. Hal ini terungkap saat kaDinkes Ogan Ilir memberikan klarifikasi ke Komisi IV DPRD Ogan Ilir. Jika tak ada rintangan berarti, persoalan administrasi terkait penandatangan kerjasama dengan BPJS Kesehatan rampung pada Senin (6/1/2025) ungkap Hendra. Ia memastikan pelayanan kesehatan tetap berjalan seperti biasa dan fasilitas Kesehatan Tingkat pertama yang ada di Ogan Ilir tetap melayani pengobatan gratis bagi masyarakat tak mampu. Untuk pelayanan gawat darurat di rumah sakit, pasien diarahkan menggunakan JKN-KIS Mandiri (tribunnews, 7/1/25).

Universal Health Coverage (UHC) merupakan konsep jaminan Kesehatan besutan WHO pada tahun 2005 yang bertujuan agar semua negara anggota mengembangkan sistem pembiayaan kesehatan dengan tujuan menjamin kesehatan bagi seluruh rakyat. Sistem pembiayaan dimaksud tidak lain adalah asuransi yang melibatkan perusahaan pelat merah dan milik swasta (kapitalis). Di Indonesia, program UHC diwujudkan melalui Jaminan Kesehatan Nasional (JKN/KIS) yang diselenggarakan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. 

BPJS Kesehatan dibagi menjadi dua jenis peserta, yaitu Peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI) dan Peserta Bukan Penerima Bantuan Iuran (Non-PBI), dengan perbedaan sebagai berikut:
1. Peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI)
yang ditujukan untuk orang-orang yang tergolong fakir miskin atau tidak mampu, sesuai data yang dikeluarkan oleh Dinas Sosial. Peserta PBI tidak perlu membayar iuran bulanan karena biaya sepenuhnya ditanggung oleh pemerintah. 

2. Peserta Bukan Penerima Bantuan Iuran (Non-PBI) yang dianggap mampu secara finansial. Peserta Non-PBI diwajibkan untuk membayar iuran bulanan sendiri. 

Pemerintah yang membayar iuran Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) PBI (Penerima Bantuan Iuran) dibagi menjadi dua, yaitu PBI APBD dan PBI APBN. PBI APBD dibiayai oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), sedangkan PBI APBN dibiayai oleh pemerintah pusat. Sumber APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah) berasal dari Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Perimbangan, dan pendapatan lain yang sah. 

Saat ini peserta JKN segmen Peserta Bukan Penerima Bantuan Iuran (Non-PBI) atau peserta mandiri, iuran kelas I adalah Rp150 ribu, kelas II Rp100 ribu, dman kelas III Rp42 ribu per orang per bulan. Peserta kelas III mendapatkan subsidi sebesar Rp7 ribu per orang per bulan dari pemerintah, sehingga mereka hanya membayar Rp35 ribu. Sementara itu, iuran BPJS Kesehatan bagi peserta PBI Jaminan Kesehatan adalah Rp42 ribu per orang per bulan, yang dibayarkan oleh pemerintah. Iuran ini bersifat tetap, baik peserta sakit maupun tidak.

Layanan kesehatan yang mengadopsi model sistem asuransi kesehatan kolektif ini merupakan cara negara untuk mengurangi tanggung jawabnya dalam menyediakan layanan kesehatan kepada rakyat. Sehingga kewajiban negara tersebut akhirnya ditanggung oleh rakyat dengan membayar premi, baik mereka sakit maupun tidak karena untuk menutupi biaya kesehatan rakyat lain yang sakit. 

Sementara itu, peran negara menjadi semakin minimal yakni terbatas pada rakyat yang dianggap miskin saja. Celakanya, dengan sistem asuransi tersebut, penyediaan fasilitas kesehatan, obat-obatan, dan alat kesehatan diserahkan kepada mekanisme pasar, sehingga menjadi ladang bisnis bagi para investor. Belum lagi permasalahan tenaga Kesehatan yang masih kurang dan sebarannya pun tidak merata. Masih terkonsentrasi di daerah jawa. Sebanyak 59% dokter spesialis terkonsentrasi di Jawa. Misalnya di DKI Jakarta, satu dokter melayani 608 penduduk, sedangkan di Sulawesi Barat, satu dokter melayani 10.417 penduduk. Sungguh ketimpangan yang sangat nyata.

Carut marut problematika Kesehatan saat ini terjadi karena kesalahan paradigma Kesehatan.Dalam sistem kapitalisme, Kesehatan dianggap sebagai komoditas bisnis para kapitalis (pemilik modal) yang menjajakan dagangannya demi mendapatkan untung sebesar-besarnya. Sehingga kita dapati kalimat “sakit itu mahal, orang miskin dilarang sakit”.

Jaminan kesehatan adalah hak semua orang yang wajib ditanggung oleh negara, baik miskin maupun kaya. Namun, paradigma sekuler kapitalisme neoliberal membuat penguasa lazim berbuat semaunya, termasuk memaksa dan membebani rakyat melakukan perkara yang bukan kewajibannya. Padahal Kesehatan adalah salah satu kebutuhan pokok masyakarat yang harusnya dipenuhi oleh negara dengan baik. Namun ternyata pelayanan kesehatan gratis tidak bisa terwujud dan sulit direalisasikan. 

Penguasa saat ini pun hanya berperan sebagai regulator dan fasilitator dalam urusan Kesehatan. Negara merasa sudah cukup memberikan jaminan Kesehatan dengan membentuk BPJS Kesehatan namun membebankan preminya kepada rakyat. Sedangkan negara membuka pintu selebar-lebarnya bagi para kapitalis (swasta) untuk menguasai sektor Kesehatan.

Regulasi dan kebijakan pemerintah justru melegalkan kapitalisasi kesehatan sehingga kesehatan makin mahal dan sebarannya tidak merata yang mengakibatkan banyak rakyat kesulitan mengaksesnya, padahal rakyat membayar iuran kesehatan yang nominalnya pun terus naik. Pemerintah menjanjikan kesehatan menjadi prioritas anggaran, tetapi kenyataannya kesehatan tetap saja mahal dan sulit diakses.

Untuk mewujudkan layanan ini butuh biaya besar dan akhirnya layanan Kesehatan gratis tidak sampai kepada masyarakat dengan baik. Masyarakat tidak bisa berobat gratis lagi karena sudah habis kerjasamanya dan juga terungkap bahwa daerah tidak sanggup menutupi biaya Kesehatan masyarakat secara keseluruhan dan maksimal. 

Sistem Islam berbeda jauh dengan sistem sekuler kapitalisme neoliberal. Dalam pandangan Islam, kesehatan adalah kebutuhan pokok setiap individu yang menjadi kewajiban syar’i bagi negara untuk memenuhinya, tanpa memandang apakah mereka kaya atau melarat, muslim ataupun kafir. Oleh karenanya, negara wajib mengupayakan semua cara agar hak rakyat tersebut bisa dipenuhi sebaik-baiknya dan diakses dengan semudah-mudahnya. Bahkan jika perlu, semua layanan bebas biaya.

Semua ini adalah niscaya karena Islam memiliki mekanisme jaminan kesehatan dari hulu hingga hilirnya. Prinsip-prinsip penjagaan kesehatan pun diatur sedemikian rupa sebagai bagian dari hukum syarak, mulai yang mengikat individu, masyarakat, hingga negara; Mulai dari aspek yang bersifat preventif (pencegahan penyakit), kuratif (penyembuhan penyakit), rehabilitatif (pemulihan kesehatan), dan promotif (peningkatan kesehatan).

Selain itu, sistem kesehatan juga ditopang dengan sistem ekonomi dan keuangan (APBN) negara Islam yang sangat kuat. Sumber-sumber pemasukan negara dari kepemilikan umum, seperti hasil pengelolaan sumber daya alam yang jumlahnya luar biasa dan sumber-sumber lainnya, akan sangat cukup untuk menutup kebutuhan modal bagi pemberian layanan terbaik bagi seluruh rakyatnya, mulai dari pengadaan faskes, alkes, tenaga kesehatan, obat-obatan, hingga riset dan pengembangan sistem kesehatan.

Negara menyediakan kampus kesehatan, staf pengajar, laboratorium, dan fasilitas lainnya. Negara juga membangun industri farmasi sehingga kebutuhan obat bisa dipenuhi secara mandiri, tidak perlu impor. Negara membiayai aktivitas penelitian di bidang kesehatan meski membutuhkan biaya besar.

Semua layanan tersebut disediakan negara secara gratis. Sumber pendanaannya dari Baitul mal, terutama dari pos kepemilikan umum yang di antaranya meliputi hutan, laut, sungai, dan berbagai tambang. Negara mengelola pos ini secara amanah sesuai syariat Islam dan mengembalikan hasilnya untuk kemaslahatan rakyat, termasuk untuk penyediaan layanan kesehatan gratis. Dengan demikian, kesehatan untuk semua rakyat akan terwujud nyata dalam sistem Islam (Khilafah).

Hanya dalam sejarah peradaban Islam, tercatat keagungan sistem layanan kesehatan. Sejak masa Rasulullah hingga era khalifah sesudahnya, negara Islam membangun konsep layanan kesehatan terbaik bagi semua orang. Termasuk konsep bimaristan (kerumah sakitan) yang menjadi model bagi kerumah sakitan di era sekarang. Layanan prima diberikan, mulai dari infrastruktur, layanan medis, hingga pemulihan. Bahkan, pada era kejayaan Khilafah, rakyat sehat pun berbondong-bondong ingin coba merasakan kenyamanan fasilitas di bimaristan.

Untuk rakyat yang ada di pelosok, rumah sakit keliling pun disediakan oleh negara, yakni berupa kafilah unta yang membawa dokter dan alkes untuk melayani orang sakit di tempat tinggalnya. Dengan begitu, semua rakyat, miskin atau kaya, bisa mendapatkan haknya dengan sebaik-baiknya, tanpa biaya.

Tidak hanya itu, kehadiran ilmuwan-ilmuwan muslim di bidang kesehatan membuktikan support system negara terhadap urusan jaminan kesehatan. Lembaga-lembaga riset dan universitas didirikan sejalan dengan optimasi layanan kesehatan. Semua pendanaannya diambil dari kas negara, sama sekali tanpa berhitung soal rugi laba.

Sungguh, kedua sistem ini benar-benar berbeda. Sudah saatnya umat Islam mencampakkan sistem sekuler kapitalisme neoliberal yang memproduksi berbagai kezaliman dan beralih kepada keadilan sistem Islam. Hanya dengan sistem Islam, mimpi keadilan dan kesejahteraan bisa benar-benar diwujudkan dan umat ini bisa kembali meraih kemuliaan. 
Wallahualam bissawab.