Kenaikan LPG & Pajak: Beban Baru untuk Rumah Tangga?
Oleh: Ummu ilzam (Pemerhati Remaja)
Kenaikan harga barang kebutuhan pokok selalu menjadi isu yang tidak pernah sepi dari perhatian masyarakat. Salah satunya adalah LPG—gas elpiji yang menjadi bahan bakar utama di banyak rumah tangga Indonesia. Seiring dengan kenaikan harga LPG, tak bisa dipungkiri bahwa masyarakat juga dihadapkan pada beban lain, yakni kenaikan pajak yang semakin memperberat pengeluaran rumah tangga. Dalam situasi ini, gas yang seharusnya menjadi penyokong kegiatan sehari-hari justru menjadi beban tambahan di tengah kebutuhan yang semakin meningkat.
Di satu sisi, kebijakan kenaikan harga LPG dan pajak diharapkan bisa mendukung pertumbuhan ekonomi negara, namun di sisi lain, dampaknya terasa langsung oleh masyarakat, khususnya kalangan menengah ke bawah. Kenaikan harga ini tidak hanya sekadar soal harga barang, melainkan juga soal daya beli dan keberlanjutan hidup keluarga di tengah kondisi yang semakin sulit. Bagaimana kita bisa menghadapinya dengan bijak, baik sebagai individu maupun sebagai bagian dari masyarakat yang lebih luas?
Harga LPG di Indonesia mengalami kenaikan sekitar 10% dalam enam bulan terakhir. Kenaikan ini tentunya sangat dirasakan oleh keluarga-keluarga di berbagai daerah, terutama mereka yang berpenghasilan rendah. Bagi mereka, LPG yang sebelumnya menjadi kebutuhan utama dalam aktivitas sehari-hari kini menjadi salah satu pengeluaran yang membebani. Hal ini membuat banyak keluarga kesulitan untuk mengatur anggaran rumah tangga yang semakin ketat, apalagi dengan kondisi ekonomi yang belum sepenuhnya pulih.
Selain itu, kebijakan kenaikan pajak yang turut diberlakukan juga menambah beban biaya hidup masyarakat. Kenaikan pajak ini membuat harga barang-barang kebutuhan pokok, seperti bahan makanan dan bahan bakar, semakin tinggi. Dengan adanya dua faktor ini kenaikan harga LPG dan pajak pengeluaran rumah tangga semakin meningkat, sehingga masyarakat harus lebih cermat dalam mengatur pengeluaran dan mencari cara agar bisa memenuhi kebutuhan sehari-hari tanpa terjebak dalam kesulitan finansial.
Kenaikan harga LPG dan pajak sebenarnya bertujuan untuk mendukung pertumbuhan ekonomi negara. Namun, kebijakan ini justru menambah beban ekonomi rumah tangga, terutama bagi mereka yang penghasilannya terbatas. Bagi kalangan masyarakat berpenghasilan rendah, LPG yang sebelumnya menjadi salah satu bahan pokok dengan harga yang relatif terjangkau kini berubah menjadi beban pengeluaran yang tidak bisa dihindari. Hal ini mengarah pada penurunan daya beli masyarakat, karena sebagian besar penghasilan mereka harus dialokasikan untuk kebutuhan pokok yang semakin mahal, sementara pendapatan tetap stagnan.
Selain itu, dampak dari kenaikan harga ini juga memaksa rumah tangga untuk mengurangi konsumsi barang-barang lainnya, seperti makanan dan kebutuhan sehari-hari yang lain, demi mempertahankan keseimbangan anggaran. Dalam beberapa kasus, mereka bahkan terpaksa mengurangi kualitas bahan pangan yang dibeli, yang pada akhirnya dapat memengaruhi kesehatan keluarga. Bahkan, beberapa rumah tangga yang lebih rentan mungkin harus mengurangi konsumsi LPG itu sendiri, dengan cara mengurangi frekuensi memasak atau menggunakan alat masak yang lebih hemat bahan bakar, meskipun hal ini dapat memengaruhi pola makan keluarga
Akibatnya, banyak keluarga yang harus melakukan pengorbanan besar dalam merencanakan anggaran bulanan, seperti menunda atau bahkan mengurangi pengeluaran untuk pendidikan anak, kesehatan, atau keperluan lain yang tidak terlalu mendesak. Pengaturan ulang anggaran yang dilakukan seringkali membuat kehidupan mereka semakin terbatas, dan dalam jangka panjang, dapat memperburuk kualitas hidup mereka, terutama jika kondisi ekonomi negara tidak segera membaik.
Dalam sistem Kapitalisme sering menekankan pada peningkatan produktivitas individu. Oleh karena itu, solusi yang ditawarkan mencakup program pelatihan kerja, pemberdayaan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), serta penciptaan lapangan kerja baru. Tujuannya adalah agar masyarakat memiliki pendapatan lebih tinggi sehingga mampu menyesuaikan diri dengan kenaikan harga.
Meskipun solusi-solusi ini tampak menjanjikan, ada kritik utama terhadap pendekatan kapitalisme. Subsidi yang tidak tepat sasaran sering kali bocor atau salah alokasi. Deregulasi pasar dapat menguntungkan perusahaan besar dan mengabaikan kebutuhan masyarakat kecil. Selain itu, kebijakan berbasis pasar cenderung tidak mempertimbangkan keadilan sosial, sehingga kelompok rentan tetap berada dalam posisi yang lemah.
Dalam sistem Islam, pajak seperti yang diterapkan dalam kapitalisme tidak menjadi sumber utama pendapatan negara. Sebagai gantinya, negara mengandalkan sumber-sumber pemasukan dari sistem zakat, fai’, kharaj, jizyah, dan pengelolaan sumber daya alam. Pajak hanya diterapkan dalam situasi darurat, dan itu pun hanya dikenakan kepada mereka yang mampu. Dengan demikian, beban pajak yang membebani rakyat kecil seperti dalam sistem kapitalisme dapat dihindari.
Islam menetapkan bahwa sumber daya alam, termasuk energi seperti gas dan minyak bumi, adalah milik umum (milkiyyah 'ammah) yang pengelolaannya harus dilakukan oleh negara untuk kepentingan rakyat. Negara tidak boleh menyerahkan pengelolaannya kepada swasta atau asing yang mengejar keuntungan semata. Dengan pengelolaan langsung oleh negara, harga LPG dan bahan pokok lainnya dapat dijaga tetap terjangkau tanpa dipengaruhi oleh mekanisme pasar bebas.
Dalam Islam, negara bertanggung jawab langsung untuk memastikan terpenuhinya kebutuhan dasar setiap individu, baik berupa pangan, sandang, papan, pendidikan, kesehatan, maupun keamanan. Jika terjadi lonjakan harga barang kebutuhan pokok, negara wajib memberikan bantuan langsung kepada masyarakat yang membutuhkan, bukan hanya dengan subsidi, tetapi juga melalui distribusi barang secara langsung.
Seperti yang dilakukan oleh Khalifah Umar bin Khattab adalah salah satu contoh pemimpin yang berhasil menerapkan prinsip ini. Ketika terjadi krisis pangan selama tahun kelaparan (am al-ramadah), beliau memastikan distribusi makanan dilakukan secara merata dan bahkan mengutamakan kebutuhan rakyat sebelum dirinya sendiri. Pendekatan ini menunjukkan bahwa negara bertindak sebagai pelayan rakyat, bukan sekadar regulator.
Dalam sistem Islam, kenaikan harga barang seperti LPG diselesaikan melalui pendekatan yang mengutamakan kesejahteraan rakyat, pengelolaan sumber daya alam secara adil, dan penerapan mekanisme ekonomi berbasis syariat. Sistem ini memastikan bahwa kebutuhan dasar seluruh masyarakat terpenuhi, tanpa membebani mereka dengan pajak atau kebijakan yang memberatkan. Hal ini berbeda secara fundamental dari kapitalisme yang berfokus pada keuntungan dan pasar bebas.
Posting Komentar