-->

Kenaikan Pajak Semakin Menyengsarakan Rakyat


Oleh : Siska, Aktivis Muslimah

Alasan pemerintah menaikkan PPN sebesar 12%, bagian dari strategi fiskal untuk mencapai beberapa tujuan ekonomi dan kebijakan publik tertentu. Faktanya, sekalipun beban kenaikan pajak hanya ditunjukkan kepada barang mewah saja, tapi akan muncul efek domino pada sektor-sektor yang lain. Karena bicara barang mewah bukan hanya dari sisi konsumen barang mewah saja, tapi termasuk juga produsen/pabrik/pengusaha yang terkena efek domino, yang berimbas kepada ekonomi masyarakat secara umum.

Jika diperhatikan dengan teliti, dulu penguasa-penguasa memungut pajak untuk menutupi kebutuhan perang, bencana alam, dan kepentingan/keserakahan pribadi penguasa zalim. Tetapi saat ini penguasa memungut pajak yang tinggi dengan alasan menutupi kekurangan/defisit APBN. Padahal kita semua tahu, di antara anggaran yang paling membebani APBN adalah kewajiban membayar utang pemerintah. Pada 2025 ini saja, pemerintah harus mengalokasikan pembayaran utang jatuh tempo yang nilainya mencapai Rp.775,9 triliun atau 21% lebih dari total anggaran belanja negara 2025 sebesar Rp.3.621.3 triliun (https://media.kemenkeu.go.id).

Dan utang tersebut, mayoritas dihasilkan dari proyek keserakahan oligarki yang dititipkan kepada penguasa. Proyek pembangunan infrastruktur yang ugal-ugalan dan belum terlalu dibutuhkan oleh masyarakat saat ini, contohnya seperti pembangunan Trans Papua dan bandara-bandara yang bermasalah tetapi tetap dipaksakan (Contohnya, bandara Kertajati di Jawa Barat, Kualanamo di Sumatra Utara, kereta cepat Bandung-Jakarta dan lain-lain yang sepi peminat). 

Belum lagi proyek-proyek yang sebenarnya murni bisnis swasta, tetapi dijadikan Proyek Strategis Negara (PSN), seperti reklamasi pantai dan laut di beberapa daerah, contoh di teluk Jakarta, PIK 1 dan 2, kasus pagar laut Tangerang, kasus pulau Rempang, dan lain-lain.

Menguatkan Profil Penguasa Populis Otoriter

Satu hal yang pasti atas kondisi ini adalah menguatnya profil penguasa populis otoriter. Ini tampak dari gaya kepemimpinan Presiden Prabowo yang berusaha merangkul semua pihak hingga menutup pintu perbedaan atau oposisi. Format kabinet ‘gemuk’ yang nyaris tanpa oposisi tidak lain adalah wujud politik akomodasi yang sekilas tampak ‘adil’ karena merepresentasikan semua kepentingan parpol pendukung, sedangkan parpol sendiri diklaim sebagai representasi rakyat.

Konsep kepemimpinan seperti ini justru memunculkan gaya politik otoriter, karena meniadakan aspek check and balance. Akibatnya, setiap kebijakan yang dikeluarkan pemerintah seakan-akan memihak rakyat dan meringankan hidup rakyat. Namun, sejatinya membebani rakyat. Gaya kepemimpinan tersebut dalam rangka menjaga keberlangsungan proyek-proyek mercusuar yang melibatkan kepentingan para pemilik modal (oligarki) yang telah sukses mengantarkan mereka meraih kursi kekuasaan, seperti IKN, makan siang gratis dan lain-lain.

Apalagi, dalam sistem kapitalisme, pajak menjadi bagian dari kebijakan fiskal. Kebijakan ini dianggap membantu negara mencapai kestabilan ekonominya, karena mampu menyesuaikan pengeluaran negara dengan pendapatan yang diterima dari pajak. Cara gampang mendapatkan dana segar guna menutupi defisit anggaran negara serta membantu melunasi utang yang membengkak adalah dengan menjadikan pajak sebagai solusi menyelamatkan keuangan negara.

Negeri yang menganut sistem kapitalisme memang menjadikan pajak sebagai tumpuan sumber pemasukan kas negaranya. Kebutuhan pokok rakyatnya pun dikenai pajak. Dalam sistem kapitalisme, pajak menjadi sumber pendapatan tetap bagi negara. Wajar jika negara dengan gigih mendorong rakyat membayar pajak, bahkan mempropagandakan bahwa warga negara yang baik adalah yang taat pajak. Dengan alasan-alasan itulah, kebijakan menaikkan pajak dilakukan secara terus-menerus tanpa memperhatikan kesulitan hidup masyarakat. Semua ini berpulang dari sistem kapitalisme yang diterapkan di banyak negara, termasuk Indonesia. 

Sistem ini sering kali mengutamakan kepentingan pemodal besar (korporasi) di atas kepentingan masyarakat luas. Dalam sistem kapitalisme, fokus pertumbuhan ekonomi berbasis kapital, sedangkan posisi negara bertindak sebagai fasilitator pertumbuhan ekonomi. Untuk mendukung ini, pemerintah membutuhkan pendapatan besar untuk infrastruktur, subsidi industri, dan layanan publik. Oleh sebab itu, kapitalisme cenderung mendorong pajak konsumsi (seperti PPN)—yang notabene memberatkan masyarakat kecil—karena lebih mudah dipungut dibandingkan pajak dari perusahaan besar atau orang kaya.

Sementara itu, sektor-sektor strategis seperti energi, pertambangan, dan infrastruktur sering kali diprivatisasi. Akibatnya, pendapatan negara dari SDA menjadi berkurang. SDA tidak lagi menjadi sumber utama pendapatan negara, pemerintah harus mengandalkan pajak sebagai sumber pendapatan utama.

Kenaikan pajak juga ditujukan memberikan perlindungan terhadap modal besar. Insentif pajak diberikan kepada perusahaan besar untuk menarik investasi. Kecenderungannya untuk memindahkan beban pajak kepada masyarakat menengah ke bawah melalui pajak tidak langsung, seperti PPN, karena mereka tidak memiliki daya tawar politik yang kuat. Sebaliknya, kelas atas dan korporasi besar sering mendapatkan keringanan pajak atau bahkan ‘lolos’ dari kewajiban pajak.

Oleh karena itu, selama negara bertumpu pada penerapan sistem kapitalisme, kesulitan dan kesengsaraan hidup akibat kewajiban pajak selamanya akan menimpa masyarakat. Akar kesengsaraan ini harus dicabut dan diganti dengan sistem hidup yang terbukti menyejahterakan ratusan abad lamanya, yakni sistem Khilafah.[]