-->

Korupsi Menggurita, Kapitalisme Ancaman Nyata


Oleh: Hamnah B. Lin

Dilansir oleh kumparanNEWS tanggal 14/02/2025, Presiden Prabowo Subianto menegaskan komitmennya untuk memberantas korupsi yang merugikan negara. Prabowo mengatakan, tindak korupsi yang marak terjadi di Indonesia sudah sangat mengkhawatirkan. 

Janji pemberantasan korupsi ini pernah Prabowo ungkapkan saat menyampaikan visi misi dalam debat pertama Pilpres 2024. Saat itu, ia berjanji akan memperbaiki pemerintahan, termasuk memberantas korupsi hingga ke akarnya. Namun, kenyataan berubah saat ia sudah terpilih menjadi presiden. Pada Desember 2024, ia sempat melempar wacana ke publik untuk memaafkan koruptor asalkan bersedia insaf.

Fenomena korupsi adalah bukti praktik korporatokrasi yang tidak lepas dari prinsip liberalisme dalam sistem ekonomi kapitalisme. Karakteristik korporatokrasi adalah adanya dukungan korporasi pada keterpilihan presiden dan dukungan tersebut berkonsekuensi pada ketergantungan. Tidak pelak, hal ini pun berimplikasi pada munculnya hukum, aturan, dan kebijakan yang berpihak pada oligarki.

Korporatokrasi ini sendiri terjadi secara kasat mata di negeri kita. Korporatokrasi meniscayakan kebijakan-kebijakan politik negara yang mengarah untuk melayani kepentingan korporasi besar. Praktik ini tentu saja sangat menguntungkan oknum-oknum pejabat pemerintah dari hasil kerjasamanya dengan pengusaha/konglomerat dalam suatu usaha ekonomi yang tidak sehat.

Inilah realitas korupsi yang begitu masif dan terstruktur di negeri kita. Banyak pejabat yang jauh sekali dari profil sebagai pelayan umat, melainkan pelayan korporasi. Untuk itu, solusi korupsi tidak cukup hanya dengan cita-cita, kecaman, apalagi sekadar retorika. Penanggulangan korupsi secara tuntas haruslah dengan ganti sistem karena korupsi adalah produk sistem sekuler kapitalisme.

Jika diamati ada tiga  persoalan dasar yang mendorong terjadinya korupsi.
Pertama, biaya politik demokrasi yang sangat tinggi. Contoh, syarat pendirian partai dan pemenuhan syarat formal dalam kepesertaan partai politik (parpol) dalam pemilu sangat berat yang berakibat setiap calon terpilih dalam pileg, pilpres, atau pilkada akan berlomba mendapatkan dukungan fasilitas dan dana dari oligarki atau bahkan penyelenggara negara yang menjabat saat itu.

Kedua, rendahnya transparansi dan akuntabilitas pembiayaan parpol. Hal ini mengakibatkan adanya persekongkolan antara pemberi dana dan para politisi dalam penyelenggaraan pemerintahan sebagai bentuk balas budi yang sering kali menyebabkan penyalahgunaan wewenang dan kerugian negara.

Ketiga, minimnya pendidikan politik dan agama pada partai politik, menjadikannya lemah iman, takwa, akuntabilitas, integritas, dan moralitas anggota, bahkan pejabat partai politik.

Dalam pandangan Islam, korupsi merupakan perbuatan khianat, orangnya disebut khaa’in. Dalam hukum Islam, tindakan khaa’in tidak termasuk definisi mencuri (sariqah) karena definisi mencuri adalah mengambil harta orang lain secara diam-diam (akhdzul maal ‘ala wajhil ikhtifaa’ wal istitar). Sedangkan khianat bukanlah tindakan seseorang mengambil harta orang lain, melainkan tindakan pengkhianatan yang dilakukan seseorang, yaitu menggelapkan harta yang memang diamanatkan kepada seseorang itu (Syekh Abdurrahman al-Maliki rahimahullah, An-Nizhamu al-Uqubat fii al-Islam).

Allah Taala berfirman, “Barang siapa yang mengambil harta khianat maka pada hari kiamat dia akan datang membawa harta hasil khianat itu. Kemudian tiap-tiap diri akan diberi pembalasan tentang apa yang dia kerjakan dengan (pembalasan) setimpal, sedangkan mereka tidak dizalimi.” (QS Ali Imran [3]: 161).

Di dalam kitab An-Nizhamu al-Uqubat fi al-Islam karya Syekh Abdurrahman al-Maliki rahimahullah, disebutkan bahwa Khilafah mampu mewujudkan sanksi tegas bagi pelaku tindak kriminal dan pelanggaran aturan Islam. Sistem sanksi dalam Islam mampu berfungsi sebagai zawajir (pencegah) dan jawabir (penebus). Maknanya, agar orang lain yang bukan pelanggar hukum tercegah untuk melakukan tindak kriminal yang sama dan jika sanksi itu diberlakukan kepada pelanggar hukum, sanksi tersebut dapat menebus dosanya.

Sanksi (uqubat) untuk khaa’in bukanlah hukum potong tangan sebagaimana bagi pencuri (qath’ul yad) menurut kandungan QS Al-Maidah ayat 38, melainkan takzir, yaitu sanksi yang jenis dan kadarnya ditentukan oleh hakim. Bentuk sanksinya bisa mulai dari yang paling ringan, seperti sekadar nasihat atau teguran dari hakim, bisa berupa penjara, pengenaan denda (gharamah), pengumuman pelaku di hadapan publik atau media massa (tasyhir), hukuman cambuk, hingga sanksi yang paling tegas, yaitu hukuman mati. Teknis hukuman mati itu bisa digantung atau dipancung. Berat atau ringannya hukuman takzir ini disesuaikan dengan berat atau ringannya kejahatan yang dilakukan (Syekh Abdurrahman al-Maliki rahimahullah, An-Nizhamu al-Uqubat fii al-Islam).

Demikianlah sanksi tegas dalam sistem Islam, yang membuat manusia jera dan tidak mengilanagi kembali kejahatan korupsinya. Bahkan celah menuju korupsi akan rapat - rapat ditutup. Maka kebutuhan kita terhadap sistem Islam yang menggantikan sistem kapitalisme saat ini adalah darurat, kebutuhan dan kewajiban. Mari bersama berjuang memahamkan umat, bahwa negeri dan dunia ini sedang sakit dan butuh obat denegan tegaknya aturan Islam kaaffah dalam naungan Khilafah Islamiyah.
Allahu 'Alam.