LPG Langka, Bagaimana Peran Negara Dalam menjamin Distribusi?
Oleh : Ummu Malika Hanan
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) akan menata mata rantai penjualan Liquefied Petroleum Gas (LPG) khususnya untuk jenis bersubsidi yakni LPG 3 Kg. Dengan penataan ini, penyaluran LPG 3 Kg ini dinilai bisa tepat sasaran.
Yang akan ditata salah satunya adalah mendorong pengecer atau penjual LPG 3 Kg menjadi pangkalan resmi milik PT Pertamina (Persero). Hal itu disampaikan langsung oleh Wakil Menteri ESDM, Yuliot Tanjung.
"Sekarang kita dorong pengecer bisa naik kelas menjadi pangkalan, dengan mereka cuma mendaftarkan kegiatan usahanya dengan mendapatkan NIB (nomor induk berusaha) melalui OSS, sehingga mata rantai distribusi LPG lebih singkat dan harga diterima masyarakat sesuai harga yang ditetapkan pemerintah," ujar Yuliot kepada CNBC Indonesia, Kamis (30/1/2025).
Sebelumnya, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) terus berupaya menjaga daya beli masyarakat dengan memberikan subsidi pada berbagai kebutuhan pokok. Salah satunya yakni seperti LPG 3 kg.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan bahwa harga LPG 3 kg yang dibeli masyarakat saat ini bukanlah harga yang seharusnya. Pasalnya, barang untuk kebutuhan pokok tersebut disubsidi oleh pemerintah.
Menurut dia, LPG 3 Kg yang dibeli oleh masyarakat masih dibanderol sebesar Rp 12.750 per tabung. Padahal harga jual LPG 3 Kg seharusnya Rp 42.750 per tabung.
"Harga jual eceran untuk LPG 3 kg sebesar Rp 12.750 per tabung (dari pangkalan resmi Pertamina ke agen penyalur). Padahal harga seharusnya adalah Rp42.750 per tabung," kata dia dikutip dari akun Instagram resminya, Rabu (8/1/2025).
Dengan harga LPG 3 Kg yang dibeli masyarakat saat ini, ia pun membeberkan bahwa pemerintah harus mengeluarkan anggaran sebesar Rp 30.000 per tabung yang dibayarkan melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Hal tersebut lantas membuat realisasi penyaluran dana subsidi LPG 3 Kg sepanjang 2024 mencapai Rp 80,2 triliun dengan penerima manfaat sebesar 40,3 juta pelanggan.
"Subsidi dan kompensasi tidak hanya melindungi kelompok masyarakat yang paling rentan, tetapi juga kelompok kelas menengah mendapat manfaat secara signifikan," ujarnya.
Untuk Kepentingan Kapitalis
Kisruh LPG 3 kg ini terjadi karena ada perubahan regulasi terkait pihak yang boleh menjual LPG 3 kg. Sebelumnya, pengecer boleh menjual LPG 3 kg, tetapi lalu menjadi tidak boleh berdasarkan regulasi yang baru.
Jika yang boleh menjual LPG hanya pangkalan/agen resmi, bisa dipastikan distribusi LPG 3 kg akan dikuasai oleh para pengusaha bermodal besar alias kapitalis. Ini karena syarat menjadi agen resmi adalah punya modal minimal Rp100 juta dan lahan minimal 165 m².
Pihak yang diuntungkan dengan regulasi baru ini adalah para pemilik modal. Sedangkan pengecer akan rugi karena kehilangan penghasilan dari berjualan LPG dan rakyat rugi karena harus menempuh jarak yang relatif jauh untuk membeli LPG. Patut diperhitungkan biaya transportasi dari rumah warga ke tempat agen karena biasanya agen berlokasi di jalan besar dan tidak dekat dengan rumah warga. Rakyat juga dirugikan secara nonmateriel, yaitu akan kesulitan ketika LPG habis pada saat agen tutup, misalnya saat malam hari.
Perubahan regulasi ini merupakan sebuah keniscayaan dalam sistem ekonomi kapitalisme karena salah satu sifat sistem ini adalah memudahkan para pemilik modal besar untuk menguasai pasar, mulai dari bahan baku hingga bahan jadi.
Lorens Bagus dalam bukunya Kamus Filsafat menjelaskan bahwa kapitalisme adalah sistem perekonomian yang menekankan peran kapital (modal). Dengan demikian, menurut kapitalisme, yang terpenting dalam perekonomian adalah modal. Berdasarkan pandangan ini, negara memberi ruang yang lebar dalam ekonomi bagi para pemilik modal, sedangkan rakyat kecil tidak mendapatkan tempat untuk berkembang karena hanya memiliki modal kecil. Tampak jelas bahwa perubahan regulasi ini untuk kepentingan kapitalis.
Setelah mendapat protes dari rakyat, turunlah instruksi dari Prabowo, pengecer boleh menjual LPG 3 kg, tetapi harus mendaftar menjadi subpangkalan. Kebijakan ini seperti pemerintah menjilat ludah sendiri dan sarat dengan nuansa pencitraan demi mendapatkan simpati rakyat.
Meski kini mereda, kisruh LPG 3 kg ke depan berpotensi terjadi lagi. Jumlah subsidi LPG 3 kg terus dikurangi karena dianggap membebani APBN. Untuk 2025, pemerintah menurunkan anggaran subsidi dari Rp204,5 triliun menjadi Rp203,4 triliun (turun Rp1,1 triliun).
Kepala Dinas Tenaga Kerja, Transmigrasi, dan Energi (Disnakertransgi) DKI Jakarta Hari Nugroho mengungkapkan kelangkaan gas LPG 3 kg terjadi akibat pengurangan kuota LPG 3 kg bersubsidi pada 2025. Menurutnya, kuota LPG subsidi untuk rakyat tahun ini lebih kecil dari realisasi penyaluran 2024 sehingga menyebabkan perubahan dalam mekanisme distribusi.
Dengan demikian, pernyataan pemerintah bahwa perubahan regulasi terkait penjualan LPG 3 kg ditujukan agar penyalurannya tepat sasaran sebenarnya terkait erat dengan pengurangan subsidi ini. Pemerintah tidak mau anggaran subsidi LPG jebol karena distribusinya tidak terpantau.
Subsidi di dalam sistem ekonomi kapitalisme neoliberal memang dianggap beban bagi negara sehingga harus diminimalkan. Menurut Friedrich Von Hayek dan Milton Friedman (tokoh kapitalisme aliran neoliberal), intervensi pemerintah (termasuk subsidi) dalam ekonomi adalah ancaman yang paling serius bagi mekanisme pasar.
Dengan demikian, dalam kapitalisme, subsidi akan terus dikurangi hingga sampai pada titik tidak ada subsidi sama sekali. Inilah praktik kapitalisme neoliberal yang sempurna.
Sebenarnya, subsidi LPG tidak membebani APBN karena nilainya hanya Rp203 triliun. Yang membebani APBN adalah pembayaran pokok utang dan bunganya yang mencapai Rp1.000 triliun. Subsidi justru bermanfaat bagi rakyat sehingga menggairahkan perekonomian riil.
Selain mengabdi pada kepentingan pemilik modal dan meminimalkan subsidi untuk rakyat, kapitalisme juga melegalkan liberalisasi migas sehingga dikuasai korporasi milik para kapitalis. Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro mengatakan bahwa hanya sekitar 20% dari produksi migas nasional yang dikuasai Pertamina. Sisanya (80%) dikuasai kontraktor-kontraktor migas asing seperti Chevron, British Petroleum (BP), ExxonMobil, dan lain-lain. Akibatnya, rakyat tidak bisa menikmati kekayaan alam berupa migas dan harus membeli dengan harga mahal.
Demikianlah kesengsaraan yang terjadi ketika sektor migas (termasuk LPG) dikelola dengan sistem kapitalisme. Ini sungguh berbeda dengan tata kelola migas dalam sistem Islam kafah.
Tata Kelola Migas dalam Islam
Islam menetapkan migas termasuk dalam kepemilikan umum dan mewajibkan negara untuk mengelola sumber daya tersebut untuk kepentingan rakyat. Syekh Abdul Qadim Zallum rahimahullah dalam Sistem Keuangan Negara Khilafah (Al-Amwal fi Daulah al-Khilafah) halaman 83 menjelaskan bahwa segala sarana umum untuk seluruh kaum muslim yang diperlukan dalam kehidupan sehari-hari yang jika tidak ada akan menyebabkan perpecahan, terkategori milik umum.
Ini berdasarkan dalil berupa sabda Rasulullah saw., “Kaum muslim berserikat dalam tiga hal, yaitu air, padang rumput, dan api.” (HR Abu Dawud, Ahmad, dan Ibnu Majah).Air, padang rumput, dan api merupakan hal-hal yang dibutuhkan manusia dalam kehidupan sehari-hari dan jika hilang, manusia akan terpecah untuk mencarinya.
Berdasarkan kriteria ini, migas (termasuk LPG) termasuk milik umum karena migas dibutuhkan masyarakat untuk keperluan sehari-hari seperti memasak dan bahan bakar untuk mesin dan transportasi. Jika migas tidak ada, manusia akan merasakan kesulitan dan terpecah untuk mencarinya seperti kondisi ketika LPG langka saat ini.
Itu dari aspek produk migas, adapun dari aspek sumber migas, yaitu tambang migas, ia terkategori milik umum berdasarkan hadis, “Sesungguhnya Abyadh bin Hamal al-Mazaniy bermaksud meminta (tambang) garam kepada Rasulullah. Beliau memberikannya. Tatkala beliau memberikannya, berkata salah seorang laki-laki yang ada di dalam majelis, ‘Apakah Anda mengetahui apa yang telah Anda berikan kepadanya? Sesungguhnya apa yang telah Anda berikan itu laksana (memberikan) air yang mengalir’. Akhirnya beliau bersabda, ‘(Kalau begitu) tarik kembali darinya.'” (HR Tirmidzi).
Berdasarkan hadis ini, tambang yang depositnya besar (seperti air yang mengalir) termasuk milik umum. Walhasil tambang migas terkategori milik umum. Negara tidak boleh memberikan izin kepada perorangan atau perusahaan untuk memilikinya dan mengeksploitasinya. Negara wajib melakukan eksploitasi barang tambang tersebut mewakili kaum muslim. Kemudian hasilnya digunakan untuk memelihara urusan-urusan kaum muslim. Hal ini sesuai dengan fungsi negara sebagai raa’in (pengurus urusan rakyat) sebagaimana sabda Rasulullah saw., “Setiap dari kalian adalah raa’in (pemimpin/pengurus) dan tiap tiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya.”(HR Imam Bukhari).
Negara Islam (Khilafah) akan memudahkan rakyat untuk mengakses berbagai kebutuhannya terhadap layanan publik, fasilitas umum, dan SDA yang merupakan hajat publik, termasuk migas dan LPG. Syekh Abdul Qadim Zallum rahimahullah dalam Sistem Keuangan Negara Khilafah (Al-Amwal fi Daulah al-Khilafah) halaman 95 menjelaskan bahwa hasil pengelolaan harta milik umum (termasuk tambang migas) dibagikan kepada rakyat yang memang merupakan pemilik harta milik umum beserta pendapatannya.
Khalifah tidak terikat oleh aturan tertentu dalam pendistribusian ini. Khalifah berhak membagikan harta milik umum seperti air, listrik, minyak bumi, gas, dan segala sesuatu yang diperlukan kepada rakyat yang memerlukannya untuk digunakan secara khusus di rumah-rumah mereka dan pasar-pasar mereka secara gratis.
Khalifah boleh menjual harta milik umum ini kepada rakyat dengan harga yang semurah-murahnya atau dengan harga pasar. Khalifah juga boleh membagikan uang hasil keuntungan harta milik umum kepada rakyat. Semua tindakan tadi khalifah pilih dalam rangka mewujudkan kebaikan dan kemaslahatan bagi seluruh rakyat.
Dalam konteks LPG, Khilafah akan memastikan produksi dan jalur distribusinya sehingga kebutuhan rakyat terpenuhi secara cukup dan tidak ada kesulitan. Khilafah akan mengelola tambang migas untuk memenuhi kebutuhan rakyat.
Khilafah juga menyediakan fasilitas bahan bakar selain LPG untuk memasak ketika dirasa hal itu lebih efektif dan efisien. Misalnya menggunakan LNG (gas alam) yang dialirkan melalui pipa ke rumah-rumah warga. Semua bahan bakar tersebut dipastikan terjangkau oleh rakyat, atau bahkan gratis sehingga tidak ada rakyat yang merasakan kesulitan untuk mendapatkan bahan bakar bagi rumah tangga maupun usahanya.
Dengan solusi ini, tidak akan terjadi kelangkaan bahan bakar dalam Khilafah yang menyulitkan rakyat seperti dalam sistem kapitalisme saat ini.
Wallahualam bissawab.
Posting Komentar