-->

LPG langka, Rakyat sengsara


Oleh : Azzah Labibah 

Belakangan ini telah dikejutkan berita di berbagai media bahwa sebagian masyarakat mengalami kesulitan dalam memperoleh gas LPG 3 kg, yang dikenal sebagai "gas melon". Kelangkaan ini menyebabkan antrean panjang di sejumlah tempat. Bahkan, di Pamulang, Tangerang Selatan, seorang ibu meninggal dunia saat mengantre untuk mendapatkan LPG 3 kg. Namun, setelah ditelusuri, diketahui bahwa ibu tersebut meninggal bukan karena antrean, melainkan akibat serangan jantung. (https://www.detik.com/tag/lpg-3-kg)

Adanya fakta ini, pemerintah berencana memperbaiki aturan penjualan LPG 3 kg setelah menerima banyak keluhan dari masyarakat terkait distribusi dan ketersediaan gas bersubsidi tersebut. (https://www.kompas.com/tag/elpiji-3-kg)

Selain itu,Pertamina menegaskan bahwa tidak ada LPG 3 kg non-subsidi yang beredar di pasaran. Perusahaan tersebut juga menyatakan bahwa pengecer akan berperan sebagai sub-pangkalan dalam penataan distribusi LPG 3 kg, dengan tujuan memastikan ketersediaan gas bagi masyarakat yang berhak menerima subsidi.

Harga LPG 3 kg di beberapa daerah juga mengalami kenaikan Misalnya, di salah satu agen LPG, harga per tabung mencapai Rp22.000. Kenaikan harga ini menambah beban bagi masyarakat kecil yang sangat bergantung pada gas melon untuk kebutuhan sehari-hari. (https://www.cnbcindonesia.com/tag/lpg-3-kg)

Kelangkaan LPG karena Sistem Kapitalisme

Saat ini kita masih mengemban sistem ekonomi kapitalisme, sumber daya alam seperti gas dan minyak sering kali dikelola oleh korporasi swasta atau negara dengan orientasi keuntungan. Akibatnya, distribusi LPG 3 kg pun diatur dengan mekanisme pasar yang lebih mengutamakan efisiensi ekonomi dibanding kesejahteraan rakyat. Hal ini menyebabkan harga yang tidak stabil, kelangkaan pasokan, dan adanya oknum yang memanfaatkan subsidi untuk kepentingan pribadi atau industri.

Sistem subsidi yang diterapkan pemerintah pun terbukti tidak efektif. Seharusnya, LPG 3 kg hanya untuk masyarakat miskin, tetapi pada kenyataannya, banyak yang tidak berhak ikut menikmati subsidi ini. Bahkan, pemerintah berencana mengubah mekanisme distribusi dengan sistem digitalisasi, yang dikhawatirkan akan semakin mempersulit rakyat kecil dalam mendapatkan haknya.

Islam Punya solusi kelangkaan LPG 

Islam adalah adalah agama yang sempurna sehingha islam juga memiliki sistem ekonomi yang berbeda dalam mengelola sumber daya alam. Dalam pandangan Islam, energi termasuk dalam kategori kepemilikan umum (milkiyah 'ammah) yang harus dikelola negara dan tidak boleh diserahkan kepada swasta atau individu untuk mencari keuntungan. Rasulullah ﷺ bersabda:

“Kaum muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air, dan api.” (HR Abu Dawud dan Ahmad)

Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud dan Imam Ahmad dari jalur Hiban bin Zaid asy-Syar’abi Abu Khidasy, dari seorang laki-laki sahabat Nabi saw.. Hadis ini juga diriwayatkan oleh al-Khathib dalam Mûdhih Awhâm al-Jam’i wa at-Tafrîq, Abu Nu’aim dalam Ma’rifah ash-Shahâbah pada bagian “tarjamah Abu Khidasy” dan al-Baihaqi dalam Sunan-nya.

Al-Hafizh Ibnu Hajar di dalam Ad-Dirâyah fî Takhrîj Ahâdîts al-Hidâyah mengomentari, “Hadis ini diriwayatkan oleh Abu Dawud, Ahmad, Ibnu Abiy Syaibah, dan Ibnu ‘Adi. Para perawinya tsiqah.” Para ulama hadis menilai para perawi hadis ini tsiqah. (https://muslimahnews.net/2022/07/17/8874/)

Dari hadis ini, jelas bahwa sumber daya energi, termasuk gas dan minyak, tidak boleh menjadi komoditas yang diperdagangkan oleh segelintir pihak demi keuntungan pribadi. Negara dalam sistem Islam wajib mengelola sumber daya alam ini dengan prinsip keadilan dan memastikan seluruh rakyat bisa menikmatinya tanpa hambatan biaya atau distribusi.

Perbandingan dengan Sistem Sekarang

Jika sistem Islam diterapkan, maka tidak akan ada kelangkaan LPG seperti yang terjadi saat ini. Negara akan memastikan distribusi gas langsung kepada rakyat tanpa mekanisme pasar yang merugikan. Dengan begitu, rakyat tidak perlu mengantre panjang, tidak ada spekulasi harga, dan kebutuhan energi bisa terpenuhi dengan adil.

Maka, jelaslah bahwa yang kita butuhkan bukan sekadar perbaikan mekanisme subsidi atau digitalisasi distribusi, melainkan perubahan sistem yang lebih fundamental: kembali kepada sistem Islam Rahmatan Lil 'alamin.

Wallahu a'lam bissowab.