-->

Medical Check-Up Gratis: Hadiah untuk Rakyat atau Pencitraan Semata?


Oleh : Riani Kusmala Dewi

Pemerintah melalui BPJS Kesehatan baru-baru ini mengumumkan kebijakan medical check-up gratis bagi masyarakat yang berulang tahun.

Dilansir dari HealthDetik.com (07/02/2024), program pemeriksaan kesehatan gratis akan dimulai pada 10 Februari 2025. Hal tersebut disampaikan oleh Menteri Kesehatan RI, Budi Gunadi Sadikin.

Sekilas, hal ini tampak seperti hadiah dari negara untuk rakyatnya, seolah bentuk kepedulian terhadap kesehatan masyarakat. Namun, apakah kebijakan ini benar-benar solutif atau sekadar kebijakan populis yang menutupi berbagai persoalan semrawut dalam sistem pelayanan kesehatan di negeri kita?

Faktanya, layanan kesehatan di Indonesia masih jauh dari kata ideal. Banyak fasilitas kesehatan yang kurang memadai, terutama di daerah 3T (tertinggal, terdepan, dan terluar). Tenaga kesehatan (nakes) tidak tersebar merata, dengan mayoritas terkonsentrasi di Pulau Jawa, sementara di pelosok masih banyak kekurangan. Kesejahteraan nakes pun kerap menjadi isu yang tak terselesaikan. Infrastruktur untuk menuju fasilitas kesehatan juga masih menjadi kendala, membuat akses layanan kesehatan semakin sulit bagi sebagian besar rakyat.

Lebih ironis lagi, kebijakan ini hadir di tengah berbagai persoalan yang justru semakin memberatkan rakyat. Kenaikan harga listrik, kelangkaan gas, dan harga BBM yang terus naik, serta layanan publik yang semakin sulit diakses, membuat beban masyarakat semakin berat. Apakah kebijakan ini benar-benar menunjukkan keberpihakan pada rakyat atau hanya sekadar pencitraan semata?

Tak hanya itu, BPJS Kesehatan masih menerapkan aturan yang kerap merugikan rakyat. Baru-baru ini, muncul wacana bahwa 144 jenis penyakit tidak bisa langsung mendapatkan rujukan ke rumah sakit. Selain itu, BPJS juga tidak menanggung biaya perawatan akibat kecelakaan dan tindak kriminal. Ini menjadi persoalan besar di tengah kondisi infrastruktur yang buruk, di mana jalanan berlubang sering menyebabkan kecelakaan, serta meningkatnya kasus kriminal seperti begal yang meresahkan masyarakat. Jika BPJS tidak menanggung biaya kesehatan akibat kondisi yang juga merupakan tanggung jawab negara, lalu di mana peran negara dalam melindungi rakyatnya?

Di sisi lain, muncul pula kabar bahwa iuran BPJS akan dinaikkan. Bahkan, Menteri Kesehatan pada bulan lalu menyarankan masyarakat untuk memiliki asuransi kesehatan tambahan dari swasta. Ini tentu sangat menggelikan. BPJS yang seharusnya menjadi jaminan kesehatan rakyat malah masih menyarankan masyarakat membayar lebih untuk perlindungan tambahan.
Bukankah ini menunjukkan ketidakmampuan sistem yang ada dalam menjamin kesehatan rakyat secara penuh?

Dalam Islam, kesehatan adalah hak dasar rakyat yang harus dijamin oleh negara tanpa diskriminasi, baik kaya maupun miskin, Muslim maupun non-Muslim. Negara memiliki kewajiban menyediakan layanan kesehatan secara gratis dan berkualitas bagi seluruh rakyatnya. Pendanaan kesehatan tidak boleh bergantung pada iuran atau pajak rakyat, melainkan dari pengelolaan sumber daya alam yang seharusnya menjadi milik publik. Dengan sistem ini, negara mampu membangun fasilitas kesehatan yang layak, memastikan pemerataan tenaga medis, serta memberikan layanan yang cepat, mudah, dan profesional.

Saat ini, sistem kapitalisme yang diterapkan justru menjadikan negara hanya sebagai fasilitator, bukan penyedia layanan kesehatan yang sepenuhnya berpihak kepada rakyat. Padahal, dalam sistem Islam, negara bertanggung jawab penuh terhadap kesejahteraan rakyat, termasuk dalam aspek kesehatan. Inilah yang harus menjadi arah pandang bagi kita semua. Apakah kita akan terus bergantung pada kebijakan tambal sulam yang belum tentu benar-benar pro-rakyat, atau mulai mempertimbangkan solusi mendasar dengan menerapkan sistem Islam yang menyeluruh?

Sudah saatnya kita kembali kepada aturan Islam secara kafah, agar setiap rakyat benar-benar mendapatkan haknya tanpa terkecuali, dan keberkahan dari Allah SWT senantiasa menaungi negeri ini.

Wallahu a‘lam.