Pagar Laut Kongkalikong Penguasa Dan Pengusaha Di Sistem Kapitalisme Sekuler
Oleh : Hasna Hanan
JAKARTA, KOMPAS.com - Sebanyak enam pejabat di lingkungan Kementerian ATR/BPN telah dicopot dari jabatannya buntut kasus pagar laut sepanjang 30 km di Kabupaten Tangerang, sedangkan dua lainnya disanksi berat. Tidak dijelaskan secara rinci mana pejabat yang dicopot dan mana yang dikenakan sanksi berat. Namun, yang pasti, berdasarkan keterangan Menteri ATR/BPN Nusron Wahid dalam rapat kerja bersama Komisi II DPR di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, pada Kamis (30/1/2025), salah satu yang terkena imbas dari kasus pagar laut adalah mantan Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Tangerang berinisial JS.
Mencuat dan heboh pemberitaan yang menjadi perhatian publik karena dikejutkan dengan tiba-tiba muncul pagar yang membentang seluas 30 km, usut punya usut itu juga mempunyai sertifikat kepemilikan dan yang mengeluarkan adalah departemen kementrian ATR/BPN dipimpin oleh Nusron Wahid.
Sementara itu Koordinator Masyarakat Antikorupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman mengatakan, beberapa oknum kepala desa yang dilaporkan terutama yang berada di Kecamatan Tronjo, Tanjungkait, dan Pulau Cangkir. Mereka diduga terlibat dalam penyalahgunaan wewenang sejak 2012.
Namun tak hanya kades, penyalahgunaan wewenang ini diduga juga melibatkan oknum di tingkat kecamatan, kabupaten, hingga pejabat pertanahan di Kabupaten Tangerang. Mereka diduga ikut berkongkalikong dengan pejabat yang berwenang, untuk memuluskan perizinan lahan pagar laut tersebut.
Lengkaplah sudah dari tingkat pemangku kebijakan kementerian hingga tingkat kabupaten bersepakat memuluskan legalitas pagar laut terpasang untuk kepentingan siapa sebenarnya dibalik itu semua, hingga yang menjadi pertanyaan selanjutnya adalah kok bisa laut bersertifikat PBB?
Kapitalisme Menghalalkan Segala Cara
Dikutip dari Mediaumat.info – Berbicara tentang persoalan pagar laut Tangerang, Ketua LBH Pelita Umat Chandra Purna Irawan menyatakan yang menjadi persoalan utama adalah terbitnya sertifikat atau hak atas tanah yang berada di laut tersebut.
“Saya berpendapat bahwa yang menjadi persoalan utama itu adalah keberadaan sertifikat atau hak atas tanah yang berada di laut itu. Itu yang menjadi persoalan utama,” ujarnya dalam Fokus to The Point: Pagar Laut, Bukti Oligarki Mencengkram Negeri, Ahad (2/2/2025) di kanal YouTube UIY Official.
Hal ini membuktikan bahwa ada penguasa yang memang dengan sengaja menggunakan kekuasaannya untuk melayani para oligarki demi kepentingan mereka berdua tanpa memperdulikan masyarakat para nelayan yang berada disekitarnya, dikeluarkannya sertifikat legal atas laut dengan dasar hukum yang dikeluarkan pada masa pemerintahan Jokowi yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 18 tahun 2021 yang merupakan turunan dari Undang-Undang Cipta Kerja yang isinya adalah bahwa hak atas tanah di perairan dapat dilakukan dengan rekomendasi dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Dan yang bisa menerbitkan sertifikat yaitu Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN).
Suatu hal yang wajar dan pasti akan terjadi dalam sistem Kapitalisme sekuler untuk menggunakan berbagai macam cara agar mendapatkan apa yang mereka inginkan meski dengan cara-cara yang haram dan melanggar ketentuan hukum syara', dengan kebebasan kepemilikan telah menjadikan setiap orang atau kelompok orang boleh dan sah bahkan mendapatkan legalisasi hukum untuk memiliki aset umum ataupun negara.
Oleh karenanya para oligarki korporat yang serakah dan haus akan pundi-pundi materi tidak akan pernah berhenti untuk menjadikan rakyat menderita sebagai korban dari para penguasa dan pengusaha tidak amanah. Dimana peran negara yang harusnya membela kepentingan rakyat dan kedaulatan wilayah dan kedaulatan dalam mengurus urusan rakyat. Kedaulatan tersebut tergadaikan akibat prinsip kebebasan kepemilikan yang merupakan keharusan dalam sistem kapitalisme.
Jadilah rakyat harus melawan korporasi sendirian, tanpa ada negara sebagai perisai (junnah). Akibatnya, rakyat mengalami intimidasi dan dalam posisi yang lemah karena negara tidak menjalankan perannya sebagai pengurus (raa’in) dan perisai (junnah). Negara hanya berperan menjadi regulator yang bergerak sesuai dengan arahan para oligarki kapitalis, bahkan menjadi penjaga kepentingan kapitalis. Ini sungguh berbeda dengan profil negara dalam Islam.
Khilafah Menjaga dan Pelindung (Junnah) bagi Rakyat
Negara Islam (Khilafah) merupakan negara yang memiliki kedaulatan penuh untuk mengurus urusan negara dan menyejahterakan rakyatnya. Kedaulatan dalam pandangan Islam itu di tangan syariat, bukan di tangan manusia. Syariatlah yang seharusnya memimpin, bukan (hawa nafsu) manusia. Semua perilaku, ucapan, dan kebijakan penguasa wajib tunduk pada syariat Islam (Al-Waie, 24-6-2020). Kedaulatan penuh ini membuat Khilafah tidak akan tunduk pada korporasi. Khilafah hanya tunduk pada ketentuan syariat Islam.
Penguasa di dalam Islam dilarang menyentuh/mengambil harta milik umum dengan alasan apa pun (Syekh Taqiyuddin an-Nabhani rahimahullah, Asy-Syakhshiyah al-Islamiyah Jilid II hlm. 163). Islam mengakui adanya harta milik umum. Syekh Abdul Qadim Zallum rahimahullah dalam buku Al-Amwal fi Daulah al-Khilafah (Sistem Keuangan Negara Khilafah) hlm. 87 menjelaskan bahwa harta yang keadaan asalnya terlarang bagi individu tertentu untuk memilikinya, terkategori milik umum.
Oleh karenanya laut terkategori milik umum bagi seluruh rakyat. Tidak boleh dan diharamkan ada individu (perorangan maupun korporasi) yang memiliki laut. Demikian pula, tidak boleh ada individu yang menguasai/memagari laut. Rasulullah saw. bersabda, “Tidak ada penguasaan (atas harta milik umum) kecuali bagi Allah dan Rasul-Nya.” (HR Bukhari). Artinya, tidak ada penguasaan/pemagaran atas harta milik umum, kecuali oleh negara. Pelanggaran terhadap hukum tersebut adalah kemaksiatan dan negara akan memberi sanksi tegas bagi pelakunya. Wallahualam bissawab
Posting Komentar