-->

Pekerja Migran Butuh Perlindungan Nyata


Oleh : Nanik Farida Priatmaja, S.Pd
(Pegiat Literasi)

Lima warga negara Indonesia (WNI) berprofesi pekerja migran ditembak di perairan Tanjung Rhu, Selangor, Malaysia, Jumat (24/1/2024) dini hari. Penembakan itu dilakukan oleh Agensi Penguatkuasa Maritim Malaysia (APMM). Berdasarkan informasi yang diterima Kementerian Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (P2MI), insiden terjadi sekitar pukul 03.00 pagi waktu setempat. Petugas patroli APMM yang tengah bertugas mendapati kapal berisi lima PMI melintas di perairan tersebut. Dari kejadian itu, satu PMI dilaporkan meninggal dunia, satu dalam kondisi kritis, dan tiga lainnya menderita luka-luka (27/01).

Tak dimungkiri menjadi pekerja migran di negeri orang sangat rentan terjadi permasalahan. Tak cukup sekali- dua kali, penembakan ataupun penganiayaan menimpa pekerja migran. Sayangnya, perlindungan bagi pekerja migran amat minim. Hal ini masih menjadi isu krusial di berbagai negara, termasuk Indonesia.

Menjadi pekerja migran pastinya akan menghadapi tantangan dan risiko diantaranya:
 1. Diskriminasi dan ketidakadilan. Tak jarang pekerja migran menghadapi diskriminasi dan perlakuan tidak adil di negara lain. Misalkan mengalami kekerasan, pelecehan ataupun mendapatkan upah yang lebih rendah daripada pekerja lokal untuk pekerjaan yang sama.
 2. Kondisi kerja yang tidak manusiawi. Tak sedikit pekerja migran bekerja dalam kondisi yang tidak manusiawi, seperti lingkungan kerja yang tidak aman, jam kerja yang sangat panjang serta minimnya fasilitas kesehatan.
 3. Terjadinya eksploitasi. Tak sedikit agen perekrutan ataupun majikan yang mengekploitasi pekerja migran. Pekerja migran dipaksa bekerja dengan upah yang tidak sesuai dengan perjanjian atau sangat rendah bahkan tidak dibayar sama sekali.
 4. Terjadinya kekerasan dan pelecehan. Sangat banyak terjadi pekerja migran perempuan mengalami korban kekerasan dan pelecehan, baik secara fisik maupun seksual oleh majikan.
 5. Permasalahan kesehatan. Seringkali pekerja migran tidak memiliki akses yang layak demi mendapatkan layanan kesehatan. Misalnya pekerja migran tak memiliki asuransi kesehatan atau kesulitan menghubungi tenaga medis.
 6. Terjerat masalah hukum. Tak jarang pekerja migran tidak memiliki pemahaman yang cukup tentang hukum di negara tempat mereka bekerja. Bahkan tidak tahu hak-hak mereka ataupun cara mencari bantuan jika mengalami masalah hukum.

Meski banyak tantangan dan risiko menjadi pekerja migran, namun faktanya menjadi pekerja migran masih sangat diminati di seluruh dunia termasuk Indonesia. Bahkan jumlah pekerja migran di seluruh dunia terus meningkat dari tahun ke tahun. Hal ini dipengaruhi beberapa faktor diantaranya: adanya perbedaan upah yang signifikan antara negara asal dan negara tujuan, minimnya lapangan kerja di dalam negeri, tingginya angka kemiskinan.

Banyaknya pekerja migran yang bernasib tragis tidak lepas dari kegagalan negara dalam mewujudkan kesejahteraan bagi rakyat di dalam negeri. Negara seharusnya mampu menjamin kesejahteraan rakyat sehingga mereka tidak perlu mengadu nasib ke luar negeri dengan berbagai tantangan dan risiko kehilangan nyawa.

Perlindungan untuk pekerja migran tak cukup hanya melalui pendampingan hukum atau pemulangan pekerja migran. Perlindungan pekerja migran sebenarnya merupakan masalah multidimensi yang tidak akan mampu diselesaikan melalui pembentukan kementerian baru. Pasalnya hal ini menyangkut banyak permasalahan, misalnya ketersediaan lapangan kerja di dalam negeri, pengelolaan ekonomi dalam negeri, sindikat global perdagangan manusia, penegakan hukum dan liberalisasi ketenagakerjaan.

Penerapan ekonomi kapitalis oleh negara menjadikan kekayaan alam dikuasai segelintir kapitalis, sementara rakyat hanya mendapatkan dampak buruk seperti bencana, limbah tambang, dan kerusakan alam. Wajar rakyat terkungkung dalam kemiskinan. Di satu sisi jumlah lapangan kerja di dalam negeri amat terbatas dengan besaran upah yang hanya bisa digunakan untuk makan sehingga memicu rakyat menjadi pekerja migran. Sementara itu supremasi hukum Indonesia begitu lemah terhadap sindikat global perdagangan manusia sehingga pekerja migran Indonesia seringkali menjadi sasaran kasus perdagangan manusia.

Disahkannya Omnibus Law UU Cipta Kerja yang membuka peluang liberalisasi pekerja juga menjadikan kesejahteraan buruh semakin minim sehingga peluang kerja di luar negeri seolah menjanjikan kesejahteraan, padahal banyak tantangan dan risiko yang menjadikan nyawa sebagai taruhannya.

Peran negara dalam melindungi nyawa rakyat perlu dipertanyakan. Seharusnya negara membuat regulasi yang meminimalisir jumlah pekerja migran. Misalnya memperketat pengiriman pekerja migran dan serius membuka lapangan kerja di dalam negeri seluas-luasnya sehingga rakyat tidak perlu mencari kerja di luar negeri. Sayangnya langkah-langkah tersebut tidak dilakukan oleh negara. Justru jumlah pekerja migran makin banyak dikirim ke luar negeri. Hal ini karena negara lebih mengejar pertumbuhan ekonomi yang mementingkan jumlah pemasukan dari devisa dari pada keselamatan rakyatnya.

Cara berpikir kapitalistik inilah yang menjadikan negara gagal melindungi rakyat. Negara penganut sistem kapitalis tidak melihat rakyat sebagai pihak yang wajib diurus, dilindungi dan disejahterakan, namun rakyat dianggap sebagai aset yang harus menguntungkan negara dengan terus menambah kas negara. Banyaknya jumlah pekerja migran akan memperbanyak remitansi (pengiriman uang dari luar negeri) yang masuk ke kas negara dan menjadi cadangan devisa yang menguntungkan bagi pembayaran utang negara dan perdagangan internasional. Ketika negara masih menggunakan paradigma kapitalisme dalam memandang posisi pekerja migran, maka negara tak akan mampu memberikan perlindungan kepada pekerja migran.

Peran negara kapitalis sangat berbeda dengan Islam. Negara Islam melindungi rakyat dengan total, baik jiwa maupun hartanya. Negara dalam sistem Islam adalah pengurus rakyat, sebagaimana sabda Rasulullah saw., “Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya.” (HR Bukhari).

Islam mewajibkan negara melindungi nyawa rakyatnya, sebagaimana sabdanya, “Hilangnya dunia lebih ringan bagi Allah dibandingkan terbunuhnya seorang mukmin tanpa hak.” (HR Nasai 3987, Tirmidzi 1455).

Islam menetapkan paradigma bahwa warga negara adalah objek penerapan politik ekonomi Islam. Dalam buku Politik Ekonomi Islam halaman 37, Syekh Abdurrahman al-Maliki rahimahullah menjelaskan bahwa negara menjamin terpenuhinya kebutuhan dasar (sandang, pangan, dan papan) orang per orang. Setiap warga negara berhak mendapat pelayanan dari negara, termasuk kemudahan lapangan kerja melalui kebijakan politik ekonomi negara.

Syekh Taqiyuddin an-Nabhani rahimahullah dalam kitab Muqaddimah ad-Dustûr Pasal 153 menjelaskan, “Di antara urusan penting yang termasuk bagian dari tugas ri’ayah adalah menyediakan lapangan pekerjaan bagi warga negara yang memiliki kemampuan, tetapi tidak mendapatkan pekerjaan. “Siapa saja yang meninggalkan harta, itu adalah hak ahli warisnya. Siapa saja yang meninggalkan orang lemah (yang tidak punya anak maupun orang tua), itu adalah urusan kami.” (HR Bukhari dan Muslim).

Melalui cara inilah negara Islam akan memberikan perlindungan terbaik bagi setiap warga negaranya dan memberikan kesejahteraan bagi setiap individu. Penerapan sistem sanksi dan kekuatan politik luar negeri akan mencegah terjadinya perdangan manusia.