Perubahan PPDB Menjadi SPMB, Solusi Pemerataan Pendidikan?
Oleh : Anisyah Hapsari
Tirto.id- Pemerintah kembali merombak sistem penerimaan siswa untuk tahun ajaran baru mendatang. Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) dengan sistem zonasi bakal diganti dengan Sistem Penerimaan Murid Baru (SPMB) mulai tahun ajaran 2025/2026. Dalihnya menciptakan sistem penerimaan siswa yang lebih transparan, objektif, akuntabilitas tinggi, serta lebih inklusif bagi semua calon siswa.
Namun, bukan berarti publik tidak boleh curiga. Pasalnya, banyak diketahui bahwa pejabat dan birokrat di Indonesia kerap merombak sistem hanya sebuah kedok belaka tanpa adanya perubahan yang nyata.
Misalnya, sistem PPDB yang menerapkan sistem zonasi untuk menggantikan sistem yang sebelumnya dengan tujuan awalnya untuk menghapus dikotomi antara sekolah unggulan dan sekolah biasa. Namun,dalam praktiknya sistem tersebut ini justru melahirkan celah kecurangan baru,seperti manipulasi domisili, ketimpangan kualitas sekolah, dan pembatasan hak orang tua dalam memilih sekolah untuk anak mereka.
Kini, Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah berjanji SPMB akan memperbaiki kekurangan PPDB. Salah satu perubahan yang signifikan adalah mengubah sistem zonasi dengan domisili. Jika sistem zonasi mengacu pada jarak, sistem domisili akan lebih mengacu pada wilayah siswa dan sekolah.
Sistem domisili diperuntukkan bagi calon siswa yang berdomisili di dalam wilayah administratif yang diterapkan pemerintah daerah sesuai kewenangannya. Dalam kewenangannya, Kemendikdasmen menyatakan bahwa SPMB tetap mempertahankan 4 jalur masuk. Itu terdiri dari jalur domisili yang menggantikan sistem zonasi, jalur afirmasi, jalur prestasi, dan jalur mutasi.
Jalur afirmasi diperuntukkan bagi siswa dari keluarga kurang mampu, sementara jalur prestasi diperuntukkan bagi calon siswa yang memiliki prestasi di bidang akademik dan non akademik. Adapun jalur mutasi bisa digunakan calon siswa yang pindah domisili karena perpindahan tugas orang tua atau wali serta untuk anak guru.
Untuk kuota SPMB, jenjang SD tidak ada perubahan mengikuti sistem PPDB yang diterapkan sebelumnya. Perubahan dilakukan pada jenjang SMP dengan adanya penyesuaian persentase, sedangkan pada jenjang SMA, calon siswa bisa juga lintas kabupaten/kota dengan ketentuan yang diterapkan oleh premprov.
Salah satu inovasi baru SPMB lainnya adalah pelibatan sekolah swasta dalam proses penerimaan siswa. Ini dilakukan agar calon siswa yang tidak mendapatkan tempat sekolah negeri tetap bisa mengakses pendidikan yang berkualitas, serta diharapkan bisa mengurangi kepadatan siswa di sekolah negeri yang sering kali dipadati peminat. Tidak hanya pengalihan, biaya pendidikan untuk siswa yang beralih ke sekolah swasta juga direncanakan akan ditanggung oleh pemda.
Berbagai inovasi baru dalam sistem SPMB tersebut tentu diharapkan mampu berjalan sesuai dengan niatannya. Namun, coreng-moreng penerimaan siswa yang selalu muncul setiap tahun sebenarnya tidaklah cukup hanya diperbaiki dengan mengganti sistem. Pemerintah perlu melakukan pembenahan yang lebih tegas dan mengakar untuk menutup celah kecurangan dan praktik mal administrasi.
Celah Kecurangan Harus Ditutup
Pengamatan pendidikan dari Universitas Negeri Jakarta, Rakhmat Hidayat, menilai tidak terjadi perubahan yang signifikan antara sistem SPMB dan PPDB. Perubahan sistem zonasi menjadi sistem domisili juga dinilai masih menyisakan satu celah masalah yang sama. Pasalnya, masih ada orang tua yang melakukan manipulasi data atau menggunakan data fiktif agar anaknya bisa bersekolah di daerah tertentu.
Parahnya, sekolah juga sering kecolongan atau bahkan sengaja meloloskan siswa dengan data fiktif. Tentu saja, itu berjalan mulus dengan adanya uang pelicin atau gratifikasi. Jika praktik ini tidak resmi dibasmi, Rakhmat menilai centang perenang penerimaan siswa baru akan kembali terulang.
"Nah, apa yang menjadi penting di sini menurut saya adalah, kontrol mekanismenya dan verifikasinya. Itu yang lemah karena masih banyak orang yang melakukan manipulasi untuk lolos, " kata Rakhmat kepada wartawan Tirto, Jumat (31/01/2025).
Oleh karena itu,Rakhmat mendorong agar mekanisme penegakan hukum terhadap sekolah yang sengaja meloloskan calon siswa bermasalah dipertegas. Misalnya, dengan menahan penyaluran dana BOS agar terjadi efek jera bagi sekolah. Di sisi lain, Rakhmat menilai bahwa pemerintah harus mengupayakan pendekatan infrastruktur berbasis kependudukan.
Selama ini, sekolah - sekolah masih terpusat di perkotaan atau kecamatan yang padat penduduk. Alhasil, masih ada siswa yang tidak bisa mengikuti sistem zonasi atau domisili sebab daerahnya tidak memiliki sekolah. Rakhmat berharap pemerintah mengupayakan pemerataan institusi pendidikan agar apapun sistem penerimaan siswa yang diterapkan, semua bisa mengaksesnya.
"Yang relatif jauh dia tidak memiliki sekolah dan artinya harus ada peningkatan berbasis demografi. Kecamatan - kecamatan yang memiliki jumlah populasi besar bisa ditambah jumlah sekolahnya, " ucap Rakhmat.
Sementara itu, pengamat pendidikan dari Fakultas Ilmu Pendidikan dan Psikologi Universitas Negeri Semarang, Edi Subkhan, mengapresiasi upaya Mendikdasmen, Abdul Mu'ti, yang berniat memperbaiki sistem penerimaan siswa baru. Namun, dia menekankan bahwa jangan sampai hanya sekedar ganti istilah, dari zonasi menjadi domisili. Pemerintah harus serius memperbaiki teknis, prosedur, dan sistem penerimaan siswa secara keseluruhan.
Secara politis, kata Edi, kebijakan ganti istilah mungkin memang bisa memuaskan pihak-pihak yang dirugikan oleh sistem zonasi. Namun, perlu diingat bahwa zonasi atau domisili pada dasarnya baru satu jalur atau sistem saja
"Yang perlu ditekankan menurut saya, adalah perlunya pemahaman bahwa sekolah negeri harus berpegang salah satunya pada prinsip keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, " kata Edi kepada wartawan Tirto, Jumat
Edi menilai sudah benar ada empat ragam jalur masuk. Hanya saja, celah-celah kecurangannya mesti ditutup. Mekanisme seleksi bisa dibuat lebih terbuka, melibatkan banyak pihak, dan tidak melibatkan pihak yang memiliki potensi konflik kepentingan dalam tim seleksi. Ruang aduan pun harus dibuka untuk publik dengan tim yang responsif.
Sekali lagi, perlu ditekankan bahwa karut-marut selama ini akan tetap muncul bila celah-celah kecurangan tidak diantisipasi. Akar dari praktik kecurangan adalah ambisi untuk masuk sekolah negeri yang dilabeli favorit. Maka selama label favorit, unggulan, atau bonafide itu masih ada, masalah akan tetap ada.
Cara mengatasinya adalah pemerintah harus meningkatkan fasilitas, kualitas pembelajaran, kompetensi guru, hingga sarananya agar semua sekolah negeri setara kualitasnya
"Ini PR berat tentunya, melibatkan komitmen pemerintah pusat dan daerah, termasuk dukungan masyarakat melalui komite sekolah, dewan pendidikan, korporasi melalui CSR-nya, dan lainnya terang Edi.
Agar Masalah Tak Berulang
Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), Ubaid Matraji, menyatakan bahwa selama sistem penerimaan siswa baru belum berkeadilan dan menggunakan kompetisi, masalah justru bertambah marak. Pemerintah harus ingat bahwa pendidikan adalah hak semua anak dan pola penerimaan siswa yang bersifat kompetitif hanya akan melahirkan praktik culas antara orang tua dan sekolah.
Menurut Ubaid, sebenarnya tidak ada perbedaan sistem yang signifikan antara PPDB dan SPMB. Perubahan hanya terjadi pada soal jangkauan domisili dan persentase penerimaan siswa. Perubahan itu pun justru memperlihatkan bahwa pemerintah masih berfokus pada urusan teknis.
"Padahal, masalahnya tidak hanya soal teknis, tapi sistemnya yang tidak berkeadilan untuk semua. Ada diskriminasi perlakuan antara anak yang diterima di sekolah negeri dan yang gagal lalu sekolah di swasta," kata Ubaid kepada wartawan Tirto, Jumat.
Sementara itu, Kepala Bidang Advokasi dari Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G),Iman Zanatul Haeri, menilai ada kesan SPMB memang hanya utak - atik istilah saja. Demikian pula dengan pergantian zonasi jadi domisili. Meski begitu, P2G mengapresiasi peningkatan persentase jalur afirmasi. P2G memandang hal itu sebagai bentuk keberpihakan pemerintah pada masyarakat tidak mampu.
Namun, P2G tetap menilai bahwa sistem SPMB belum bisa jadi jawaban untuk beberapa persoalan fundamental.
Pertama, soal keterbatasan sekolah negeri. Kedua, masih ada sekolah-sekolah yang kurang murid sebab jarak antara sekolah negeri dan tempat tinggal murid terlalu jauh. Karena ongkos transportasi yang tinggi, orang tua pun memilih sekolah atau madrasah swasta yang lebih dekat.
"Masalah yang ketiga adalah kecurangan. Pungli dan pelanggaran manipulasi data dan dokumen kependudukan," ucap Iman kepada wartawan Tirto, Jumat
Iman mencontohkan bahwa pernah ada kasus sekolah justru menambah ruang kelas baru selama PPDB. Kemudian, orang tua membayar pungli hingga jutaan rupiah. Dia berharap sistem SPMB mengatasi hal - hal itu.
Kemendikdasmen harus menuliskan pasal larangan menambah kelas dalam peraturan SPMB. Lagi pula, penambahan kuota penerimaan akan membuat pembelajaran tidak efektif.
Pelibatan sekolah swasta juga harus diatur dalam jelas. Sebab, kata Iman, pembiayaan belajar di sekolah swasta seharusnya ditanggung pemda. Namun, draf Permendikdasmen tentang SPMB yang diterima P2G justru menyebutkan bahwa pembiayaan itu ada yang sepenuhnya dan ada yang tidak sepenuhnya. Hal ini membuat peraturan abu - abu. Kemudian, bisa saja terjadi seorang siswa didistribusikan ke sekolah swasta, tapi skema pembiayaannya malah tidak sepenuhnya.
"Oleh karena itu,siswa yang didistribusikan ke sekolah swasta oleh pemerintah seharusnya ditanggung sepenuhnya. Kami harap dalam pasal Permendikdasmen SPMB tercantum demikian, "ucap Iman.
Di sisi lain, Mendikdasmen, Abdul Mu'ti, memastikan bahwa pergantian dari PPDB menjadi SPMB tidak hanya sekedar pengubahan nama. Abdul mengeklaim terdapat hal - hal baru dalam kebijakan - kebijakan yang akan dikeluarkan terkait SPMB
Abdul juga mengatakan bahwa seiring pergantian nama tersebut, kementriannya juga melakukan penyempurnaan terhadap sistem yang sebelumnya berlaku. Perubahan kebijakan dan nama itu pun sudah disetujui oleh Presiden Prabowo Subianto dan kementrian lain yang terkait. Bahkan, kata Abdul, Kemendikdasmen telah melakukan diskusi dengan berbagai stakeholder untuk kebijakan baru tersebut.
"Jadi,kami ganti dengan SPMB. Nah, alasannya diganti kenapa ya karena memang kami ingin memberikan layanan pendidikan yang terbaik bagi semua, "kata Abdul kepada wartawan di Jakarta, Kamis (30/01/2025).
Dari berita di atas kita dapat simpulkan banyaknya permasalahan yang terjadi dengan sistem penerimaan peserta didik baru. Permasalahan - permasalahan itu timbul akibatnya sistem yang diterapkan negri sekarang, yang berideologi sekuler kapitalis. Yang dimana hanya materi yang jadi tujuan serta memisahkan agama dari kehidupan.
Sulitnya masuk sekolah negeri karna sistem yang digunakan,sedangkan kalaupun masuk sekolah swasta biayanya yang mahal, sehingga hanya bisa diakses bagi golongan yang berduit.
Tidak sampai di situ saja,kurikulum yang diterapkan pemerintah banyak mengadaptasi Barat yang berideologi sekuler (memisahkan agama dengan kehidupan)yang semakin menjauhkan anak - anak di negeri ini jauh dari kepribadian islam. Lalu bagaimana penyelesaian permasalahannya ?
Solusi Islam
Dalam negara islam yakni khilafah semua hal akan diatur berdasarkan prinsip syariah, termasuk mekanisme penerimaan murid baru.
Dalam khilafah pengelompokan jenjang sekolah didasarkan pada fakta anak didik di setiap tingkatan. Apakah dia seorang anak kecil ataukah seorang yang sudah dewasa ( baligh).Pengelompokan ini berdasarkan hukum syariat terkait perbedaan taklif ( beban hukum) usia anak - anak dan baligh. Berdasarkan syariat ini jenjang sekolah dibedakan menjadi 3 yakni
* Ibtidaiyah (usia 6 sampai dengan 10 tahun)
* Mutawasithah (usia 10 sampai dengan 14 tahun)
* Tsanawiyah (usia 14 tahun sampai jenjang sekolah berakhir)
Jika seorang siswa telah genap berusia 10 tahun, maka hendaknya diperhatikan untuk dipindahkan ke sekolah jenjang kedua tanpa mempertimbangkan nilai prestasi belajarnya. Begitu juga jika seorang siswa telah baligh, hendaknya dipindahkan ke jenjang tiga yaitu sekolah untuk siswa yang telah baligh atau tsanawiyah,baik telah sampai pada jenjang sekolah tersebut atau belum.
Pengaturan jenjang berdasarkan usia anak - anak dan baligh ini sangat unik, karena memberikan pengaruh yang luar biasa kepada generasi. Anak - anak sedari sekolah akan dididik sesuai dengan beban usia mereka, sehingga mereka siap menjadi mukallaf, siap menjalani amanah kehidupan seperti yang Allah perintahkan. Inilah kunci mengapa khilafah mampu melahirkan generasi emas yang begitu luar biasa memimpin umat dan peradaban.
Dalam sistem pendidikan islam jumlah seluruh periode sekolah dari ibtidaiyah hingga tsanawiyah adalah 36. Periode yang berlangsung secara berurutan, masing - masing periode lamanya adalah 83 hari. Dalam 1 tahun hijriyah dibagi menjadi 4 periode waktu yang sama. Mekanisme ini membuat penerimaan murid baru berlangsung setiap 3 bulan sekali.
Seorang anak bisa masuk sekolah ketika usianya genap menginjak 6 tahun hijriyah. Jika si murid masuk periode pertama sekolah pada usia 6 tahun tanpa mengambil cuti, maka dia bisa menyelesaikan masa belajarnya saat usianya genap 15 tahun. Dan apabila dia mengambil cuti, maka dia bisa menyelesaikan masa belajarnya saat usianya 18 tahun, jika dia tidak bisa genap menyelesaikan belajarnya hingga umur 18 tahun, maka dia akan diberikan pilihan antara mendaftarkan diri pada akademi - akademi kejuruan, atau kembali mengikuti ujian umum sampai berhasil agar dapat mendaftarkan diri pada perguruan tinggi.
Dalam sistem periodik sekolah tersebut, diperhatikan juga kemampuan individual para siswa. Ini dimaksudkan untuk efisiensikan waktu belajarnya, dan prestasi yang mereka miliki.
Adapun untuk melaksanakan sistem periodik sekolah di desa terpencil, khilafah akan membangun kompleks sekolah - sekolah umum diantara pedesaan tersebut. Khilafah juga menyediakan sarana transportasi antar jemput bagi siswa ke rumah - rumah mereka.
Jadi dalam khilafah instansi pendidikan, anak - anak, dan orang tua tidak perlu khawatir terkait urusan penerimaan murid baru. Disamping mekanismenya jelas, khilafah juga menyediakan sekolah sesuai dengan kebutuhan wilayah. Sekolah dalam negara khilafah gratis bagi anak-anak khilafah, baik yang kaya maupun miskin. Sebab pendidikan dalam khilafah termasuk kebutuhan dasar publik yang wajib ditanggung oleh negara.
Wallahu'alam bishawab
Posting Komentar