Polemik PPDB menjadi SPMB
Oleh : Tri S, S.Si
Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) resmi mengganti sistem Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) menjadi Sistem Penerimaan Murid Baru (SPMB) pada 2025. Mendikdasmen Abdul Mu’ti mengakui perubahan sistem ini dilakukan untuk memperbaiki kelemahan-kelemahan pada sistem pendidikan sebelumnya. Ombudsman menemukan persoalan dari berbagai daerah mulai penambahan rombongan belajar, pengawasan internal kurang maksimal, permintaan siswa titipan, hingga tidak ada penanganan siswa yang tidak tertampung di sekolah negeri. Dalam surveinya, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga melaporkan sebanyak 21,31% sekolah melakukan pungutan liar, dan 38,77% menerima titipan anak pejabat.
Apakah dengan perubahan nama ini akan terwujud perbaikan serta mewujudkan pemerataan sarana pendidikan? Karena nyatanya dalam sistem kapitalisme hari ini, kecurangan dan akal-akalan serta kerja sama dalam keburukan mudah dilakukan. Seperti halnya kecurangan administrasi, kesulitan mengakses sekolah pada jalur ini sangat memungkinkan terjadinya masalah yang sama yaitu manipulasi data atau penggunaan data fiktif agar anaknya bisa bersekolah di daerah tertentu. Juga jual beli kursi, siswa titipan semisal anak pejabat, dan hasil PPDB yang tidak transparan.
Selain itu, stigma sekolah favorit dan buangan masih sangat melekat dalam kehidupan masyarakat hari ini, serta infrastruktur pendidikan yang belum merata sehingga para orang tua tetap saja rela menghalalkan segala cara demi mewujudkan ambisi mereka untuk menyekolahkan anaknya di sekolah yang diinginkan.
Perubahan dari PPDB ke SPMB tidak akan menyelesaikan problematik pokok pendidikan. Solusi yang diberikan seringkali hanya menyentuh masalah teknis dan tidak pernah menyinggung masalah utama pendidikan hari ini, yakni sistem sekuler kapitalisme itu sendiri. Sistem ini menjadikan pencapaian pendidikan hanya berkutat pada aspek kognitif dan materi, seperti cara siswa belajar meraih nilai tertinggi dan dapat memasuki dunia kerja.
Di sisi lain, faktor kemiskinan membuat sebagian rakyat bawah tidak bisa mengakses dan menjangkau layanan pendidikan. Masih banyak anak yang hidup di bawah garis kemiskinan tidak dapat mengenyam pendidikan hingga perguruan tinggi. Bahkan, mereka harus putus sekolah dan mengorbankan masa depannya demi sekadar memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga. Sayang, peran negara tampak mandul dalam mengatasi ketimpangan ekonomi yang berakibat pada kesenjangan mendapat layanan pendidikan.
Negara Harus Mengambil Peran
Kesenjangan layanan pendidikan akan selalu ada selama negara belum sepenuhnya melaksanakan tugasnya sebagai penyelenggara utama sistem pendidikan. Negara seharusnya fokus pada aspek strategis akar masalah buruknya layanan pendidikan di negeri ini, termasuk pemerataan pendidikan. Negara juga harus hadir memberi jaminan dan pelayanan pendidikan sehingga tiap anak bisa mendapatkan hak pendidikan yang memadai.
Di antara kewajiban negara ialah menyediakan infrastruktur dan instrumen pendidikan secara merata berupa sarana dan prasarana yang memadai di semua satuan pendidikan negeri maupun swasta, guru atau tenaga pendidik yang mumpuni, dan sistem pendidikan dengan kurikulum yang tetap.
Jika tiga aspek ini terpenuhi, stigma sekolah favorit akan luntur dengan sendirinya. Orang tua tidak akan pusing memikirkan di sekolah mana anaknya sebaiknya menuntut ilmu karena semua fasilitas dan layanan pendidikan setara di tiap wilayah. Sistem zonasi atau domisili juga tidak akan menjadi persoalan berarti. Hal itu hanyalah bagian teknis pengaturan penerimaan siswa baru. Sayang, tiga aspek penting ini luput dari perhatian negara.
Di sisi lain, negara juga harus menjadikan aspek pendidikan sebagai prioritas utama. Pada praktiknya, akses pendidikan masih timpang, terutama di daerah 3T (terdepan, terluar, tertinggal). Banyak sekolah di wilayah pedesaaan masih menghadapi kekurangan guru berkualitas, minimnya fasilitas, serta keterbatasan akses internet yang kian memperlebar kesenjangan dengan wilayah perkotaan.
Selain itu, sistem pendidikan sekuler telah menjadikan pendidikan sebagai komoditas yang dikomersialisasi. Pendidikan yang seharusnya menjadi hak dasar rakyat justru kian sulit dijangkau. Banyak anak putus sekolah lantaran pendidikan saat ini seperti barang mewah yang hanya dapat diakses oleh segelintir orang. Fenomena ini juga terjadi di level pendidikan tinggi, baik di perguruan tinggi negeri maupun swasta.
Pandangan Islam
Dalam Islam, negara wajib menyelenggarakan pendidikan untuk seluruh rakyat. Politik pendidikan Islam tecermin dalam visi pendidikan, yaitu membentuk generasi bersyakhsiah Islam serta memberi kemaslahatan bagi umat manusia.
Problematik yang paling tampak seputar kesenjangan layanan pendidikan di sistem kapitalisme bisa terlihat dari beberapa hal, seperti: (1) kurikulum sekuler yang gagal membentuk insan bertakwa; (2) ketimpangan akses dan layanan pendidikan bagi siswa; (3) infrastruktur pendidikan tidak merata; (4) anggaran minim.
Negara Islam (Khilafah) mampu menyelesaikan problematik sistem layanan pendidikan tersebut dengan mekanisme sebagai berikut.
Pertama, menerapkan kurikulum berbasis akidah Islam. Kurikulum ini menjadi kerangka dasar arah dan tujuan pendidikan dalam Islam, yakni berkepribadian Islam, menguasai tsaqafah Islam dan ilmu terapan (ilmu pengetahuan, sains, dan teknologi), serta memiliki keterampilan yang tepat dan berdaya guna. (Usus at-Ta’lim fi Daulah al-Khilafah hlm. 8, Syekh Abu Yasin rahimahullah).
Kedua, akses mudah dan layanan pendidikan gratis bagi semua anak. Negara berkewajiban memenuhi hak pendidikan tiap warga negara. Sepanjang penerapannya, sistem Islam berhasil memberikan fasilitas terbaik bagi anak didik. Terdapat banyak lembaga pendidikan yang berkembang di masa peradaban Islam yang melahirkan para pemikir, ilmuwan, dan cendekiawan muslim.
Ketiga, negara Khilafah akan membangun infrastruktur pendidikan yang memadai dan merata di seluruh wilayah. Pemerataan ini memiliki banyak kelebihan. Selain akses mudah, guru dengan sukarela mau ditempatkan di berbagai lokasi meski di pelosok negeri. Sebabnya, negara akan memberikan fasilitas pendidikan yang menunjang proses belajar mengajar berjalan dengan baik di semua wilayah negara.
Negara menyediakan perpustakaan, laboratorium, sarana ilmu pengetahuan lainnya, gedung-gedung sekolah, dan universitas untuk memberi kesempatan bagi mereka yang ingin melanjutkan penelitian dalam berbagai cabang pengetahuan, seperti fikih, ushul fikih, hadis dan tafsir, termasuk di bidang ilmu murni, kedokteran, teknik, kimia, penemuan-penemuan baru (discovery and invention) sehingga lahir di tengah-tengah umat sekelompok besar mujtahidin dan para penemu. (An-Nizhamu al-Islam dalam Bab Strategi Pendidikan, hlm 176, Syekh Taqiyuddin an-Nabhani rahimahullah,).
Keempat, negara membiaya pendidikan secara menyeluruh. Negara Khilafah memiliki mekanisme pembiayaan pendidikan. Ada dua sumber pendapatan Baitulmal yang dapat digunakan membiayai pendidikan, yaitu: (1) pos fai dan kharaj –yang merupakan kepemilikan negara– seperti ganimah, khumus (seperlima harta rampasan perang), jizyah, dan dharibah (pajak); (2) pos kepemilikan umum, seperti tambang minyak dan gas, hutan, laut, dan hima (milik umum yang penggunaannya telah dikhususkan).
Jika dua sumber pendapatan itu ternyata tidak mencukupi dan dikhawatirkan akan timbul efek negatif (dharar) saat ditunda pembiayaannya, negara akan meminta sumbangan sukarela dari kaum muslim. (An-Nizhamu al-Iqtishodiyi fii al-Islam hlm 537 Bab Baitulmal, Syekh Taqiyuddin an-Nabhani rahimahullah).
Biaya pendidikan dari baitulmal itu secara garis besar dibelanjakan untuk dua kepentingan. Pertama, membayar gaji segala pihak yang terkait pelayanan pendidikan, seperti guru, dosen, karyawan, dan lain-lain. Kedua, membiayai segala macam sarana dan prasarana pendidikan, seperti bangunan sekolah, asrama, perpustakaan, buku-buku pegangan, dan sebagainya.
Negara Khilafah memiliki sumber dana yang besar dan beragam, sehingga mampu mewujudkan layanan pendidikan terbaik, gratis, dan dapat diakses oleh tiap individu rakyat. Tidak ada lagi dikotomi istilah “sekolah unggulan” atau “sekolah buangan” karena pemerataan pendidikan baik dari aspek kurikulum, infrastruktur, pembiayaan, dan pelayanan benar-benar berjalan optimal dalam mewujudkan generasi mulia. Sungguh, sistem pendidikan dalam Islam bukan hanya memberi solusi dalam persoalan teknis, tetapi juga menyelesaikan problematik hingga tataran paradigmatis. Islam memandang pendidikan adalah hak setiap warga negara baik kaya maupun miskin, pintar atau tidak. Pendidikan termasuk layanan publik menjadi tanggung jawab negara. Layanan pendidikan juga harus gratis dan berkualitas terbaik. Dari sisi kurikulum pun tentu harus berasas akidah Islam, agar dapat membentuk para anak didik berkepribadian Islam.
Posting Komentar