-->

Retret Kepala Daerah: Kemewahan Berbalut Pembekalan di Tengah Krisis Anggaran

Oleh : Umma Almyra

Pelantikan 961 kepala daerah oleh Presiden Prabowo Subianto pada 20 Februari 2025 menjadi awal bagi kepemimpinan mereka dalam menjalankan roda pemerintahan daerah. Namun, alih-alih langsung kembali ke daerah masing-masing untuk bekerja, para kepala daerah ini justru menjalani retret eksklusif sebagai bagian dari "pembekalan" yang disebut-sebut bertujuan memperdalam pemahaman mereka terhadap tugas pemerintahan. Yang menjadi sorotan adalah biaya fantastis yang mencapai Rp13,2 miliar di tengah upaya efisiensi anggaran sebesar Rp306,7 triliun.

Retret atau Pemborosan?

Retret ini sontak menjadi bahan perbincangan publik, tidak hanya di dalam negeri tetapi juga mendapat perhatian media asing seperti AFP. Dalam artikel mereka yang berjudul Glamping Retreat for Indonesia Leaders Sparks Criticism as Cuts Bite, media Prancis itu menyoroti bagaimana acara mewah ini diadakan ketika negara sedang memangkas anggaran besar-besaran.

Transparency International Indonesia bahkan menilai kebijakan ini "kontraproduktif dan tidak peka" terhadap kondisi rakyat yang tengah berjuang menghadapi kenaikan harga pangan dan kebutuhan dasar lainnya. Di satu sisi, pemerintah gencar menerapkan efisiensi, tetapi di sisi lain tetap menggelontorkan miliaran rupiah untuk acara yang manfaatnya belum jelas bagi rakyat.

Pemimpin yang Butuh Pembekalan, Layakkah Memimpin?

Ironi dari retret ini tidak hanya soal anggaran, tetapi juga mempertanyakan kualitas kepala daerah itu sendiri. Jika mereka benar-benar kompeten, mengapa masih perlu "dibekali" untuk memahami tugas yang seharusnya sudah mereka kuasai sejak awal? Fakta ini justru memperlihatkan bahwa banyak dari mereka hanya produk politik uang dan oligarki, bukan pemimpin yang lahir dari kompetensi dan kepedulian terhadap rakyat.

Tidak mengherankan jika sebagian besar kebijakan mereka nantinya akan lebih berpihak kepada kepentingan kelompok tertentu ketimbang rakyat. Nepotisme, korupsi, dan kolusi masih menjadi penyakit laten di pemerintahan daerah, dan retret semacam ini hanya semakin menunjukkan bahwa kepemimpinan di negeri ini masih jauh dari kemandirian dan efektivitas.

Pelanggaran terhadap Esensi Otonomi Daerah

Otonomi daerah selama ini dielu-elukan sebagai upaya memberikan kemandirian bagi daerah untuk mengatur kebijakan sesuai dengan kebutuhan masing-masing. Namun, dengan adanya retret ini, justru terlihat bahwa komunikasi dan koordinasi antara pusat dan daerah masih belum berjalan efektif. Jika pemerintahan daerah benar-benar mandiri, seharusnya mereka tidak perlu dikumpulkan untuk mendapatkan arahan secara kolektif dalam acara yang menyedot anggaran besar.

Sebagai contoh, kebijakan Makan Bergizi Gratis (MBG) yang sedang digencarkan pemerintah pusat mungkin relevan bagi masyarakat di Jawa, tetapi tidak untuk Papua. Rakyat Papua lebih membutuhkan pendidikan gratis dibandingkan makanan gratis, karena sumber daya alam mereka sudah mencukupi kebutuhan pangan. Tetapi apakah kebijakan ini dibahas dalam retret? Atau justru hanya menjadi ajang formalitas tanpa solusi konkret bagi perbedaan kebutuhan daerah?

Pemimpin Sejati Tidak Butuh Kemewahan

Dalam Islam, kepemimpinan adalah amanah besar yang harus diemban dengan penuh tanggung jawab. Rasulullah SAW bersabda, “Imam (pemimpin) adalah pengurus rakyat dan ia bertanggung jawab atas mereka” (HR Bukhari). Seorang pemimpin sejati tidak membutuhkan pembekalan mewah untuk memahami tugasnya. Jika memang membutuhkan pembekalan, seharusnya dilakukan secara efisien dan efektif, bukan dalam kemasan glamor yang menguras anggaran.

Pemimpin yang adil adalah mereka yang memprioritaskan kesejahteraan rakyat, bukan kenyamanan pribadi. Mereka tidak akan rela melihat rakyatnya kesusahan sementara mereka menikmati fasilitas mewah atas nama "pembekalan." Sejarah mencatat bahwa kepemimpinan terbaik lahir dari keteladanan dan kerja nyata, bukan dari seminar atau retret yang hanya menjadi ajang seremonial.

Retret kepala daerah ini seharusnya menjadi bahan refleksi bagi pemerintah pusat maupun daerah. Jika benar ingin membangun bangsa yang kuat, mulailah dengan kepemimpinan yang berorientasi pada rakyat, bukan yang sibuk dengan acara seremonial berbiaya tinggi. Sudah saatnya pejabat di negeri ini belajar dari pemimpin-pemimpin besar dalam sejarah yang mengutamakan kerja nyata dibandingkan kemewahan. Jika tidak, maka jangan heran jika rakyat semakin kehilangan kepercayaan terhadap pemimpin mereka sendiri.

Wallahualam bissawab