Solusi Palestina Tidak Cukup Dengan Gencatan Senjata
Oleh : Kanti Rahayu (Aliansi Penulis Rindu Islam)
Umat Islam tentu merasa gembira dengan pencapaian para pejuang Gaza yang berhasil memaksa pihak Zionis untuk menerima kesepakatan gencatan senjata. Namun, umat Islam juga harus tetap waspada, mengingat bahwa Zionis Yahudi tidak dapat dipercaya. Mereka tampaknya tidak memahami bahasa perdamaian, sehingga perang yang berkepanjangan menjadi satu-satunya cara untuk melawan kejahatan mereka.
Perjanjian gencatan senjata yang berlangsung selama enam minggu ini mewajibkan Hamas membebaskan 33 tawanan tentara dan warga sipil Israel yang ditangkap pada 7 Oktober 2023. Sebagai imbalannya, Israel harus membebaskan 2.000 tahanan Palestina yang kerap mengalami kelaparan, perkosaan, dan penyiksaan di penjara-penjara mereka. Sudah 21 tawanan Israel yang dibebaskan oleh Palestina sejak gencatan senjata 19 Januari lalu. Menurut Abu Obeida, Israel telah melanggar ketentuan gencatan senjata. Warga Palestina yang mngungsi tidak diijinkan untuk kembali ke rumah mereka di Gaza utara. Bahkan Israel terus melakukan serangan udara di jalur itu, dan gagal memfasilitasi masuknya bantuan kemanusiaan, (tribunnews 11/02/2025).
Hubungan Israel dan Palestina semakin memanas apalagi dengan komentar-komentar presiden AS Donald trump yang kontroversial dan menginginkan gaza dikosongkan. Masa depan Gencatan senjata ini sepertinya akan gagal dan konflik Israel Palestina akan semakin meruncing.
Bahkan seolah tidak ada itikat baik dari israel karena baru sehari genvatan senjata sudah melakukan serangan udara. Bahkan serangan udara itu masih berlangsung sampai saat ini terutama bagi pengungsi yang ingin kembali ke Gaza. Bantuan masuk pun kembali di persulit.
Kalau kita lihat fakta di atas, Gencatan senjata tidak dapat dianggap sebagai solusi yang komprehensif bagi Palestina, karena hal ini tidak menghentikan tindakan kekerasan yang dilakukan oleh penjajah Yahudi. Gencatan senjata hanya bersifat sementara; kapan saja, mereka bisa kembali melancarkan serangan meskipun harus melanggar kesepakatan tersebut.
Pada dasarnya gencatan senjata membawa kebahagiaan, karena kaum Muslim kini memiliki kesempatan untuk tidak lagi mengalami serangan. Namun, kita juga perlu menyadari bahwa keadaan ini bersifat sementara, sebab akar permasalahan yang sebenarnya masih tetap ada.
Akar permasalahan Palestina terletak pada keberadaan entitas penjajah Yahudi di wilayah tersebut. Entitas ini masih memiliki kekuatan yang signifikan dan dapat memanfaatkan kekuatan tersebut kapan saja, berkat dukungan dari Amerika Serikat dan sekutunya.
Entitas penjajah Yahudi ini merasa berani melakukan tindakannya, salah satunya disebabkan oleh ketidakberdayaan penguasa-penguasa negeri Islam, terutama penguasa-penguasa Arab. Ironisnya, justru para penguasa Arab inilah yang berfungsi sebagai perisai terkuat dan terdekat dalam melindungi entitas penjajah tersebut.
Keterlibatan para penguasa di negeri-negeri Arab ini cenderung pasif, karena sejak awal, keberadaan negara-negara tersebut telah dirancang untuk memecah belah umat Islam melalui konsep negara bangsa. Konsep negara bangsa ini justru menjadi belenggu bagi kaum Muslim itu sendiri.
Negara-negara Arab sejatinya dilahirkan dari latar belakang kolonialisme yang bertujuan untuk kepentingan penjajahan. "Untuk memastikan keberlangsungan penjajahan tersebut, muncul penguasa-penguasa yang berada di bawah kontrol ketat negara-negara imperialis.
Jadi, mengapa para penguasa Arab tidak berupaya untuk membebaskan Palestina? Hal ini disebabkan oleh kenyataan bahwa mereka merupakan pelayan setia dari negara-negara imperialis. Upaya untuk menyelesaikan masalah Palestina dapat dilakukan dengan cara mengakhiri keberadaan penjajah Yahudi di tanah Palestina. Oleh karena itu, langkah nyata dan konkret yang perlu diambil untuk menyelesaikan isu Palestina adalah mengusir penjajah Yahudi dari tanah Palestina.
Masalah Palestina bukan hanya sekadar konflik melawan penjajah Yahudi, melainkan juga melibatkan pertikaian dengan negara-negara imperialis non-Muslim yang mendukung mereka. Oleh karena itu, kita memerlukan persatuan di antara umat Muslim dan penguatan maksimal dari seluruh kaum Muslim. Dalam konteks ini, Khilafah sesuai dengan prinsip-prinsip nubuwah sangat penting untuk menyatukan umat Islam.
Karena, hari ini kita tidak bisa mengharapkan para pemimpin Islam untuk bersikap tegas seperti Khalifah Umar dan Sultan Shalahuddin yang berani melawan penjajahan. Mereka tampaknya lebih memilih untuk mencuci tangan dan berdiri di belakang musuh yang mengusung bendera damai yang penuh kebohongan. Seakan lupa, syariat Islam dengan jelas melarang kita untuk berdamai dengan penjajah yang merampas tanah kita, apalagi dengan mereka yang memiliki tangan berlumuran darah saudara seakidah.
Hanya dengan adanya Khilafah, mobilisasi tentara-tentara umat Muslim dapat dilakukan dengan lebih efektif. Inilah solusi yang dapat menyelesaikan masalah Palestina secara komprehensif dan menyeluruh.
Rasulullah saw. bersabda, “Hari Kiamat tidak akan datang hingga umat Muslim memerangi dan membunuh orang-orang Yahudi. Bahkan, ketika seorang Yahudi bersembunyi di balik batu atau pohon, batu-batu dan pohon-pohon itu akan berseru, ‘Wahai Muslim! Wahai hamba Allah! Ada seorang Yahudi di belakangku, datanglah dan bunuhlah dia! ’ Namun, pohon gharqad tidak akan bersuara, karena ia adalah pohon yang terkait dengan orang-orang Yahudi. ” (HR Bukhari).
Namun, hari ini kita dihadapkan pada ujian penting dalam hidup: apakah kita akan berdiri di sisi musuh dan membantu mereka menghalangi kebangkitan Khilafah, ataukah kita akan menjadi penonton terhadap kehadirannya. Tentu saja, pilihan terbaik adalah untuk ikut serta dalam perjuangan ini. Meskipun demikian, apa pun keputusan yang kita ambil, upaya untuk menegakkan kembali Khilafah akan terus berlanjut, melampaui waktu dan ruang. Dengan atau tanpa kehadiran kita, kemenangan pada akhirnya pasti akan terwujud, karena itu janji Allah.
Posting Komentar