-->

Solusi Perundungan akibat Kapitalisasi Pendidikan


Oleh : Erin Azzahroh

Sistem kapitalisme yang sedang berjalan telah menjadikan pendidikan sebagai barang mewah, bukan lagi kebutuhan dasar. Akibatnya, kemiskinan menjadi penghalang utama akses pendidikan, menciptakan sebuah realita yang menyedihkan: orang miskin dilarang sekolah. Biaya pendidikan yang terus meningkat membuat pendidikan semakin sulit dijangkau oleh masyarakat berpenghasilan rendah.
 
Kasus IM, siswa kelas 4 SD di Medan yang dihukum gurunya karena orang tuanya menunggak SPP, menjadi contoh nyata dari problematika pendidikan di tengah sistem kapitalisme. Hukuman yang diterima IM, yaitu duduk di lantai dan tidak diperbolehkan mengikuti pelajaran, menggambarkan bagaimana tekanan ekonomi berdampak langsung pada kesempatan anak untuk mendapatkan pendidikan. Ironisnya, hal ini terjadi berulang kali.
 
Kisah IM yang viral di media sosial (Suara.com, 14 Januari 2025) mengungkapkan realitas pahit sistem pendidikan yang diskriminatif. Ketidakmampuan ekonomi orang tua menjadi alasan anak-anak kehilangan hak dasar mereka untuk memperoleh pendidikan. Peristiwa ini seharusnya menjadi tamparan keras bagi kita semua untuk merefleksikan sistem pendidikan yang berkeadilan dan memastikan pendidikan menjadi hak semua anak, terlepas dari latar belakang ekonomi mereka.

Peristiwa ini memicu reaksi keras dari berbagai kalangan. Wajar saja, sebab pendidikan adalah hak setiap individu rakyat, sehingga idealnya mudah didapatkan oleh siapapun. Bahkan baiknya disediakan gratis oleh negara agar orang-orang yang tidak mampu tetap mendapatkan ilmu.

Namun realita berkata lain. Pendidikan saat ini menjadi barang mewah bagi sebagian masyarakat. Pasalnya negara yang menerapkan sistem kapitalisme membuat negara kurang berperan dalam memenuhi kebutuhan pendidikan rakyat.

Negara justru menyerahkan urusan pendidikan kepada swasta yang berorientasi mencari keuntungan. Ini adalah tanda kapitalisasi pendidikan, sebab menjadikan pendidikan menjadi ladang bisnis.

Siapa yang mampu membayar akan mendapat layanan pendidikan yang baik. Sementara bagi yang tidak mampu tentu kesulitan mengakses fasilitas pendidikan. Bahkan bisa mendapat perlakuan sebagaimana siswa SD di Medan.

Inilah yang menjadi akar masalah. Pendidikan tidak merata dan orang yang tidak mampu tidak dalam layanan pendidikan.

Dalam pandangan Islam, pendidikan gratis dan berkualitas harus bisa dirasakan oleh semua kalangan. Hal ini bukan isapan jempol semata, sebab sejarah mencatat bahwa pendidikan gratis yang berkualitas benar-benar dapat terlaksana. 

Pelaksanaan pendidikan gratis yang berkualitas ini tepatnya terjadi dalam kurun waktu 13 abad lebih, selama sistem Islam yang diterapkan dalam menyelenggarakan negara. 

Hal ini masuk akal sebab Islam memandang bahwa ilmu memiliki kemampuan membuat manusia terhindar dari kekufuran dan kebodohan. Pikiran dan hati orang-orang berilmu akan lebih mudah terarah pada ketaatan.

Allah ta'ala berfirman dalam Quran surat Al Hajj ayat 54: "dan agar orang-orang yang telah diberi ilmu meyakini bahwasanya Alquran itulah yang haq dari Tuhanmu, lalu mereka beriman dan tunduk hati mereka kepadanya. Dan sesungguhnya Allah adalah pemberi petunjuk bagi orang-orang yang beriman kepada jalan yang lurus."

Ibnu Mas'ud ra. berkata, "cukuplah rasa takut kepada Allah itu menjadi bukti dari ilmu. Dan cukuplah sikap lancang kepada Allah menjadi bukti dari kebodohan."

Karena itu, Islam memandang pendidikan adalah hak bagi individu masyarakat. Karena melalui pendidikan seseorang akan mendapatkan ilmu. Apalagi pandangan ini merupakan hukum syariat yang tersirat dalam perbuatan Rasulullah SAW ketika beliau menjadi kepala negara Islam di Madinah.

Dalam kitab Dar Al-Risalah al-'Alamiyyah vol.5, 290, no. 3417 karya Abu Dawudz Sulaiman Ibnu Al Ash'ath Al Azdiy al-Sijistany dijelaskan bahwa nabi SAW menyediakan fasilitas di sisi Utara Masjid Nabawi, yakni Shuffah yang dihuni oleh fakir miskin dari kalangan Muhajirin, Ansor, dan para pendatang dari orang-orang asing.

Diantara kegiatan para penghuni Shuffah adalah belajar membaca dan menulis. Salah satu yang menjadi pengajar mereka adalah Ubadah bin Shamit. Beliau berkata, "aku mengajarkan kepada sebagian penghuni Shuffah menulis dan Alquran."

Selain di masjid, pusat pengajaran lain ya seperti kuttab juga berdiri di Madinah. Kuttab merupakan ruangan kecil untuk mengajar anak-anak membaca dan menulis, juga menghafalkan Alquran.

Al Khatib Al Baghdadi dalam kitab Al Jami' li-Akhlaq al-Rawl wa-Adab al-Sami' vol. 2, hal. 92 menukil perkataan Ibnu Mas'ud, "apakah kalian ingin saya membaca seperti bacaan Zaid? Saya telah membaca 70 surat langsung dari Rasulullah SAW, sedangkan Zaid masih bolak-balik kuttab."

Rasulullah SAW juga pernah membuat kebijakan bagi tawanan perang Badar. Yakni sebagai tebusan, mereka bisa dengan mengajar anak-anak penduduk Madinah.

Imam Ahmad meriwayatkan dari Ibnu Abbas ra. yang berkata, "ada beberapa tawanan pada hari perang Badar yang tidak memiliki tebusan. Rasulullah SAW menjadikan tebusan mereka adalah dengan mengajarkan anak-anak kaum Anshar menulis."

Perbuatan Rasulullah tersebut merupakan dalil bahwa ilmu adalah hak setiap individu. Di samping itu, perbuatan tersebut juga menunjukkan sisi politik terkait pendidikan yakni negara wajib menjamin terselenggaranya pendidikan gratis dan berkualitas untuk rakyatnya. Baik untuk siswa kaya maupun miskin, baik cerdas atau tidak.

Beberapa lembaga pendidikan Islam yang legendaris dan jelas rekam jejaknya antara lain Nizhamiyah (1067-1401) di Baghdad, al-Azhar (1975-sekarang) di Mesir, al-Qarawiyyin (859-sekarang) di Fez, Maroko, dan Sankore (989-sekarang) di Timbuktu, Mali, Afrika.

Negara yang menerapkan sistem Islam terbukti mampu menyediakan pendidikan gratis dan berkualitas. Hal ini karena ditopang oleh sistem keuangan Islam yang kokoh berbasis Baitul Maal. Baitul maal memiliki 3 pos pemasukan yaitu pos kepemilikan umum, pos kepemilikan negara, dan pos zakat.

Dalam sistem Islam, negara mengalokasikan dana pendidikan dari pos kepemilikan umum yang berasal dari pengelolaan sumber daya alam dan pos kepemilikan negara yang berasal dari fai', jizyah, usyur, ghanimah, dan sejenisnya.

Konsep keuangan Baitul Maal ini telah dijelaskan oleh seorang ulama terkemuka syekh Taqiyyuddin an n
Nabhani dalam kitabnya Nidhomul Iqtishodi fil Islam, dan syekh Abdul Qadim Zallum dalam kitabnya Al-amwal.

Inilah politik pendidikan dalam sistem Islam yang sebenarnya dibutuhkan oleh umat. Agar kasus seperti di SD Yayasan Abdi Sukma, Medan, tidak perlu terjadi. Bukankah hal ini terasa lebih menyejahterakan rakyat? Tidakkah umat tergerak untuk menggunakan sistem Islam dalam bernegara? 

Wallahu a'lam bi ash-showwab.