Badai PHK Massal Sritex, Pasti Ada yang Salah
Oleh : Henise
PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex), salah satu perusahaan tekstil terbesar di Indonesia, kembali menjadi sorotan setelah melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) massal terhadap ribuan karyawannya. Langkah ini tentu saja memunculkan berbagai pertanyaan, terutama karena Sritex sebelumnya dikenal sebagai perusahaan tekstil yang kuat dengan pasar ekspor yang luas.
Gelombang PHK ini bukan kali pertama terjadi dalam industri tekstil Indonesia. Sebelumnya, banyak perusahaan tekstil lainnya juga mengalami hal serupa. Alasan yang sering dikemukakan oleh perusahaan dan pemerintah adalah melemahnya permintaan global, kenaikan biaya produksi, serta dampak dari kebijakan ekonomi yang tidak stabil. Namun, jika ditelaah lebih dalam, ada masalah fundamental dalam sistem ekonomi yang membuat fenomena ini terus berulang.
Kapitalisme dan Siklus PHK yang Tak Berujung
Dalam sistem ekonomi kapitalisme, perusahaan selalu mengutamakan keuntungan. Ketika kondisi ekonomi memburuk atau ada tekanan biaya, langkah yang paling mudah diambil adalah memangkas jumlah tenaga kerja. Inilah sebabnya PHK menjadi siklus yang terus berulang dalam dunia industri, termasuk di sektor tekstil.
Sritex, seperti perusahaan kapitalis lainnya, tidak lepas dari tekanan ini. Sebagai perusahaan publik, Sritex memiliki kewajiban untuk terus menghasilkan keuntungan bagi pemegang sahamnya. Ketika tekanan ekonomi meningkat, langkah-langkah efisiensi, termasuk PHK massal, menjadi pilihan utama demi menjaga stabilitas keuangan perusahaan.
Masalah utama dalam sistem ini adalah ketergantungan perusahaan pada pasar global dan investasi berbasis spekulasi. Ketika pasar ekspor mengalami penurunan, perusahaan-perusahaan seperti Sritex langsung mengalami dampaknya, tanpa adanya sistem perlindungan yang kokoh bagi para pekerja.
Dampak Sosial dari PHK Massal
PHK massal seperti yang terjadi di Sritex tidak hanya berdampak pada pekerja yang kehilangan pekerjaan, tetapi juga pada ekonomi masyarakat sekitar. Ribuan pekerja yang kehilangan pendapatan akan mengalami kesulitan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya.
Ketika PHK terjadi dalam skala besar, daya beli masyarakat menurun, yang pada akhirnya berdampak pada sektor ekonomi lainnya. Banyak pedagang kecil dan usaha mikro yang mengandalkan konsumsi dari para pekerja pabrik juga terkena imbasnya. Gelombang pengangguran ini pun berpotensi memicu masalah sosial lainnya, seperti peningkatan angka kriminalitas dan kemiskinan yang semakin parah.
Selain itu, banyak pekerja yang mengalami gangguan psikologis akibat tekanan ekonomi yang mendadak. Kehilangan pekerjaan tidak hanya berarti kehilangan penghasilan, tetapi juga kehilangan rasa aman dan stabilitas dalam hidup.
Salah Kelola atau Salah Sistem?
Banyak pihak yang menyalahkan manajemen Sritex atas krisis ini. Namun, masalahnya jauh lebih dalam daripada sekadar kesalahan pengelolaan. Ini adalah konsekuensi dari sistem ekonomi kapitalisme yang rentan terhadap krisis dan selalu menjadikan pekerja sebagai korban pertama saat terjadi tekanan ekonomi.
Di Indonesia, kebijakan ekonomi juga tidak berpihak pada industri dalam negeri. Kebijakan impor yang tidak terkendali, lemahnya perlindungan terhadap industri lokal, serta kebijakan tenaga kerja yang lebih menguntungkan pemodal membuat perusahaan-perusahaan besar seperti Sritex semakin sulit bertahan dalam kondisi ekonomi yang tidak stabil.
Kondisi ini diperparah dengan sistem keuangan berbasis utang yang banyak diterapkan oleh perusahaan besar. Sritex sendiri diketahui memiliki utang yang cukup besar, yang akhirnya menjadi beban ketika kondisi ekonomi memburuk. Ketergantungan pada utang berbunga tinggi justru membuat perusahaan semakin rentan terhadap krisis.
Islam Menawarkan Solusi Ekonomi yang Stabil
Islam memiliki sistem ekonomi yang berbeda dengan kapitalisme. Dalam Islam, ekonomi tidak didasarkan pada spekulasi dan kepentingan segelintir pemodal, tetapi bertujuan untuk kesejahteraan seluruh masyarakat.
Dalam sistem Islam, negara memiliki peran aktif dalam menjaga stabilitas ekonomi. Negara tidak hanya bertindak sebagai regulator, tetapi juga sebagai pelindung bagi industri strategis dan tenaga kerja. Negara wajib memastikan bahwa industri dalam negeri berkembang tanpa harus bergantung pada utang berbunga atau spekulasi pasar global.
Sistem Islam juga melarang praktik ribawi yang sering kali menjadi penyebab utama ketidakstabilan ekonomi. Dalam kasus Sritex, utang berbunga tinggi menjadi salah satu faktor yang membuat perusahaan semakin kesulitan bertahan. Jika sistem ekonomi berbasis Islam diterapkan, perusahaan akan lebih fokus pada produksi nyata dan tidak terjebak dalam jeratan utang yang melemahkan.
Selain itu, dalam sistem ekonomi Islam, kesejahteraan pekerja menjadi tanggung jawab negara dan bukan hanya perusahaan. Negara memiliki kewajiban untuk memastikan bahwa setiap warga negara memiliki pekerjaan yang layak dan tidak dibiarkan menjadi korban kebijakan ekonomi yang tidak adil.
Saatnya Meninggalkan Kapitalisme yang Gagal
Gelombang PHK di Sritex hanyalah satu dari sekian banyak bukti kegagalan sistem ekonomi kapitalisme dalam memberikan kesejahteraan bagi masyarakat. Selama ekonomi masih berorientasi pada keuntungan segelintir pemodal dan bukan kesejahteraan umat, maka fenomena PHK massal akan terus terjadi.
Islam menawarkan sistem ekonomi yang lebih stabil dan berkeadilan, di mana produksi nyata, distribusi kekayaan yang merata, serta perlindungan tenaga kerja menjadi prioritas utama. Sudah saatnya masyarakat menyadari bahwa solusi atas permasalahan ini bukan sekadar menunggu kebijakan pemerintah yang lebih baik, tetapi dengan mengganti sistem yang rusak ini dengan sistem Islam yang kaffah.
Hanya dengan penerapan syariat Islam, kesejahteraan yang sesungguhnya dapat terwujud, dan ketidakpastian ekonomi akibat kapitalisme dapat diakhiri.
Wallahu a'lam
Posting Komentar