-->

Banjir Ditengah Ramadhan


Oleh: Hamnah B. Lin

Dilansir oleh TribunJabar.id tanggal 09/03/2025, Peneliti ahli madya dari pusat riset limnologi dan sumber daya air BRIN, Yus Budiono menyebut ada empat faktor banjir di wilayah Jabodetabek, yakni penurunan muka tanah, perubahan tata guna lahan, kenaikan muka air laut, dan fenomena cuaca ekstrem. Ditambah, sistem drainase di Jabodetabek sudah tak memadai yang memperparah kondisi banjir. Banyak sistem drainase masih menggunakan perhitungan lama tanpa memperhitungkan peningkatan hujan ekstrem akibat perubahan iklim dan perkembangan tata guna lahan. Dan, pembangunan kawasan permukiman baru sering tak dibarengi sistem drainase yang memadai, sehingga limpasan air hujan tidak bisa tertampung dengan baik.

Banjir besar melanda kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek) sejak Ahad hingga Kamis, 2—6 Maret 2025. Jakarta dan Bekasi menjadi wilayah yang terdampak parah. Data Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Jakarta menunjukkan bahwa banjir di Jakarta merendam 122 Rukun Tetangga (RT). Adapun di Bekasi, terdapat 20 titik banjir yang tersebar di tujuh kecamatan. 

Kalau diteliti terjadinya banjir berulang bukan semata karena curah hujan tinggi dan pendangkalan sungai. Namun, akar masalahnya adalah kebijakan pembangunan kapitalistik yang telah mengabaikan lingkungan dan dampaknya pada masyarakat. 

Sejumlah korban menyatakan kekecewaannya terhadap pemerintah karena tidak mampu mengatasi banjir dan melakukan langkah yang memadai, padahal informasi akan terjadinya banjir sudah diinformasikan sepekan sebelumnya oleh Komunitas Peduli Cileungsi Cikeas (KP2C). Namun, tidak ada langkah pencegahan berarti yang pemerintah lakukan.

Pemerintah lebih mementingkan mengejar  pendapatan daerah daripada keselamatan masyarakat. Pengalihan fungsi hutan menjadi pembangunan perumahan dan tempat wisata di hulu yang masif, tentu ini akan mengakibatkan banjir besar di hilir. 

Seharusnya pemerintah segera memenghentikan alih fungsi hutan dan pembangunan yang merusak lingkungan, pemerintah justru memberikan izin pembangunan masif di hulu. Demi mengejar peningkatan pendapatan daerah, pemerintah memberi izin deforestasi dan alih fungsi lahan. Tampak bahwa kebijakan pemerintah lebih memihak pada pengusaha dan tidak memedulikan penderitaan rakyat.

Alhasil, inilah penguasa yang yang tidak berperan sebagai pelayan rakyat ( raa'in ) namun justru berlomba -lomba memperkaya diri dan kroni -kroninya. Kalaupun pejabat datang memberikan berbagai janjinya, nyatanya hanya omong kosong dan pencitraan. Sungguh kondisi saat ini akan jauh berbeda ketika kehidupan ini diatur oleh Syariat Islam.

Banjir akan segera diselesaikan oleh pemerintah khilafah secara tersistem dengan menerapkan Islam kaaffah. Khilafah memiliki visi mengelola bumi, sehingga dalam membuat aturan tidak akan bertentangan dengan aturan Allah SWT. Namun terus sejalan dengan seluruh aturan Allah SWT.

Ketika hari ini bencana kian hebat melanda, hal ini akibat dari manusia tidak menjalankan syariat Allah SWT. Ssbagaimana Firman Allah SWT dalam QS. Ar rum 30: 41, yang artinya: “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (QS Ar-Rum [30]: 41).

Langkah yang dilakukan khilafah dalam penanganan banjir:
1. Khilafah akan melakukan mitigasi bencana banjir sebelum (pencegahan) dan sesudah terjadi bencana. Untuk mencegah banjir, Khilafah akan menjalankan politik pembangunan dan tata kota yang memperhatikan pelestarian lingkungan. Daerah resapan air akan dijaga dan dilindungi sehingga fungsinya terjaga secara optimal. Khilafah akan melarang penggunaan daerah resapan air untuk permukiman, tempat wisata, maupun yang lainnya. Alih fungsi hutan akan dilakukan dengan cara saksama berdasarkan perhitungan para ahli sehingga tidak menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan.

2. Khilafah juga melakukan pengawasan terhadap keoptimalan fungsi bendungan, sungai, saluran air, dan sarana lain yang merupakan jalur lewatnya air. Selain menempatkan petugas pemantau, Khilafah juga akan menggunakan kamera pengawas yang melaporkan perkembangan ketinggian air secara real-time.

3. Khilafah akan mengedukasi masyarakat untuk turut bertanggung jawab terhadap lingkungan, misalnya dengan tidak membuang sampah di sungai dan saluran air. Hal yang sama akan dilakukan pada perusahaan-perusahaan. Jika ada yang melanggar, sanksi tegas dan menjerakan akan diterapkan.

Jika upaya pencegahan dilakukan maksimal namun tetap terjadi banjir, negara akan segera mengevakuasi warga dengan kekuatan optimal dan melibatkan seluruh komponen. Sebelumnya, masyarakat akan mendapatkan edukasi untuk menghadapi bencana dengan tetap mengutamakan keselamatan. Selanjutnya warga akan ditempatkan di pengungsian yang layak dan negara mencukupi kebutuhan mereka yang meliputi makanan, minuman, obat-obatan, keperluan ibadah, kebersihan, pendidikan, kesehatan, keamanan, transportasi untuk pulang ke rumah, dan lainnya.

Jika terjadi kerusakan infrastruktur, negara akan memperbaiki dan membangunnya kembali dengan dana dari baitulmal. Di dalam baitulmal ada anggaran untuk bencana. Syekh Abdul Qadim Zallum rahimahullah dalam buku Sistem Keuangan Negara Khilafah (Al-Amwal fi Daulah al-Khilafah) hlm. 166 menjelaskan, pembiayaan untuk keadaan darurat (bencana), seperti tanah longsor, gempa bumi, dan angin topan harus tetap dilakukan walaupun peristiwanya tidak ada. Hal ini bahkan termasuk pembiayaan yang bersifat tetap, harus dipenuhi baik ada uang/harta maupun tidak ada di baitulmal.

Negara juga mendorong kaum Muslim untuk membantu warga yang menjadi korban bencana dengan memberikan sedekah. Tidak lupa, khalifah akan mengajak warganya untuk bertobat, mohon ampun, dan berdoa kepada Allah Taala agar bencana tersebut lekas selesai.

Maka patutlah hanya khilafah Islam yang akan mampu mengatasi permasalahan banjir. Tugas kita sekarang adalah mewujudkan tegaknya khilafah Islamiyah 
Wallahu a'lam.