-->

Banjir Kembali Berulang, Muak Kapitalisme!


Oleh : Zulfa Syamsul, ST (Aktivis Muslimah)

Banjir kembali melumpuhkan sebagian wilayah Jabodetabek sejak Ahad (02/03/2025). Komplek perumahan, jalan, persawahan, motor-mobil terparkir hingga mall terendam air. Aktivitas warga seketika terhenti dan hanya berpusat pada penyelamatan diri dan barang-barangnya dari sapuan air. Banjir menerjang setelah hujan lebat mengguyur. Meski peringatan dini akan banjir telah disampaikan oleh BMKG dan Pengawas dari Komunitas Peduli Cileungsi Cikeas (KP2C), namun karena pemerintah abai, warga yang terdampak banjir pun mengalami kerugian besar. Tak tanggung, setiap rumah diperkirakan menanggung puluhan hingga ratusan juta rupiah. Empat hari berselang, banjir akhirnya surut pada Kamis (06/03/2025). Ia menyisakan genangan lumpur di rumah-rumah warga dan juga fasilitas umum. Pemulihan pun segera dilakukan pemerintah berharap aktivitas bisa berjalan seperti sedia kala.

Banjir besar ini adalah siklus lima tahunan. Luapan kekesalan seorang warga yang mewakili warga lainnya diliput oleh BBC News Indonesia (Kamis, 06/03/2025). Adalah Happy(32) warga Pekayon Bekasi yang mengaku muak dengan banjir ini lantaran berulang 3-4 kali setiap tahun. Sementara itu untuk banjir dengan skala besar, seingatnya sudah tiga kali melanda rumahnya. Kerusakan rumahnya menggerus tabungannya saat melakukan perbaikan. Dan Happy tidak sendiri, ada ratusan ribu warga yang bernasib sama. Karenanya mereka mendesak agar pemerintah serius melakukan pencegahan. Selama ini pemerintah dinilai hanya mempermainkan warga dengan janji-janji politik kampanye saja. Janji yang tak pernah terwujud.

Mengapa Masih Menyalahkan Hujan?

Pemerintah selalu berlindung kepada curah hujan yang tinggi sebagai penyebab banjir. Katanya, curah hujan tinggi akhirnya menyebabkan luapan sungai Ciliwung dan menyebabkan banjir. Karena itu pula solusi yang ditawarkan oleh pemerintah hanya menyangkut persoalan teknis. Seperti pengerukan sungai, pelebaran sungai dan meninggikan tanggul. Padahal terdapat hal yang lebih mendasar yang menjadi penyebab banjir Jabodetabek.

Berdasarkan temuan KP2C, Puarman (aktivis KP2C), mengungkap perubahan tata guna dan lahan di area hulu jadi penyebab utamanya. Hal ini merujuk pada pembangunan properti dan pusat wisata di area Puncak, Bogor, Sentul dan Babakan Madang. Pembangunan yang melanggar menjadikan kawasan resapan air menjadi perumahan dan pusat wisata. Selebihnya, penyebab banjir merupakan perkara teknis seperti pendangkalan dan penyempitan sungai, pelanggaran sempadan sungai hingga tanggul yang sudah keropos.

Tak Cukup Solusi Parsial

Terhadap perubahan tata guna dan lahan di area hulu, Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) bersama Menteri Koordinator Pangan telah menyegel 10 titik yang diduga berubah dari kawasan hutan yang berfungsi sebagai daerah resapan air menjadi perumahan dan kawasan komersial. Yang awalnya seluas 145.000 Ha tetapi kini hanya tersisa 4.000 Ha. “Padahal harus minimal 30%. Penyegelan ini diperlukan langkah sistemik dan struktural untuk mengembalikan fungsi DAS”, tegas Hanif Faisol selaku Menteri KLHK. (Beritasatu.com, 13/03/2025)

Tentu saja publik merespon positif tindakan tegas penyegelan tersebut. Namun pemerintah masih akan diuji dengan penyelesaiannya. Apakah tindakan penyegelan ini hanya bersifat sementara, politik tebang pilih atau ujung-ujungnya menjadi lahan korupsi baru? Dimana penyegelan akan dibuka kembali jika pemiliknya menyetor sejumlah uang. Atas hal ini, maka penyelesaian sistemik atas bencana banjir takkan berhasil secara parsial perlu perubahan mendasar secara menyeluruh dan terintegrasi di setiap bidang.

Ganti Sekulerisme Menjadi Islam Kaffah

Memang benar, secara sainstik curah hujan adalah sesuatu yang berada di luar jangkauan manusia. Manusia belum bisa secara cepat mengurangi curah hujan, menunda atau membatalkan terjadinya hujan. Karenanya tak elok untuk menyalahkan hujan. Filosofi yang tepat adalah manusia harus mempersiapkan diri sehingga dampak buruk yang terjadi saat hujan dapat dihindar, inilah yang dimaksud dengan mitigasi. Penanganan mitigasi banjir ini tentu saja bukan pada kepedulian pelestarian lingkungan saja, tapi juga menuntut keluhuran politik dan ekonomi. Keluhuran yang mampu mendahulukan kepentingan pelestarian lingkungan diatas keuntungan materil pribadi atau komunal.

Karenanya kebijakan politik-ekonomi saat ini yang membuka selebar-lebarnya penambangan Sumber Daya Alam dan Mineral selain melanggar konsep kepemilikan umum dalam Islam juga idak berkesesuaian dengan nawacita pelestarian alam. Demikian juga dengan kebijakan pembagian Hak Pengelolaan Hutan (HPH) atau pengallihan fungsi lahan yang selama ini justru menjadi penyebab terjadinya banjir berulang. Namun sudah jadi rahasia umum bahwa pembagian area tambang, hutan, gunung, laut dan proyek lainnya adalah kontrak politik antara pengusaha dan penguasa. Pengusaha menjadi bahan bakar lokomotif penguasa meraih jabatannya di ajang pemilu dengan balasan penguasa menyediakan kemudahan bagi pengusaha menguasai SDAM dan proyek lainnya. Kolaborasi Pengusaha-Penguasa inilah yang seringkali disebut dengan oligarki.

Maka penyegelan 10 titik yang baru saja dilakukan oleh pemerintah, tidaklah cukup. Ia mesti dibarengi dengan pembatalan UU Minerba dan perombakan kebijakan lainnya. Termasuk mengganti sistem politik dan ekonomi yang berlaku sekarang menjadi sistem Islam Kaffah.

Hal yang paling berbeda dengan sistem Kapitalisme sekarang adalah pada kebebasan Kepemilikan. Yang di dalam sistem Islam Kaffah konsep kepemilikan ini terbagi atas tiga, yakni kepemilikan individu, kepemilikan umum dan kepemilikan negara. Hakikatnya SDAM, beserta hutan, laut dan sungai adalah kepemilikan umum. Islam melarang negara menyerahkan kepemilikannya kepada individu atau korporat swasta atau asing. Tidaklah kerusakan lingkungan termasuk banjir ini kecuali karena kebijakan yang melanggar ketentuan-Nya. Sebagaimana dalam firman-Nya:

“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)” (TQS.Ar Rum:41)

Ayat ini adalah petunjuk dari sang Khalik menyoal kerusakan lingkungan yang terjadi akibat ulah tangan (kebijakan) manusia. Petunjuk bahwa setiap ulah manusia yang tidak berdasarkan aturan-Nya akan menyebabkan kerusakan sebagai peringatan agar manusia bisa kembali ke jalan yang benar yakni Islam Kaffah. Wallahu ‘alam.