Dear Ladies, Mengapa Memilih Setara Kalau Bisa Mulia?
Oleh : Alimatul Mufida (Mahasiswa)
Sudah menjadi agenda tahunan, setiap tanggal 8 Maret diperingati sebagai Hari Perempuan Internasional. Harapan demi harapan terus menerus digaungkan, seperti memperjuangkan hak-hak perempuan, mendorong pemberdayaan, dan menuntut kebebasan. Justru berbagai harapan dan tuntutan ini merupakan sebuah kebaikan karena termasuk indikasi kesadaran yang menghendaki perubahan, bahwa dewasa ini kaum perempuan memang sulit untuk berkiprah pada ruang-ruang yang menjadi kodratnya bahkan seringkali dijadikan sebagai objek yang diperdagangkan dan dieksploitasi.
Situasi yang sama sekali tidak menguntungkan bagi kaum hawa ini memicu banyak pergerakan yang menghendaki perubahan. Namun, tidak jarang arah perubahan yang dikehendaki muncul hanya sebatas ego, reaksi, dan respon yang hanya berdasar pada realitas, tidak mengarah pada solusi dan penyelesaian isu secara kodrat yang disupport oleh suatu regulasi yang kompatibel. Akhirnya, semua harapan dan tuntutan tidak akan pernah bisa terealisasikan. Fokus utama dari harapan perempuan saat ini adalah kesetaraan pada kedua pihak, laki-laki dan perempuan.
Anggapan bahwa budaya patriarki yang berasal dari islam adalah penghalang bagi perempuan untuk meraih kesetaraan adalah suatu alasan. Bak gayung bersambut, sistem kapitalisme sekuler mendukung penuh perempuan ikut berkiprah dalam segala hal. sehingga muncul adanya gerakan kesetaraan gender. Namun, sesungguhnya yang terjadi adalah sebaliknya. Perempuan justru menjadi korban. Perempuan nampak nyata menjadi komoditas pada sistem demokrasi-kapitalis. Mereka dipaksa bertanggung jawab dalam menstabilkan bahkan meningkatkan roda perekonomian sehingga seringkali mengesampingkan bahkan absen pada ruang-ruang yang seharusnya menjadi fokus utama yaitu menjadi ibu dan pengurus rumah tangga. Alih-alih mendapatkan kebahagiaan dan kesejahteraan yang diidam-idamkan, akan tetapi yang terjadi justru malah sebaliknya.
Dalam islam, perempuan dan laki-laki adalah entitas berbeda, berjalan pada jalur yang berbeda dan diciptakan untuk saling bekerjasama dalam mewujudkan suatu visi yang sama. Bukan entitas yang saling berkompetisi, karena potensi yang diberikan juga berbeda, keduanya esensial tidak ada pihak yang lebih tidak ada yang kurang, keduanya memiliki proporsinya masing-masing dalam kehidupan mereka.
Dalam kehidupan berumah tangga misalnya, suami sebagai qowwam yang senantiasa bertanggung jawab dalam memimpin, melindungi, membina, dan menyediakan kebutuhan. Sedangkan istri bertanggung jawab untuk merawat, memelihara, melayani, dan menjadi figur utama dalam mendidik anak-anaknya. Figur ibu rumah tangga selalu saja berkonotasi rendah dan remeh, padahal kemajuan suatu peradaban tercermin dari kualitas perempuan sebagai ibu generasi. Pada lingkup masyarakat misalnya, tidak ada larangan bagi perempuan dalam berekspresi tentu tetap ada batasan dan koridor yang mengatur karena kebebasan bukanlah standar kemajuan sebuah peradaban, justru sebaliknya.
Perempuan senantiasa aktif dalam menyebarkan opini dan tetap leluasa dalam menjalankan aktivitasnya. Pun pada lingkup yang lebih luas seperti bernegara, perempuan tetap memiliki hak untuk vokal di setiap isu-isu yang beredar, leluasa dalam mengkritik, bahkan terbuka lebar dalam menawarkan solusi di seluruh problematika yang ada. Seluruh kebaikan dan fitrah ini dapat terealisasikan tentu dengan support sistem yang sempurna dan kompatibel. Harga diri, martabat, dan kemuliaan perempuan akan tetap dipelihara saat sistem Islam diterapkan.
Wallahu a'lam bishawab
Posting Komentar