DI BALIK DIKEBUTNYA REVISI UU TNI YANG MENUAI KEKISRUHAN
Oleh : Irawati Tri Kurnia
(Ibu Peduli Umat)
Revisi Undang-Undang TNI pengesahannya dikebut menuai kemarahan publik. Aksi Demo pun spontan mereka lakukan, dari mahasiswa hingga masyarakat sipil untuk menolaknya. Ini terjadi di berbagai kota di Indonesia dan dari ujung barat hingga Timur, pada Kamis 20 Maret 2025. Masyarakat khawatir Undang-Undang TNI menjadi dasar hukum menghidupkan lagi dwi fungsi militer lewat perluasan operasi dan penempatan prajurit di institusi sipil (www.amnesty.id, Jumat 21 Maret 2025) (1).
Arif Maulana sebagai Wakil ketua bidang advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) berkomentar, jika revisi undang-undang TNI ini lolos, maka masa depan demokrasi menjadi suram dan berpotensi meningkatkan pelanggaran berat HAM. Ini juga bertentangan dengan agenda reformasi TNI yang semestinya mendukung TNI menjadi tentara profesional sebagai alat pertahanan negara, sebagaimana amanat konstitusi dan demokrasi.
Berulang lagi penguasa melahirkan kebijakan yang tidak disetujui rakyat. Karena telah berulang kali penguasa membuat kebijakan yang menimbulkan keresahan publik. Hal yang sama juga terjadi pada pengesahan Undang-Undang TNI ini. Ini berakar dari demokrasi yang rusak. Asas demokrasi yang secara teori seharusnya memberi ruang Gerak seluasnya bagi rakyat untuk mewujudkan aspirasinya, nyatanya hanya ilusi. Teorinya dari rakyat, untuk rakyat, dan oleh rakyat; dianggap sistem terbaik untuk mengurus rakyat; tapi faktnya omong kosong dan tidak akan pernah terwujud. Hal ini bersifat pasti.
Ilusinya demokrasi karena berdiri di atas prinsip batil, yakni menyerahkan kedaulatan hukum di tangan manusia. Karena faktanya penguasa dalam sistem demokrasi tidak menjalankan amanah kepemimpinan sebagaimana seharusnya, karena mereka wakil dari parpol yang disokong oleh para pemilik modal. Maka terjadinya politik balas budi dari pihak penguasa kepada para pemilik modal, berdampak kepentingan rakyat termerjinalkan. Jadi tidak mengherankan jika rakyat terus terombang-ambing dalam kekhawatiran, karena penguasa demokrasi tidak mengurus rakyat.
Berbeda dengan pemerintahan ala Islam. Islam memerintahkan agar negara wajib menjadi raain (pengurus) dan junnah (pelindung) yang berfungsi melindungi, mengayomi, dan tidak menimbulkan kekhawatiran bagi masyarakat. Rasulullah bersabda :
“Seorang pemimpin atau kepala negara adalah pengurus rakyat, dan ia bertanggung jawab atas rakyat yang ia urus” (Hadis Riwayat Al-Bukhari dan Muslim).
Dalam kitab Al-Ahkam As-Sultaniyah halaman 52, Imam Al-Mawardi menjelaskan bahwa kewajiban terpenting seorang pemimpin atau kepala negara adalah mengangkat para pejabat yang bertugas mengurus urusan rakyat dan menjaga hak-hak mereka. Dengan demikian sangat jelas kewajiban negara adalah melindungi dan mengayomi masyarakat didasarkan pada prinsip Islam yang menekan Pentingnya menjaga hak keamanan dan ketentraman Masyarakat. Semua ini merupakan bagian integral dari tugas pemerintahan Islam Khilafah Islamiah.
Syekh Taqyuddin An-Nabhani, seorang ulama sekaligus mujtahid besar abad ini menjelaskan, dalam kitab beliau Syakhsiyah Islamiah juz 2 halaman 158 bab Kepemimpinan Umum; bahwa diantara sifat-sifat yang wajib dimiliki oleh seorang penguasa adalah menjadi pemberi kabar gembira dan tidak menimbulkan kekhawatiran di tengah Masyarakat. Diriwayatkan dari Abu Musa dia berkata, dulu jika Rasulullah mengutus salah seorang dari sahabat beliau berpesan janganlah antipati dan menyulitkan rakyat. Berangsiapa diamanahi memimpin kaum muslim lalu tidak bersungguh-sungguh dan tidak tulus menasehati mereka, kecuali dia tidak akan masuk surga bersama mereka. inilah perintah kepada penguasa agar dia amanah dan tidak bersikap semena-mena hingga rakyat dibuat khawatir atas kebijakannya.
Sistem Islam memiliki mekanisme agar pengusa hanya menjalankan hukum syariat saja. Sistem Islam membuat kedaulatan hukum ada di tangan Syariat, bukan manusia. Allah berfirman :
“Maka demi Tuhanmu, mereka pada hakikatnya tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu Hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka atas putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya” (Annisa ayat 65). Sabda Rasulullah :
“Tidak beriman salah seorang dari kamu hingga ia menjadikan keinginannya selaras dengan ajaran yang aku bawa” (Imam Al-Hakim dalam kitab Al-Mustadrak ala sohihain). Ketetapan ini menjadikan penguasa bukan pihak pembuat hukum yang bisa dengan seenaknya merevisi hukum seperti penguasa demokrasi kapitalisme saat ini.
Penguasa dalam Islam yakni Khalifah hanya menjalankan hukum Allah. Dia dibaiat oleh rakyat untuk menjalankan amanah ini seorang Khalifah. Dia dibolehkan melakukan tabani atau adopsi hukum untuk menghilangkan perbedaan di tengah Masyarakat. Jadi Khalifah tidak membuat hukum, namun dia menggali hukum dari hukum yang sudah ada, yakni hukum syariat.
Ketaatan Khalifah kepada hukum Syara’ akan menjadikan rakyat hidup tentram jauh dari kekhawatiran. Sebab dengan mengatur urusan rakyat dengan syariat, bukan dengan hawa nafsu sesuai dengan kepentingan seperti saat ini, maka ketentraman pun menjadi tercipta. Karena Allah akan memberikan keberkahan dari langit dan bumi, jika penduduk bumi beriman dan bertakwa. Sebagaimana yang Allah sebutkan dalam Al-Qur’an surah Al-A’raf ayat 96.
Wallahualam Bisawab
Catatan Kaki :
(1) https://www.amnesty.id/kabar-terbaru/siaran-pers/demo-tolak-pengesahan-revisi-uu-tni-diwarnai-teror-kekerasan-dan-intimidasi-terhadap-aktivis-mahasiswa-dan-jurnalis/03/2025/
Posting Komentar