Fasilitas Negara Diatur Dalam Islam
Oleh : Maulli Azzura
Rasulullah sholallahu 'alaihi wassalam bersabda :
من استعملناه على عمل فرزقناه رزقا فما أخذ بعد ذلك فهو غلول
"Barangsiapa yang kami (negara) beri tugas untuk melakukan suatu pekerjaan, dan kepadanya telah kami berikan rizki (berupa ujrah dan sejenisnya), maka apa yang diambil olehnya selain (ujrah) itu adalah ghulul (kecurangan)". (HR. Abu Daud)
Hadits ini dengan tegas melarang siapa pun, baik itu kepala negara (Khalifah), Wali (Gubernur), Amil (pejabat setingkat Bupati/Walikota), qadli (para hakim), termasuk para pegawai, untuk mengambil kelebihan (harta) dalam bentuk apapun, dari yang telah ditetapkan (berupa ujrah)
atas mereka. Apabila hal itu dilanggar, dan mereka mengambil (harta) lebih dari ujrah yang menjadi hak mereka (sebagai pegawai), maka perbuatannya itu dimasukkan dalam perbuatan curang, hartanya termasuk harta ghulul.
Didalam Islam, para pejabat negara atau pegawai negeri yang statusnya adalah ajir (pekerja). Sedangkan musta’jirnya adalah negara, dalam hal ini diwakili oleh Kepala Negara (Khalifah), para hukkam (penguasa selain Khalifah seperti, Wali/Gubernur dan Amil), dan orang-orang yang diberi otoritas oleh mereka.
Oleh karena itu menyangkut hak-hak dan kewajiban-kewajiban kedua belah pihak, diatur di dalam akad ijarah. Pegawai negeri maupun pejabat negara yang tidak termasuk kategori hukkam, menerima ujrah (gaji/imbalan) atas pekerjaan yang dilakukannya. Ujrah adalah harta yang menjadi pemilikan pribadi dari ajir, yang diperoleh dari musta’jir atas pekerjaan yang telah dilakukannya dalam periode dan syarat-syarat tertentu yang ditentukan/disepakati oleh kedua belah pihak. Selain dari ujrah atau imbalan yang telah disepakati oleh kedua belah pihak (dan tidak melanggar ketentuan hukum Islam) adalah perolehan yang diharamkan.
Fasilitas dinas seharusnya hanya digunakan untuk kepentingan terkait kedinasan. Sebab penggunaan fasilitas untuk kepentingan pribadi dapat menimbulkan konflik kepentingan, bertentangan dengan peraturan, dan memiliki resiko sanksi pidana.
Dalam hal ini pegawai negri tidak boleh memakai fasilitas negara untuk urusan pribadinya. Karena hal sekecil apapun akan ada hisabnya. Dan aktivitas yang menyangkut urusan pribadi harus lepas dari hal- hal yang terkait dengan urusan tugas dan fasilitas yang disediakan untuk kelangsungan tugas, seharusnya menghindari pemakaian untuk kepentingan pribadi.
Wa'llahu A'lam Bishowab
Posting Komentar