Kado Awal Tahun LPG Langka, Kok Bisa?
Oleh : Henise
Awal tahun 2025, masyarakat kembali dihadapkan pada kelangkaan LPG, terutama jenis 3 kg yang biasa digunakan oleh rakyat kecil. Situasi ini tentu menimbulkan keresahan, karena LPG merupakan kebutuhan pokok bagi banyak rumah tangga dan usaha kecil. Di berbagai daerah, antrean panjang terjadi di pangkalan LPG, harga melambung tinggi, dan stok di pasaran semakin sulit ditemukan.
Pemerintah berdalih bahwa kelangkaan ini terjadi akibat peningkatan permintaan, distribusi yang terhambat, atau faktor teknis lainnya. Namun, apakah benar kelangkaan LPG ini murni masalah teknis? Ataukah ada faktor sistemik yang membuat persoalan ini terus berulang dari tahun ke tahun?
Kapitalisme dan Krisis LPG yang Berulang
Kelangkaan LPG bukanlah peristiwa yang baru. Setiap tahun, persoalan serupa terus terjadi dengan alasan yang hampir sama. Ini menunjukkan bahwa ada masalah mendasar dalam tata kelola energi di negeri ini.
Beberapa faktor utama yang menyebabkan kelangkaan LPG antara lain:
1. Ketergantungan pada Impor
Meskipun Indonesia merupakan negara kaya sumber daya alam, ironisnya, pasokan LPG masih bergantung pada impor. Pemerintah lebih memilih menjual gas alam dalam bentuk ekspor ke luar negeri daripada mengolahnya untuk kebutuhan dalam negeri. Akibatnya, ketika harga global naik atau ada gangguan di rantai pasokan, rakyatlah yang terkena dampaknya.
2. Distribusi yang Tidak Merata
Sistem distribusi LPG di Indonesia masih penuh dengan persoalan. Di beberapa daerah, LPG 3 kg menjadi barang langka karena distribusi tidak berjalan lancar. Sementara itu, di daerah lain, stok melimpah tetapi dengan harga yang jauh lebih mahal dari harga eceran tertinggi (HET).
3. Permainan Spekulan dan Mafia Migas
Kelangkaan LPG sering kali menjadi ladang bisnis bagi spekulan dan mafia migas. Mereka menimbun LPG saat stok menipis, lalu menjualnya dengan harga tinggi ketika permintaan meningkat. Sayangnya, lemahnya pengawasan pemerintah membuat praktik ini terus terjadi tanpa ada sanksi tegas.
4. Penghapusan Subsidi Bertahap
Pemerintah secara bertahap mulai mengurangi subsidi LPG 3 kg dengan alasan membebani anggaran negara. Namun, kebijakan ini justru semakin menyulitkan rakyat kecil. Harga LPG terus naik, tetapi daya beli masyarakat tidak mengalami peningkatan yang signifikan.
Kegagalan Kapitalisme dalam Mengelola Energi
Persoalan kelangkaan LPG bukan hanya masalah teknis atau distribusi semata, tetapi lebih dari itu, ini adalah dampak dari sistem kapitalisme yang diterapkan dalam sektor energi. Dalam sistem ini, pengelolaan energi lebih berorientasi pada keuntungan segelintir pihak, bukan untuk kesejahteraan rakyat.
Beberapa kesalahan mendasar dalam sistem kapitalisme yang menyebabkan krisis energi berulang adalah:
1. Energi Dijadikan Komoditas, Bukan Kebutuhan Publik
Dalam kapitalisme, sumber daya alam diperlakukan sebagai komoditas yang bisa diperjualbelikan untuk keuntungan maksimal. Negara lebih memilih mengekspor gas dengan harga tinggi daripada memastikan ketersediaan LPG bagi rakyat.
2. Swastanisasi dan Liberalisasi Energi
Sektor energi, termasuk gas, tidak dikelola secara penuh oleh negara. Banyak perusahaan swasta yang ikut bermain dalam distribusi dan penentuan harga, sehingga rakyat harus membeli dengan harga pasar yang terus berfluktuasi.
3. Negara Berperan Sebagai Regulator, Bukan Pengelola
Dalam sistem kapitalisme, negara hanya berfungsi sebagai regulator yang mengawasi jalannya bisnis energi, bukan sebagai pengelola yang memastikan kesejahteraan rakyat. Akibatnya, kebijakan yang dibuat sering kali menguntungkan korporasi dibandingkan rakyat kecil.
Solusi Islam: Energi adalah Kepemilikan Umat
Islam memiliki sistem tata kelola sumber daya alam yang jauh lebih adil dan berpihak pada kepentingan rakyat. Dalam Islam, energi bukanlah komoditas bisnis yang bisa diperjualbelikan secara bebas, tetapi merupakan kepemilikan umum yang harus dikelola oleh negara untuk kesejahteraan rakyat.
Beberapa prinsip utama dalam pengelolaan energi dalam Islam adalah:
1. Sumber Daya Alam Dikelola Negara, Bukan Swasta
Islam menegaskan bahwa sumber daya alam, termasuk gas dan minyak, adalah kepemilikan umum yang tidak boleh dikuasai oleh individu atau perusahaan tertentu. Negara bertanggung jawab penuh dalam mengelola dan mendistribusikannya secara adil.
2. Energi Disediakan Gratis atau dengan Harga Murah
Dalam sistem Islam, kebutuhan dasar rakyat, termasuk energi, harus dijamin oleh negara. Jika produksi energi berlebih, hasilnya bisa dijual ke luar negeri untuk menambah pemasukan negara. Namun, jika stok terbatas, prioritas utama adalah pemenuhan kebutuhan dalam negeri.
3. Penghapusan Peran Spekulan dan Mafia Migas
Islam menerapkan sistem ekonomi yang mencegah adanya permainan harga oleh spekulan. Negara memiliki kontrol penuh terhadap distribusi energi, sehingga tidak ada pihak yang bisa menimbun dan memainkan harga sesuka hati.
4. Pengawasan Ketat terhadap Pengelolaan Energi
Dalam sistem Islam, penguasa bertanggung jawab penuh kepada Allah dalam mengelola sumber daya alam. Sistem pengawasan yang kuat dari masyarakat dan ulama memastikan tidak ada korupsi atau penyimpangan dalam pengelolaan energi.
Penutup
Kelangkaan LPG yang terjadi di awal tahun ini bukan sekadar masalah distribusi atau kenaikan permintaan, tetapi lebih dari itu, ini adalah bukti dari kegagalan sistem kapitalisme dalam mengelola sumber daya alam. Negara yang seharusnya menjadi pelindung rakyat justru membiarkan sumber daya alam dikuasai oleh swasta dan mafia migas, sehingga rakyat kecil terus menjadi korban.
Islam menawarkan solusi yang lebih adil dan berpihak kepada rakyat. Dengan menjadikan energi sebagai kepemilikan umum, mengelola sumber daya alam secara mandiri, dan memastikan distribusi yang merata, Islam mampu menciptakan kesejahteraan bagi seluruh rakyat.
Saatnya umat Islam menyadari bahwa solusi atas krisis energi ini bukan hanya menunggu kebijakan pemerintah yang lebih baik, tetapi dengan mengganti sistem yang rusak ini dengan sistem Islam yang kaffah. Hanya dengan penerapan syariat Islam, kebutuhan dasar rakyat akan benar-benar terpenuhi tanpa ada kepentingan kapitalis yang bermain di dalamnya.
Wallahu a'lam
Posting Komentar