-->

Kampus Kelola Tambang: Orientasi Pendidikan Makin Salah Arah


Oleh : Linda Anisa, S.Pd

Munculnya wacana mengenai kampus yang mengelola tambang akhir-akhir ini menjadi perbincangan hangat. Adanya otonomi kampus yang memungkinkan institusi pendidikan untuk mencari pendapatan mandiri menjadi salah satu alasan munculnya usulan tersebut. Dengan adanya otonomi kampus, universitas diharapkan dapat mencari sumber pendapatan secara mandiri, tanpa bergantung sepenuhnya pada dana dari pemerintah. Salah satu cara yang diusulkan adalah dengan mengelola tambang. Namun, usulan ini sejatinya dapat membelokkan arah dan tujuan utama dari pendidikan tinggi itu sendiri. Kampus yang seharusnya berfokus pada pengembangan ilmu pengetahuan dan pembentukan karakter, justru berpotensi bergeser menjadi lembaga yang lebih mengejar keuntungan material.
Tentu saja kita harus memikirkan kembali dampaknya terhadap orientasi pendidikan di Indonesia. Sebab hal ini menunjukkan adanya disorientasi dalam pendidikan, yang menjadi konsekuensi dari industrialisasi pendidikan melalui status Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (PTN-BH). Disorientasi pendidikan ini semakin nyata seiring dengan berkembangnya sistem industrialisasi pendidikan, seperti yang tercermin dalam penerapan PTN-BH. Sistem ini mendorong perguruan tinggi untuk berkompetisi dalam mencari pendapatan, yang pada akhirnya mengutamakan aspek ekonomi dan profitabilitas daripada kualitas pendidikan dan pengembangan karakter mahasiswa.

Selain itu, usulan kampus mengelola tambang ini juga menunjukkan adanya disfungsi negara. Negara seharusnya berperan sebagai raa'in (pemimpin) dan junnah (pelindung), yang bertanggung jawab atas pemenuhan kebutuhan publik, termasuk menyediakan akses pendidikan tinggi yang merata dan terjangkau. Namun, ketika kampus-kampus diberi ruang untuk mencari pendapatan dari sumber daya alam seperti tambang, maka peran negara sebagai pelindung dan penyedia layanan publik semakin terkikis. Pendidikan seharusnya menjadi hak yang mudah diakses oleh semua lapisan masyarakat, bukan menjadi komoditas yang hanya dapat dijangkau oleh mereka yang mampu membayar biaya tinggi.
Lebih dari itu, pengelolaan tambang sebagai harta milik umum seharusnya berada di tangan negara, yang bertanggung jawab untuk mengelolanya demi kepentingan rakyat banyak. Alih-alih memperkuat peran negara dalam menyediakan layanan pendidikan, wacana ini justru mengarah pada semakin banyaknya sektor yang diserahkan kepada pihak swasta atau kampus untuk dikelola demi keuntungan.

Kapitalisasi Pendidikan dan Dampaknya terhadap Akses Pendidikan

Kapitalisasi pendidikan yang terjadi saat ini telah membawa dampak besar terhadap orientasi pendidikan di Indonesia. Kampus yang seharusnya menjadi lembaga yang mengedepankan ilmu pengetahuan dan pengembangan karakter, kini semakin berorientasi pada pencarian materi. Dalam sistem kapitalisme, biaya pendidikan tinggi banyak ditanggung oleh orangtua atau individu itu sendiri, sehingga semakin banyak mahasiswa yang terhambat untuk mengakses pendidikan tinggi karena keterbatasan ekonomi.
Biaya pendidikan yang tinggi menjadikan pendidikan tinggi hanya dapat dijangkau oleh mereka yang memiliki kemampuan finansial. Hal ini menciptakan ketimpangan dalam kesempatan memperoleh pendidikan yang berkualitas. Mahasiswa dari keluarga miskin atau menengah ke bawah sering kali terpaksa mengorbankan impian mereka untuk melanjutkan pendidikan tinggi. Oleh karena itu, menjadikan kampus sebagai lembaga yang mengelola tambang untuk mencari pendapatan tambahan hanya akan semakin memperburuk ketimpangan ini.

Lembaga Pendidikan Islam Fokus pada Pembentukan Syaksiyah Islamiyah
Kampus sebagai salah satu lembaga pendidikan, seharusnya memiliki fokus utama dalam membentuk syaksiyah Islamiyah (kepribadian Islam) pada setiap mahasiswanya. Sebagai lembaga yang bertanggung jawab untuk mencetak generasi unggulan, kampus seharusnya mempersiapkan mahasiswa dengan ilmu pengetahuan yang bermanfaat, karakter yang kuat, serta kemampuan untuk memberikan kontribusi terbaik bagi umat dan masyarakat. Oleh karena itu, orientasi kampus harus kembali pada tujuannya untuk mencetak generasi yang berakhlak mulia, berkompeten, dan siap memberikan solusi bagi tantangan yang dihadapi oleh umat manusia, bukan sekadar mengejar keuntungan finansial.

Dalam pandangan Islam, pembiayaan pendidikan tinggi harusnya ditanggung oleh negara. Hal ini mencakup seluruh biaya pendidikan, termasuk pembiayaan yang diperlukan untuk pengelolaan sumber daya alam, seperti tambang. Islam mengatur bahwa sumber daya alam yang ada di negeri ini, termasuk tambang, adalah milik umum yang harus dikelola oleh negara demi kesejahteraan rakyat. Negara, dalam hal ini, memiliki kewajiban untuk memastikan bahwa hasil dari pengelolaan sumber daya alam tersebut dikembalikan kepada rakyat dalam bentuk sarana umum, termasuk layanan pendidikan.

Negara yang berdasarkan syariat Islam tidak akan membiarkan sektor pendidikan dijadikan ladang profit bagi individu atau institusi tertentu. Sebaliknya, negara bertanggung jawab penuh dalam menyediakan akses pendidikan yang adil dan merata bagi seluruh rakyat, tanpa membedakan latar belakang ekonomi.
Islam dengan jelas mengharamkan pengelolaan pertambangan oleh individu atau pihak swasta, sebagaimana yang terjadi saat ini di banyak negara. Tambang dan sumber daya alam lainnya adalah milik umum yang wajib dikelola oleh negara untuk kepentingan rakyat. Pengelolaan ini bertujuan agar hasilnya dapat dikembalikan kepada masyarakat dalam bentuk layanan publik yang bermanfaat, termasuk fasilitas pendidikan, kesehatan, infrastruktur, dan berbagai layanan dasar lainnya.

Negara memiliki kewajiban untuk memastikan bahwa sumber daya alam yang dikelola dengan bijaksana dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi rakyat. Jika pengelolaan tambang diserahkan kepada pihak swasta atau kampus, maka keuntungan yang seharusnya bisa dirasakan oleh rakyat banyak justru akan jatuh ke tangan segelintir pihak, yang semakin memperburuk kesenjangan sosial.

khatimah

Wacana mengenai kampus yang mengelola tambang adalah sebuah indikasi bahwa orientasi pendidikan di Indonesia semakin melenceng. Alih-alih menjadi lembaga yang memfokuskan diri pada pengembangan ilmu pengetahuan dan pembentukan karakter, kampus kini lebih mengarah pada upaya mengejar keuntungan materi. Hal ini adalah dampak dari kapitalisasi pendidikan yang semakin mendorong pendidikan menjadi komoditas yang hanya dapat dijangkau oleh mereka yang mampu. 

Negara, sebagai pemangku kepentingan utama, seharusnya kembali pada perannya sebagai pelindung rakyat, termasuk dalam menyediakan akses pendidikan yang adil dan merata. Dalam sistem Islam, pendidikan tinggi harus ditanggung oleh negara, dan pertambangan harus dikelola untuk kepentingan rakyat banyak. Dengan demikian, generasi masa depan akan mendapatkan pendidikan yang berkualitas, tanpa dibebani oleh biaya tinggi yang menghalangi mereka untuk mengakses ilmu.
Wallahu a’lam bi ash sawab