Keresahan Masyarakat Menjelang Mudik Lebaran
Oleh : Zahra K.R (Aliansi Penulis Rindu Islam)
Momen lebaran tentunya adalah momen yang sangat ditunggu-tunggu oleh masyarakat terutama umat Islam. Karena, momen lebaran adalah momentum terbaik untuk berkunjung ke rumah sanak saudara dan keluarga yang mungkin sudah lama tidak bertemu dan kini di pertemukan kembali untuk mengeratkan hubungan silaturahim. Namun, bagaimana jadinya, jika momen yang ditunggu-tunggu justru menimbulkan keresahan di tengah masyarakat?
Ya, seolah sudah menjadi hal biasa ketika menjelang lebaran, berbagai persoalan berdatangan. Termasuk masalah yang kerap kali muncul dalam sarana tranportasi. Mulai dari kenaikan harga tiket tranportasi, kemacetan lalu lintas, hingga terjadinya kecelakaan.
Pada Senin, tanggal (24/3/2025), telah terpantau bahwa penumpang transportasi umum mulai mengalami kelonjakan. Hal itu dikarenakan masyarakat lebih memilih mudik lebih awal demi menghindari kenaikan harga tiket. Kepala Biro Komunikasi dan Informasi Publik Kementerian Perhubungan (Kemenhub) Budi Rahardjo mengatakan bahwa kenaikan jumlah penumpang pada tahun ini lebih besar jika dibandingkan dengan tahun 2024 lalu. Sementara, kenaikan terbesar ada pada transportasi kereta api. Menanggapi hal itu, Budi memberikan apresiasinya kepada masyarakat yang memilih mudik lebih awal karena dapat memecah kepadatan di waktu mendatang. (Kompas.id 24/03/2025)
Walaupun sebelumnya, Presiden Prabowo telah menyampaikan bahwa untuk menghadapi arus mudik lebaran, pemerintah melakukan kerja sama dengan pihak swasta dalam melancarkan beberapa kebijakan di bulan Ramadhan 1446 H. Salah satunya adalah kebijakan pemerintah dalam menurunkan harga tiket transportasi umum. (Nasional.sindonews.com 22/03/2025)
Namun, hal itu belum sepenuhnya memberikan ketenangan bagi masyarakat, karena masih banyak persoalan lain yang tetap harus mereka hadapi. Salah satunya adalah travel gelap, dimana transportasi tersebut tidak memiliki izin resmi dari pihak berwenang. Walaupun harganya cenderung lebih ekonomis, tetapi resiko yang didapat bisa lebih besar.
Pengamat transportasi Djoko Setijowarno menganggap, bahwa menjamurnya transportasi gelap yang beredar di tengah masyarakat merupakan bentuk gagalnya pemerintah dalam menyediakan layanan tranportasi umum yang merata hingga ke pelosok-pelosok desa terpencil. Ia juga mengingatkan kembali bahwa pemerintah memiliki kewajiban dalam menjamin tersedianya tarnsportasi umum yang aman, nyaman, harga terjangkau, dan mampu mengantar hingga ke tujuan dengan selamat. Hal ini sebagaimana sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun Jalan Pasal 138 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UU LLAJ). (Liputan6.com 23/03/2025).
Persoalan demi persoalan yang terjadi, tidak bisa dipungkiri jika penyebabnya adalah karena buruknya tata kelola tranportasi dalam sistem kapitalisme-sekuler. Sistem kapitalisme ini, telah memisahkan agama dari kehidupan. Sehingga, kehidupan masyarakat pun jauh dari aturan agama. Akibatnya, tujuan mereka bekerja bukan untuk mencari ridho Allah, melainkan untuk mencari manfaat duniawi. Tansportasi dipandang sebagai jasa komersial semata, dimana hal itu dijadikan ajang bisnis untuk memenuhi kebutuhan pelanggan, tanpa melihat kenyamanan, keamanan,dan keselamatan masyarakat. Hal itu dikarenakan sistem pengelolaannya diserahkan kepada pihak swasta. Sedangkan, negara hanya dijadikan sebagai regulator yang cenderung berpihak kepada pengusaha.
Beginilah hakikat seorang pemimpin dalam sistem kapitalisme-sekuler yang menganggap tanggungjawab kepemimpinan itu hanya sekedar untuk mencari keuntungan atau sebagai ajang bisnis semata. Keamanan dan kenyamanan masyarakat seolah dikesampingkan. Urusan mereka pun menjadi kacau balau, imbas dari tidak teraturnya tata kelola kehidupan mereka. Terlebih lagi, mereka yang hidup di daerah pelosok desa, akses yang diberikan negara sangat minim, bahkan tidak layak. Segala bentuk kekurangan terpaksa harus mereka hadapi, demi melangsungkan kehidupan mereka.
Tidak heran jika banyak masyarakat yang lebih memilih menggantungkan kehidupannya di perkotaan. Karena, infrastruktur dan fasilitas umum yang disediakan oleh negara tidak merata. Kalaupun ada, biasanya tidak layak. Dan lebih mirisnya, ketika mereka ingin menikmati infrastruktur dan fasilitas umum yang lebih layak, mereka harus mengeluarkan biaya yang tidak murah. Akibatnya, banyak dari mereka terpaksa harus merantau ke kota, untuk mencari kerja demi menyambung kehidupannya. Hal inilah yang menyebabkan ramainya arus mudik tatkala mendekati lebaran.
Berbeda dengan sistem Islam. Sistem Islam telah memandang bahwa transportasi adalah fasilitas publik yang tidak boleh dikomersialkan. Walaupun biaya yang dibutuhkan untuk pembangunan infrastruktur terbilang mahal dan rumit, namun tanggungjawab pengelolaannya tersebut haram hukumnya jika negara menyerahkannya kepada pihak swasta. Karena, yang bertanggungjawab sepenuhnya adalah negara. Hal itu dikarenakan negara memiliki kewajiban untuk menjamin kebutuhan transportasi publik yang aman, nyaman, terjangkau, dan selamat sampai tujuan dengan fasilitas terbaik sesuai dengan perkembangan teknologi. Anggaran yang dibutuhkan untuk mewujudkan semua hal itu tentunya adalah anggaran yang bersifat mutlak, tidak terbatas. Karena, transportasi merupakan hajat publik yang terus dibutuhkan.
Dalam sistem Islam, negara memiliki sumber pemasukan yang tidak terbatas dan beragam. Sehingga, anggaran yang tersedia mampu untuk memenuhi kebutuhan pembangunan infrastruktur, termasuk tranportasi yang baik, aman, dan nyaman. Dengan begitu, masyarakat pun tidak perlu resah ketika menjumpai musim mudik lebaran. Karena, apa yang mereka butuhkan, bisa dengan mudah mereka dapatkan, bahkan dengan kualitas terbaik.
Disamping itu, Islam juga memandang bahwa jaminan keamanan, kenyamanan, dan kemudahan dalam mengakses tranportasi merupakan hak semua masyarakat dan merupakan kewajiban negara untuk memenuhinya. Oleh karena itu, infrastruktur yang dibangun oleh negara yang didalamnya menerapkan sistem Islam akan merata bahkan hingga ke pelosok-pelosok desa terpencil. Sehingga, potensi ekonomi tidak hanya berkembang pesat di daerah perkotaan saja, melainkan juga terbuka lebar hingga ke seluruh wilayah, hingga ke daerah pelosok pedesaan.
Masyarakat pun tidak perlu merasa resah di saat mendekati moment lebaran. Karena, segala kebutuhannya sudah terpenuhi dengan baik. Dengan begitu, fokus mereka untuk mengejar pahala di bulan Ramadhan pun tidak terpecah. Ibadah yang mereka jalankan pun bisa maksimal, sehingga mereka tidak merasa menyesal dan kecewa ketika bulan Ramadhan mulai berakhir. Dan mereka mampu menyambut moment lebaran dengan perasaan yang riang gembira.
Wallahu a'lam bish-shawwab.
Posting Komentar