Kesenjangan Tinggi, Makin Hilangnya Harapan Sejahtera
Oleh : Kanti Rahayu (Aliansi Penulis Rindu Islam)
Kita masih ingat bahwa tagar "#KaburAjaDulu" sempat populer di media sosial, terutama di platform X. Bahkan sampai saat ini opini menganai tagar ini masih wara-wiri di berbagai platform media. Tagar ini mencerminkan rasa keresahan yang dirasakan oleh generasi muda terhadap berbagai permasalahan, mulai dari kesulitan dalam mencari pekerjaan hingga kondisi politik yang dianggap tidak berpihak kepada mereka. Secara sederhana, #KaburAjaDulu menggambarkan hasrat anak muda untuk meninggalkan Indonesia demi mencari kehidupan yang lebih baik di luar negeri, baik dalam hal karier, pendidikan, maupun kualitas hidup. Dilansir liputan6petang 14/2/2025.
Cerminan Kesenjangan dan Hilangnya Harapan
Fenomena #KaburAjaDulu tidak hanya sekadar tren di media sosial, melainkan juga menjadi cerminan kegelisahan sejumlah orang terhadap keadaan dalam negeri. Dengan biaya hidup yang terus melambung, tantangan dalam mencari pekerjaan yang layak, dan ketidakpastian mengenai masa depan, pilihan untuk "kabur" ke luar negeri kini terasa semakin realistis.
Digitalisasi global semakin menyoroti kesenjangan antara negara-negara dengan menunjukkan kehidupan yang lebih sejahtera di tempat lain. Namun, apakah kenyataan ini sebenarnya sesederhana yang terlihat?
Migrasi ke luar negeri tidaklah tanpa tantangan. Ada kompetisi kerja yang ketat, kebutuhan untuk beradaptasi dengan budaya baru, dan regulasi yang tidak selalu mendukung para pendatang. Oleh karena itu, di balik seruan untuk "melarikan diri," terdapat pertanyaan yang lebih mendalam: Apakah yang kita butuhkan sebenarnya adalah menghindar atau berupaya memperbaiki keadaan dari dalam?
Fenomena brain drain yang semakin meluas, terutama dari negara berkembang ke negara maju, bukan hanya sekadar kecenderungan individu yang mencari kehidupan yang lebih baik. Hal ini mencerminkan dampak sistemik dari ketimpangan global yang semakin mencolok akibat liberalisasi ekonomi.
Negara-negara maju, dengan sumber daya yang melimpah dan sistem yang sudah terjalin dengan baik, berhasil menarik tenaga kerja terbaik dari negara-negara berkembang. Sayangnya, negara asal jadi kehilangan sumber daya manusia unggul yang seharusnya menjadi penggerak pembangunan. Akibatnya, negara-negara berkembang terjebak dalam ketergantungan, sulit untuk keluar dari keterbelakangan ekonomi, dan terus berjuang menghadapi siklus ketidakberdayaan struktural.
Di sisi lain, munculnya narasi "kabur aja dulu" yang semakin populer di kalangan generasi muda mencerminkan keputusasaan terhadap kondisi dalam negeri yang tak kunjung membaik. Jika hal ini terus dibiarkan, kita berisiko terjerumus dalam lingkaran setan yang akan semakin memperburuk ketimpangan global dan memperpanjang krisis pembangunan di negara-negara berkembang.
Sistem kapitalisme yang menjadi dasar kebijakan ekonomi dalam negeri pada dasarnya memicu ketimpangan yang semakin mencolok, baik di tingkat domestik maupun global. Di dalam negeri, kesenjangan ekonomi semakin melebar akibat kebijakan yang cenderung menguntungkan pemilik modal, alih-alih memprioritaskan kesejahteraan rakyat.
Di tingkat global, negara-negara berkembang tetap berada dalam posisi yang lemah, terperangkap dalam mekanisme ekonomi yang dikendalikan oleh negara maju melalui perdagangan bebas, investasi, dan kebijakan moneter internasional. Salah satu dampak dari kegagalan sistem ini adalah fenomena brain drain, di mana individu merasa lebih memiliki peluang untuk mencapai kesejahteraan dengan "kabur" ke negara maju, ketimbang bertahan di dalam negeri yang terus menerus memberikan ketidakpastian.
Jika akar permasalahan ini tidak ditangani dengan serius, negara-negara berkembang akan terus terjebak sebagai penyedia tenaga kerja murah bagi negara maju. Sementara itu, upaya untuk membangun kemandirian ekonomi nasional hanya akan selalu menjadi sebuah cita-cita yang sulit tercapai.
Kapitalisme sebagai sistem ekonomi telah menunjukkan kelemahannya dalam menciptakan kesejahteraan yang merata. Kondisi ini mendorong terjadinya brain drain, di mana sumber daya manusia yang berkualitas memilih untuk pergi ke luar negeri.
Alih-alih memberikan kemakmuran bagi seluruh lapisan masyarakat, sistem ini justru memperlebar kesenjangan sosial dengan mengumpulkan kekayaan di tangan segelintir orang, sementara mayoritas rakyat terpaksa berjuang dalam keterbatasan. Dengan akses yang semakin terbatas terhadap pekerjaan yang layak, pendidikan berkualitas, dan jaminan sosial, banyak generasi muda yang berpotensi memilih untuk mencari peluang yang lebih baik di negara lain.
Selama sistem ini yang menjadi aturan ekonomi, maka kesejahteraan rakyat tidak akan pernah terwujud. Sementara itu, negara terus kehilangan aset terbaiknya, yaitu sumber daya manusia unggul yang seharusnya menjadi motor penggerak pembangunan.
Meraih Kesejahteraan dengan Prinsip-Prinsip Islam.
Oleh karena itu, untuk mengubah keadaan menjadi lebih baik dan menghentikan gelombang pengurangan sumber daya manusia (brain drain), satu-satunya solusi adalah mengganti sistem kapitalisme dengan sistem ekonomi Islam. Islam menawarkan pendekatan yang berbasiskan keadilan dan pemerataan, di mana kepemilikan umum dikelola oleh negara demi kesejahteraan rakyat. Pajak yang diterapkan tidak memberatkan, sementara distribusi kekayaan dilakukan secara adil melalui zakat, infak, dan mekanisme syariah lainnya.
Dengan penerapan ekonomi Islam secara menyeluruh, setiap individu akan memiliki kesempatan kerja dan kesejahteraan yang merata. Dengan demikian, sumber daya manusia unggul tidak perlu mencari masa depan di luar negeri, melainkan dapat berkontribusi secara optimal dalam membangun tanah air.
Dalam perspektif Islam, negara memegang peranan sentral sebagai pengurus rakyat (raa’in) yang memiliki tanggung jawab untuk memastikan kesejahteraan setiap individu. Salah satu langkah fundamental yang perlu diambil adalah menciptakan sistem ekonomi yang berorientasi pada keadilan, di mana sumber daya alam dikelola sepenuhnya oleh negara untuk kepentingan rakyat, bukan diserahkan kepada korporasi atau pihak asing.
Dengan demikian, kesempatan kerja akan terbuka luas di berbagai sektor, seperti pertanian, industri, perdagangan, dan jasa. Negara memiliki tanggung jawab untuk memastikan distribusi kekayaan yang merata, mencegah terjadinya monopoli, serta menghapus praktik eksploitasi tenaga kerja.
Dengan pendekatan ini, individu tidak lagi termotivasi untuk “kabur” ke luar negeri demi mencari kesejahteraan, karena negara mereka sendiri telah menjadi tempat yang menyediakan kehidupan yang layak dan adil. Islam menawarkan solusi sistemik yang tidak hanya mengatasi masalah brain drain, tetapi juga menciptakan kemandirian ekonomi serta kesejahteraan yang berkelanjutan.
Selain membangun sistem ekonomi yang adil, Islam juga menetapkan strategi pendidikan yang bertujuan untuk menciptakan sumber daya manusia (SDM) yang unggul, beriman, dan siap berkontribusi dalam pembangunan negara. Pendidikan dalam Islam tidak hanya berfokus pada keterampilan dan ilmu pengetahuan duniawi, tetapi juga menanamkan kesadaran bahwa setiap individu memiliki tanggung jawab untuk menciptakan peradaban yang adil dan sejahtera.
Dalam sistem Islam, negara tidak akan mengabaikan rakyatnya. Sebaliknya, negara akan menjamin kesejahteraan mereka dengan memenuhi kebutuhan dasar seperti pendidikan, kesehatan, dan lapangan kerja. Dengan penerapan Islam secara menyeluruh (kaffah), tidak hanya rakyat dalam negeri yang akan merasakan keadilan, tetapi seluruh dunia pun akan mengalami dampak positifnya. Sistem ini memiliki potensi untuk menghapus kesenjangan global yang timbul akibat kapitalisme dan membangun tatanan dunia yang lebih adil serta sejahtera bagi seluruh umat manusia.
Posting Komentar