-->

Minim Empati, Wakil Rakyat Rapat di Hotel Mewah Bintang Lima

Oleh : Dinda Kusuma WT

Seakan tak ada habisnya, sentimen negatif selalu melekat kepada para wakil rakyat di Indonesia. Betapa tidak, ditengah kebijakan efisensi anggaran, DPR RI justru menggelar rapat di sebuah hotel bintang lima. Perilaku yang sangat bertentangan dengan himbauan pemerintah untuk mengefisienkan anggaran negara semaksimal mungkin.

Ketua Komisi I DPR Utut Adianto buka suara ihwal alasan komisinya menggelar rapat pembahasan revisi UU TNI di hotel. Dia berujar bahwa kebiasaan rapat di hotel itu telah dilakukan sejak dahulu. "Dari dulu. Coba kamu cek," ujar Utut saat ditemui di sela-sela rapat di Hotel Fairmont, Jakarta, Sabtu, 15 Maret 2025.  "(Pembahasan) Undang-undang Kejaksaan di Hotel Sheraton, Undang-undang Pelindungan Data Pribadi di InterContinental. Kok, enggak kamu kritik," ucapnya lagi (tempo.co, 16/03/2025).

Tampaknya, menjawab pertanyaan masyarakat dengan asal-asalan tanpa empati sudah menjadi kebiasaan para pejabat. Sejatinya, Wakil rakyat adalah penyambung lidah rakyat bukan penikmat uang rakyat. Ironisnya, sebagian besar produk kebijakan yang dibuat oleh wakil rakyat malah tak berpihak pada peningkatan kesejahteraan rakyat. Bahkan justru menyengsarakan.

Sudah menjadi rahasia umum, gaya hidup wakil rakyat kerap terkesan glamor, jauh dari kesederhanaan. Sangking gerahnya dengan ulah anggota DPR, masyarakat tak segan mengutarakan bahwa adanya wakil rakyat tak berpengaruh terhadap kondisi mereka.  Artinya, para wakil rakyat tak mampu mendengar aspirasi rakyat. Hanya di saat mengumbar janji-janji politik jelang kampanye, para wakil rakyat mendekat dan memerhatikan rakyat. Jika  sudah menjabat, hilanglah sudah rasa empati dan rakyat pun hilang simpati.

Begitu jauhnya jarak antara rakyat dan wakilnya. Rakyat kecil tengah mengalami kesengsaraan akibat kebijakan efisensi anggaran, PHK massal terjadi masif di seluruh negeri, namun orang-orang yang mengaku sebagai wakil rakyat justru berfoya-foya. Wakil rakyat tak lagi bertujuan menyuarakan aspirasi rakyat, melainkan disibukkan dengan pengembalian modal politik. Apalagi kalau bukan dengan berkolaborasi bersama para penyokong dana kampanye, kaum kapital. 

Dalam sistem Demokrasi, kaum kapital berperan sebagai pemberi modal kampanye para politisi calon wakil rakyat. Ketika wakil rakyat berhasil memperoleh suara terbanyak, kursi kekuasaan jatuh di tangan mereka. Kaum kapital merasa puas tatkala para wakil rakyat yang menjadi tangan kanan mereka menduduki kursi kekuasaan. Hal ini jelas memuluskan jalan mereka untuk meloloskan berbagai kebijakan sesuai keinginan mereka.

Posisi wakil rakyat di mata rakyat seharusnya menjadi sosok yang terpercaya, mumpuni dan layak dijadikan teladan. Sayangnya, dalam sistem saat ini, sangat sulit menemukan sosok wakil rakyat yang demikian. Yang ada malah sosok-sosok yang dikenal karena citra karakternya di media yang sebenarnya jauh dari kata layak untuk dijadikan sosok panutan. Tak sedikit pula artis atau pengusaha yang menjadi wakil rakyat. Padahal kapabilitasnya masih dipertanyakan. Hanya bermodalkan uang, terkenal, mempunyai banyak penggemar dan pengikut, mereka sudah bisa melenggang menjadi wakil rakyat. 

Iklim Demokrasi jelas tak mampu memproduksi manusia-manusia "bersih". Pasalnya, ongkos politik dalam Demokrasi begitu mahal, berpotensi untuk melahirkan manusia-manusia rakus, yang mudah berkhianat dan tidak mampu menjalankan amanah. Demokrasi terbukti melahirkan wakil-wakil rakyat yang minim empati dan tak layak diteladani.

Jauh berbeda ketika dunia dipimpin oleh Islam. Sejarah telah mencatat betapa sejahteranya rakyat dibawah kepemimpinan Islam. Salah seorang pemimpin muslim yang mahsyur hingga saat ini adalah Khalifah Umar bin Khattab. Selama memimpin, Umar Bin Khattab jauh dari kata bermegah-megahan. Riwayat mencatat, sang Khalifah bahkan takut menghidupkan lampu dirumahnya karena biaya listriknya diambil dari Baitul mal. 

Disisi lain, pengorbanannya sangat besar untuk rakyat. Ketika kaum muslimin mengalami kesusahan karena kekeringan, beliau menolak diberikan makanan enak. Demi mendahulukan kepentingan rakyat yang dipimpinnya. Demikian pula, sifat dan perilaku para pejabat negara pada jamannya yang penuh amanah. Sangat jauh berbeda dengan gambaran pemimpin jaman sekarang. 

Kesadaran pemimpin Islam bahwa amanahnya akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah, menjadikan pemimpin tak berani bertindak sesuka hati. Dia akan selalu bersandar pada aturan Ilahi. Orang yang menjadi pemimpin bukanlah figur gila jabatan, atau diliputi nafsu berkuasa, melainkan orang yang terus berusaha melekatkan sifat adil pada dirinya. Hingga tiada satu makhluk bernyawa pun yang akan dizaliminya. Sang pemimpin benar-benar bertanggung jawab atas rakyat yang dipimpinnya.

Sejarah tidak membantah bahwa sistem dan kepemimpinan Islam mampu mensejahterakan seluruh rakyat. Dan bahwa pemimpin Islam adalah pemimpin amanah yang mengutamakan rakyat disebabkan ketaatan dan ketaqwaannya kepada Allah SWT. Tujuan politik dalam Islam adalah menjadikan negeri ini bertakwa, hingga berkah Allah SWT tercurah dari langit dan bumi. Inilah sebuah sistem kepemimpinan dan tata negara yang mampu memberikan kesejahteraan dan kebahagiaan hakiki bagi seluruh umat manusia. 
Wallahu a'lam bishsawab.