-->

Negara di Tangan Taipan : Jalan Sejahtera atau Jurang Nestapa?


Oleh : Ummu Almyra

Presiden Prabowo Subianto baru-baru ini mengundang sejumlah konglomerat ke Istana Kepresidenan Jakarta. Tokoh-tokoh bisnis seperti Sugianto Kusuma (Aguan), Prajogo Pangestu, Garibaldi Tohir, Frankie Usman Wijaya, Dato Sri Tahir, James Riady, dan Tommy Winata hadir dalam pertemuan tersebut. Bahkan, sehari setelahnya, Prabowo juga berdiskusi dengan investor Amerika Serikat, Raymond Thomas Dalio. Langkah ini diklaim sebagai upaya mendapatkan pandangan kritis dan pengalaman dalam pengelolaan investasi serta aset negara. Namun, banyak yang mempertanyakan apakah pendekatan ini benar-benar untuk kepentingan rakyat atau justru semakin memperkokoh cengkeraman para taipan dalam kebijakan negara.

Negara dalam Genggaman Pemodal?

Fakta bahwa para konglomerat kerap terlibat dalam proyek strategis nasional bukanlah hal baru. Misalnya, Sugianto Kusuma terlibat dalam proyek-proyek seperti Hotel Nusantara dan Pantai Indah Kapuk 2. Keberadaan taipan dalam pengambilan keputusan negara bisa menjadi indikasi bahwa kepentingan bisnis lebih diutamakan dibandingkan kesejahteraan rakyat. Hal ini mencerminkan ketergantungan negara pada segelintir elite ekonomi yang memiliki kuasa besar dalam menentukan arah kebijakan nasional.

Ketergantungan pemerintah pada konglomerat menunjukkan lemahnya independensi negara dalam mengelola sumber daya. Alih-alih menciptakan kebijakan ekonomi yang berpihak pada rakyat, negara justru semakin menyerahkan nasib bangsa kepada segelintir elite ekonomi. Jika ini terus berlangsung, maka bukan tidak mungkin keputusan-keputusan penting negara akan lebih banyak menguntungkan pihak pemodal daripada rakyat kecil yang seharusnya menjadi prioritas utama.

Kapitalisme dan Akibatnya bagi Rakyat

Realitas ini adalah konsekuensi logis dari sistem sekuler demokrasi kapitalisme yang diterapkan dalam kehidupan bernegara. Sistem ini mengutamakan keuntungan dan kepentingan segelintir orang, sementara rakyat kecil harus menghadapi dampaknya. Keputusan ekonomi yang berorientasi pada kepentingan modal sering kali mengabaikan kesejahteraan masyarakat luas. Akibatnya, kesenjangan sosial semakin melebar, dan ketimpangan ekonomi semakin sulit diatasi.

Kebijakan yang lahir dari sistem ini cenderung mengutamakan investasi besar-besaran, pembangunan infrastruktur yang lebih menguntungkan investor daripada rakyat, serta privatisasi sektor-sektor strategis. Sebagai contoh, sektor energi, air bersih, dan kesehatan yang seharusnya dikelola negara demi kepentingan masyarakat justru diserahkan kepada swasta dengan dalih efisiensi. Hasilnya, rakyat harus membayar mahal untuk layanan dasar yang seharusnya menjadi hak mereka.

Berbeda dengan sistem Islam yang menempatkan pemimpin sebagai ra’in (pengurus rakyat) dan junnah (pelindung rakyat), sistem kapitalisme justru menempatkan pemodal sebagai aktor utama dalam kebijakan negara. Rasulullah ﷺ bersabda:

"Imam adalah ra’in (penggembala), dan ia bertanggung jawab atas rakyatnya." (HR. Bukhari)

Dalam Islam, penguasa bertanggung jawab memastikan kesejahteraan rakyat tanpa harus tunduk pada kepentingan konglomerat. Negara wajib menjamin kebutuhan dasar seperti pendidikan, kesehatan, dan keamanan tanpa membebankannya kepada rakyat atau menyerahkannya kepada swasta. Sistem ini berbanding terbalik dengan kapitalisme yang menjadikan negara hanya sebagai regulator, sementara pelaksanaan layanan publik diserahkan kepada pihak swasta yang tentunya berorientasi pada keuntungan.

Solusi Islam: Negara Berdaulat Tanpa Intervensi Konglomerat

Islam memiliki sistem ekonomi yang menjamin kesejahteraan rakyat melalui pengelolaan sumber daya yang adil. Dalam konsep Baitul Mal, pemasukan negara berasal dari tiga pos utama: kepemilikan umum, kepemilikan negara, dan zakat. Model ini memungkinkan negara memiliki sumber pendapatan yang stabil tanpa harus mengandalkan investasi dari para taipan.

Sumber daya alam seperti minyak, gas, tambang, dan air adalah milik umum yang dalam Islam tidak boleh dikuasai oleh individu atau perusahaan swasta. Negara berkewajiban mengelolanya untuk kesejahteraan rakyat. Keuntungan dari pengelolaan ini harus digunakan untuk kepentingan publik, bukan masuk ke kantong segelintir elite bisnis atau investor asing.

Selain itu, dalam sistem Islam, penguasa tidak bisa seenaknya menggadaikan negara kepada pemodal demi kepentingan bisnis. Negara berfungsi sebagai pelindung rakyat, bukan sebagai fasilitator bagi para konglomerat untuk memperkaya diri. Penguasa dalam Islam harus mempertanggungjawabkan semua kebijakan yang diambilnya di hadapan Allah dan umat. Hal ini berbeda dengan sistem demokrasi kapitalisme yang memberikan ruang bagi pemodal untuk mempengaruhi kebijakan negara demi keuntungan pribadi.

Mengundang para taipan ke istana untuk membahas investasi dan pengelolaan aset negara bukanlah solusi bagi kesejahteraan rakyat. Justru, ini semakin menunjukkan bagaimana negara bergantung pada segelintir elite ekonomi yang memiliki kepentingan pribadi. Jika negara terus-menerus mengandalkan investasi dari para taipan dan investor asing, maka kedaulatan ekonomi bangsa akan semakin terancam.

Saatnya Kembali pada Islam

Sistem kapitalisme telah membuktikan bahwa ia tidak mampu mensejahterakan rakyat secara adil. Oleh karena itu, sudah saatnya umat Islam menyadari bahwa solusi sejati ada dalam sistem Islam yang menjadikan pemimpin sebagai pelayan rakyat, bukan sebagai perpanjangan tangan para pemodal. Islam bukan hanya agama dalam ranah ibadah ritual, tetapi juga mencakup aturan dalam ekonomi, politik, hukum, dan sosial.

Negara yang sejatinya adalah milik rakyat, tidak layak digadaikan kepada para taipan. Jika hal ini terus dibiarkan, rakyatlah yang akan menjadi korban kebijakan yang tidak berpihak kepada mereka. Kesenjangan ekonomi akan semakin melebar, dan ketidakadilan akan semakin terasa di tengah masyarakat.

Namun, kepemimpinan Islam tidak dapat ditegakkan tanpa adanya sistem pemerintahan yang sesuai dengan syariat, yaitu Khilafah. Oleh karena itu, penting bagi umat untuk memahami bahwa sistem sekuler demokrasi kapitalisme penuh dengan kelemahan dan tidak layak dijadikan pedoman dalam kehidupan bernegara. Islam bukan hanya agama, tetapi juga merupakan panduan hidup yang telah dicontohkan secara langsung oleh Rasulullah ﷺ.

Kini saatnya umat kembali kepada aturan Islam yang menyeluruh, termasuk dalam sistem pemerintahan. Kesadaran ini harus terus dibangun melalui dakwah yang terarah, didukung oleh gerakan politik berbasis Islam yang berpegang teguh pada metode Rasulullah ﷺ. Selama sistem Islam belum tegak, setiap Muslim memiliki tanggung jawab untuk berkontribusi dalam upaya mewujudkannya. Jika kewajiban ini belum terpenuhi secara kolektif, maka menjadi tugas individu bagi setiap Muslim untuk memperjuangkannya.

Wallahu a‘lam bish-shawab.