Pencabulan Anak Marak, Sanksi Tegas Hanya Dalam Islam
Oleh : Zulfa Syamsul, ST (Aktivis Muslimah)
Siapa yang tidak geram dengan kelakuan Kakek satu ini. Setengah dekade usia yang dimilikinya tidak menjadikannya bijak, malah bejat. Adalah JP(50) pelaku pencab*lan anak usia 7 tahun di Cabbenge, Kecamatan Lilirilau Watansoppeng, Sulsel. JP digelandang oleh pihak yang berwajib setelah dilaporkan oleh keluarga korban (Kamis, 13/03/2025) dan dituntut dengan UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Pasal 81-82 dengan ancaman maksimal 15 tahun penjara. Kejadian ini terungkap setelah sang korban mengeluh sakit dan mengeluarkan darah di bagian vitalnya. Dari hasil penyelidikan polisi diketahui bahwa Pelaku yang merupakan tetangga korban ini telah berulang kali mencab*li korban sejak Januari dengan iming-iming Rp10.000 kepada korban.
“Kami berharap kasus tersebut dapat diusut tuntas dengan baik, dan memberikan hukuman seberat-beratnya kepada tersangka”, tuntut Kepala Sekolah Dasar tempat korban sedang mengenyam pendidikan (kabar-satu.com, 14/03/2025)
Mengapa Semakin Marak?
Kekerasan Seksual terhadap Anak (KStA) tampaknya semakin marak di Kabupaten Soppeng. Lantaran baru bulan lalu Pihak Kepolisian juga merilis hasil penyeledikannya terkait kasus ayah kandung yang mengga*li anak kandungnya sendiri (potretsulsel.id, 08/02/2025). Terungkapnya dua kasus KStA dalam rentang waktu sebulan ini tentu membuat para orang tua dan anak di Soppeng menjadi khawatir. Keamanan dan keselamatan anak seolah kini terancam oleh para predator seks anak. Hal yang tahun 2024 mengalami penurunan dibanding tahun 2023, mengapa kini jadi marak kembali?
Bahkan beriringan dengan kasus ini, perhatian publik nasional masih tersita oleh kasus KStA yang dilakukan Kapolres Ngada, Nusa Tenggara Timur, AKBP FWLS. Ia dicopot oleh Kepolisian karena terbukti terlibat dalam kasus pencab*lan terhadap tiga anak di bawah umur dan satu lainnya perempuan dewasa. Tak hanya mencab*li, Eks Kapolres itu memvideokan aksinya untuk dijual ke situs dewasa Australia. Kasus ini terungkap setelah Kepolisian Australia menemukan video tersebut lalu melaporkan temuannya ke Kepolisian Indonesia. Kasus di luar nalar ini tak hanya memukul Indonesia tapi juga menurunkan citra Kepolisian sebagai pelindung masyarakat dan penegak hukum. Di kasus ini publik semakin bertanya, mengapa tindakan pelaku KStA semakin keji? Bahkan pun dari kepolisian jadi pelakunya?
Berdasarkan data KPAI terkait kejahatan seksual pada anak, secara nasional klaster kasus ini meningkat dari 252 kasus di tahun 2023 menjadi 265 kasus di tahun 2024. Adapun dua kasus yang sudah diulas di awal, tentu saja akan menambah panjang daftar kasus kejahatan seksual pada anak. Kenyataan ini memberikan indikasi bahwa sanksi yang menjerat pelaku kejahatan seksual pada anak tidak memberi efek jera, meski sudah ditambah dengan ancaman sanksi kebiri kimia kepada pelaku. Karenanya diperlukan penerapan sanksi yang lebih berat lagi lantaran hukuman penjara maksimal 15 tahun belum sebanding dengan penderitaan yang akan dialami oleh korban seumur hidupnya baik secara fisik maupun psikis.
Hilangnya kesucian seorang anak(perempuan) tentu jadi pertimbangan utama betapa beratnya kejahatan seksual ini. Sementara usia anak yang menjadi korban yang masih belia menjadi pertimbangan tambahan bahwa kejahatan ini sungguh sungguh berat. Trauma fisik berupa rasa sakit dan rusaknya area vital beserta trauma psikis berupa depresi, cemas, tidak percaya diri, merasa rendah diri, merasa berdosa, tidak percaya lingkungan, dan lainnya akan menjadi bayangan korban seumur hidupnya. Lalu mengapa sanksi yang diberikan kepada pelaku hanya berupa penjara maksimal 15 tahun yang juga masih bisa dipotong masa tahanannya? Ke manakah standard sanksi yang lebih rasional hendak dicari?
Keadilan Sanksi dalam Islam
Kondisi umat Islam yang kesulitan mencari keadilan terhadap sanksi KStA bak mencari kucing hitam di dalam gelap, padahal ada di depan mata. Kita mencari keadilan ke mana-mana padahal ada di dalam Islam itu sendiri.
Dalam Islam, pencabulan terhadap anak termasuk kategori perzinaan yang disertai dengan pemaksaan, muslihat atau ancaman terhadap anak maka pelakunya akan mendapatkan sanksi yang sama dengan pelaku zina sebagaimana yang tercantum dalam Alquran yang artinya:
"Pezina laki-laki dan pezina perempuan deralah masing-masing dari keduanya seratus kali dan janganlah rasa belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (melaksanakan) agama (hukum) Allah jika kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian. Hendaklah pelaksanaan hukuman atas mereka disaksikan oleh sebagian orang-orang mukmin. (TQS. An-Nur: 02)
Sementara itu dalam salah satu hadist, Rasulullah SAW bersabda:
"Ambillah hukum dariku, ambillah hukum dariku! Sesungguhnya Allah telah membuka jalan untuk kaum wanita. Bujangan yang berzina dengan gadis, cambuklah seratus kali dan asingkanlah keduanya. Orang yang sudah menikah berzina dengan orang yang sudah menikah cambuklah seratus kali dan rajamlah." (HR. Ahmad, Abu Daud, Nasa'i, Tirmidzi dan Ibnu Majah).
Mengutip artikel dalam fissilmi-kaffah.com, pelaku pencab*lan anak jika terbukti dan mengakui perbuatannya maka akan mendapatkan hukuman cambuk 100 kali bagi pelaku yang belum menikah (bukan muhson) dan pelaku yang sedang atau sudah menikah (muhson) sanksi baginya adalah dirajam hingga mati (Wahbah Zuhaili, Al Fiqh Al Islami wa Adillatuhu, Juz 7 hlm. 358). Sementara untuk pelaku pencabulan terhadap anak laki-laki dihukum dengan hukuman pelaku liwath yakni hukum mati.
Sanksi kedua untuk pelaku pemerkosaan adalah dengan membayar ganti rugi atau kompensasi berupa materi atau shodaaqu mitslihaa. Pendapat ini dikeluarkan oleh Imam Malik dalam kitabnya Al Muwaththa yang artinya, “Hukuman menurut kami bagi laki-laki yang memperkosa wanita, baik dia perawan maupun janda adalah jika wanita merdeka, pemerkosa itu wajib membayar shodaaqu mitslihaa (mahar untuk wanita yang semisal korban). Hukuman ini adalah untuk pemerkosa dan tidak ada hukuman bagi korban. (Imam Maliki, Al Muwaththa, 11/734)
Dan sanksi ketiga bagi pelak“u pencab*lan adalah ta’zir yaitu sanksi yang dapat dijatuhkan Hakim Syariah (Qadhi) kepada pemerkosa, karena melakukan pemaksaan, muslihat atau ancaman yang perlu dijatuhi sanksi tersendiri. Adapun pelaksanaan hukuman ini dilakukan di depan umum agar dapat memberikan dampak bagi orang lain yang melihatnya sehingga tidak akan melakukan hal yang sama. Sementara bagi pelaku, hukuman yang dijalaninya bisa menjadi jalan untuk menggugurkan dosanya.
Butuh Peran Negara
Tak hanya pada aspek kuratif atau sanksi yang membuat jera, Islam juga telah menyajikan secara komplit aspek pencegahan (Preventif). Mulai dari pendidikan yang menanamkan aqidah islam, pendidikan pra baligh pada generasi muda, kewajiban menutup aurat pada laki-laki dan perempuan, kewajiban menjaga pandangan, batasan interaksi antara perempuan dan laki-laki hingga pemberlakuan sanksi bagi yang melanggar aturan ini termasuk juga pembersihan industri konten/video dewasa. Kesemua hal tersebut secara sistemik merupakan petunjuk islam menanggulangi kejahatan Seksual terhadap anak. Tak hanya peran Individu dan masyarakat tapi juga membutuhkan peran negara untuk menerapkannya secara praktis.
Wallahu ‘alam.
Posting Komentar