PHK Massal SRITEK, Buah Kebijakan Negara yang Serampangan
Oleh : Nining Ummu Hanif
Hari itu, tangis haru dan kesedihan tidak bisa terbendung saat Komisaris Utama sekaligus Presiden Direktur Sritex, HM Lukminto, menemui para karyawan yang selama ini menjadi keluarga besar Sritex. Sebanyak 10,665 karyawan harus menerima kenyataan pahit terkena Pemutusan Hubungan Kerja massal (PHK) karena per 1 Maret 2025 Sritex tidak lagi dapat melanjutkan operasional perusahaan setelah sebelumnya dinyatakan pailit oleh Pengadilan Negeri Niaga Semarang- Jawa Tengah (bbc.com, 28/2/25).
Perusahaan tekstil PT Sri Rejeki Isman Tbk atau Sritex merupakan perusahaan tekstil terbesar di Asia Tenggara yang berdiri sejak tahun 1966 dan berlokasi di Sukoharjo, Jawa Tengah. Sritex adalah pemain utama dalam industri tekstil Indonesia, memasok seragam militer ke negara-negara NATO dan mempekerjakan banyak tenaga kerja di Jawa Tengah. PT Sritex tutup karena bangkrut dan tidak mampu melunasi utang-utang jangka pendek karena arus kas Sritex yang tercatat negatif pada 2020. Hal itu diperparah kondisi pandemi berkepanjangan. Berdasarkan laporan keuangan Desember 2020, total utang Sritex sebesar Rp 17,1 triliun. Padahal saat itu, total asset hanya Rp 26,9 triliun dan Sritex harus menghidupi lebih dari 17.000 karyawan (kompas.com, 2/3/25).
PHK massal yang terjadi di Sritex ini merupakan dampak sosial dari kebijakan pemerintah yaitu Permendag Nomor 8 Tahun 2024 tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor. Salah satu poin penting dalam Permendag Nomor 8 Tahun 2024 adalah dihapusnya syarat pertimbangan teknis (pertek) untuk impor beberapa komoditas, seperti obat tradisional, kosmetik, alas kaki, dan pakaian jadi. Tujuannya untuk mempercepat masuknya barang impor ke Indonesia dan memperlancar perdagangan di Indonesia. Namun kebijakan tersebut dinilai mengancam industri lokal yang sudah tertekan karena harus bersaing dengan produk impor yang sudah membanjiri Indonesia dan menjadi akar permasalahan lesunya industri textile di Indonesia (kompas.com, 24/10/24).
Melalui regulasi yang serampangan itu produk-produk impor khususnya textile dan pakaian dari China mendapat kemudahan untuk masuk ke Indonesia. Sebab yang lain adalah terbentuknya ACFTS (ASEAN-China Free Trade Area) yaitu kesepakatan dengan negara-negara di ASEAN dengan China dalam mewujudkan kawasan perdagangan bebas. Pemberlakuan ACFTA berdampak negatif terhadap industri Indonesia yaitu defisitnya neraca ekspor impor Indonesia-China dan menurunnya jumlah industri dalam negeri (deindustrialisasi). Akibatnya beberapa pabrik tekstil yang terpaksa gulung tikar akibat tidak bisa menahan pesatnya impor tekstil dan produk tekstil asal China di Indonesia. Harga produk tekstil China yang terlampau murah ditambah tidak adanya tarif import barang-barang dari China membuat industri dalam negeri sulit bersaing.
Hal itu merupakan konsekuensi logis apabila negara menerapkan sistem kapitalisme dengan prinsip liberalisasi ekonomi. Peran negara dalam sistem ini tidak lebih sekadar menjaga agar mekanisme pasar berjalan tanpa hambatan. Selain itu negara berlepas tangan dengan segala kebutuhan rakyat melainkan hanya bertindak selaku regulator yang mementingkan kepentingan pemilik modal atau para kapital dan oligarki. Kebijakan-kebijakan yang diambil hanya bersifat tambal sulam, pencitraan atau bahkan populis otoriter. Seolah-olah berpihak kepada rakyat, tapi kenyataannya rakyat juga yang jadi korbannya. Seperti kasus PT. Sritex ini awalnya dijanjikan oleh presiden terpilih tidak akan ada PHK dengan mengerahkan 4 kementrian untuk menanganinya. Tapi faktanya tetap terjadi PHK massal di beberapa industri textile dan lainnya.
Oleh karena itu sudah selayaknya segera mengganti sistem kapitalisme, sistem bathil buatan akal manusia yang terbatas , diganti dengan sistem shahih yang bersumber dari Allah SWT yaitu sistem Islam. Sistem dimana negara bertanggung jawab atas pemenuhan semua kebutuhan pokok rakyatnya termasuk pekerjaan. Sebagaimana sabda Rasulullah
“Imam itu adalah pemimpin dan dia dimintai pertanggungjawaban atas orang yang dia pimpin” (HR Bukhari & Muslim)
Urusan yang wajib diri’ayah oleh negara termasuk membuka lapangan kerja seluas-luasnya. Pemerintahan Islam /Khilafah tidak akan membiarkan satu pun warganya khususnya pencari nafkah yang masih mampu bekerja dalam keadaan menganggur dan miskin. Selain menyediakan lapangan pekerjaan, negara dalam sistem Islam juga memberikan bantuan dalam bentuk modal usaha dan Iqtha (pemberian tanah yang terlantar) untuk dikerjakan. Selain itu sistem ekonomi Islam menetapkan sumber daya alam sebagai kepemilikan umum yang tidak boleh dikuasai oleh individu apalagi swasta. Pengelolaan sumber daya alam dilakukan oleh negara sehingga dapat membuka lapangan kerja di berbagai sektor.
Demikian seluruh mekanisme ini akan dijalankan dalam sistem Islam yang dipimpin oleh penguasa/khalifah yang memiliki kepemimpinan dan profil Islam.
Wallahu’alam bishowab
Posting Komentar