PHK Sritex Korban Kebijakan Serampangan Oleh Negara
Oleh : Ummu Naura
Salah satu perusahaan tekstil terbesar di Indonesia, PT Sri Rejeki Isman (Sritex), telah merumahkan 3.000 karyawannya setelah dinyatakan pailit oleh Pengadilan Negeri (PN) Niaga Kota Semarang, Jawa Tengah, pada Oktober silam. Sritex beralasan kebijakan merumahkan pekerja yang dimulai pada November lalu bertujuan untuk mengelola sementara tenaga kerjanya yang berjumlah 50.000 karyawan yang tersebar di Semarang, Boyolali, dan Sukoharjo. Sritex di ujung tanduk setelah Mahkamah Agung menolak kasasi perusahaan tersebut pekan lalu. Dengan demikian, status pailit perusahaan inkrah.
Didirikan 58 tahun yang lalu, Sritex adalah pemain utama dalam industri tekstil Indonesia, memasok seragam militer ke negara-negara NATO dan mempekerjakan banyak tenaga kerja di Jawa Tengah.
Namun, hingga September 2024, Sritex tercatat memiliki outstanding kredit sebesar Rp14,64 triliun, terdiri dari Rp14,42 triliun utang ke 27 bank dan Rp220 miliar utang ke perusahaan pembiayaan, menurut Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Sritex dinyatakan pailit oleh Pengadilan Negeri (PN) Semarang, Jawa Tengah pada 21 Oktober lalu, Menurut OJK, jumlah utang Sritex tembus Rp14,64 triliun per September 2024. Jumlah utang sebesar itu terdiri dari utang Sritex kepada 27 bank dan tiga perusahaan pembiayaan.
Pailitnya Sritex juga karena dampak pandemi Covid-19 , persaingan usaha dan kondisi geopolitik, karena semua itu berdampak pada keuangan perusahaan dan kinerja perusahaan.
PHK dampak dari Penerapan Sistem Kapitalisme
Banyaknya PHK menunjukkan bahwa lemah dan rentannya posisi buruh dalam sistem kapitalisme ini. Buruh dianggap hanya sebagai alat yang dapat digunakan dan dibuang bila sudah tidak diperlukan. Dalam sistem kapitalisme, buruh hanya dianggap sebagai faktor produksi seperti bahan baku, mesin serta alat produksi lainnya yang tidak bernyawa. Karenanya, ketika perusahaan menginginkan untuk menghentikan produksi, baik karena bangkrut atau karena relokasi ke negara lain yang memiliki iklim investasi yang lebih baik, nasib buruh pun akhirnya dikorbankan.
Prinsip pasar bebas yang diterapkan dalam sistem kapitalisme memungkinkan bagi individu dan perusahaan untuk berproduksi, membeli, dan menjual barang dan jasa secara bebas tanpa intervensi pemerintah secara signifikan. Pada akhirnya, sistem ini mendegradasi peran negara hanya sebatas regulator dan fasilitator bagi kepentingan korporasi. Pemerintah seolah-olah lepas tanggung jawab dan pasrah akan keputusan yang dijatuhkan oleh perusahaan. Sehingga buruh harus berjuang sendiri dengan membentuk serikat buruh. Namun kekuatan serikat buruh belum mampu untuk melawan kezaliman korporasi. Sejatinya, yang mampu memaksa korporasi untuk memberikan hak-hak buruh adalah pemerintah, akan tetapi pemerintah hanya sembunyi tangan dan tidak melakukan tindakan yang nyata untuk melindungi hak-hak yang seharusnya didapatkan buruh sebagai manusia.
Sistem kapitalisme yang berdiri atas asas kebebasan kepemilikan melahirkan pasar bebas. Siapa saja yang memiliki modal dapat menguasai industri dan perdagangan. Teori pasar bebas mengharuskan adanya pertukaran perdagangan antarnegara berjalan tanpa batas dan tidak ada keharusan membayar bea cukai atau tarif bea masuk yang dikenakan untuk impor barang. Pandangan ini menginginkan hilangnya kontrol negara sehingga keberadaan negara tidak akan menambah beban, baik dengan mengontrol ekspor maupun impor.
Sistem Islam Adil
Sungguh sangat berbeda dengan Islam. Islam memandang bahwa buruh merupakan mitra pengusaha yang harus dijaga dan dilindungi hak-hak nya. Pengupahan atau ijarah pada hakikatnya merupakan upaya seorang majikan (musta’jir) untuk mengambil manfaat atau jasa dari seorang pekerja (ajir) dan upaya seorang pekerja untuk mengambil upah dari majikan. Hal ini terjadi simbiosis mutualisme antara majikan dan pekerja, sehingga antara pihak satu dengan pihak yang lain sama-sama diuntungkan dan tidak ada yang dirugikan.
Sedangkan hubungan negara dengan buruh adalah hubungan pengurusan urusan rakyat atau ri’ayah, berlaku juga antara hubungan pemerintah dengan pengusaha. Pemerintah seharusnya memenuhi kebutuhan rakyat seperti sandang, pangan, papan, kesehatan serta pendidikan yang layak bagi rakyatnya. Serta pengadaan lapangan pekerjaan yang luas sehingga mampu menjaga agar masyarakat tidak menderita karena tidak memiliki pekerjaan dan penghasilan. Negara seharusnya juga menjaga hak-hak buruh agar tetap dipenuhi oleh perusahaannya dan mencegah terjadinya PHK secara sepihak antara perusahaan dengan pekerjanya.
Negara Islam atau yang dapat kita sebut Khilafah sangat berperan besar dalam menciptakan iklim investasi yang kondusif sehingga industri dapat berjalan dan tumbuh dengan baik dan mencegah terjadinya kepailitan sebuah perusahaan, sehingga mencegah bangkrutnya sebuah usaha dan mencegah masyarakat kehilangan pekerjaannya.
Sistem Islam akan memberikan jaminan pemenuhan kebutuhan hidup masyarakat melalui kebijakan negara. Negara yang menerapkan sistem Islam akan menempatkan penguasa sebagai raa’in sebagaimana dalam hadis Nabi Saw yang artinya, “Imam (Khalifah) adalah raa’in dan ia bertanggung jawab atas rakyatnya” (HR Bukhari).
Kedudukan penguasa sebagai raa’in meniscayakan dirinya untuk bertanggung jawab atas pemenuhan kebutuhan rakyat, individu per individu, tidak sekadar pencitraan. Seorang khalifah juga tidak akan melahirkan kebijakan yang populis namun otoriter.
Amanah mengurusi urusan rakyat akan tunduk di bawah perintah asy-Syari’, Allah Swt. Aktifitas bekerja juga tidak melulu harus menjadi buruh atau pekerja namun disesuaikan dengan kadar kemampuan individu, seperti dengan menghidupkan tanah mati, berburu, menjadi nelayan, dan lainnya. Dalam hal ini negara akan memfasilitasi.
Gelombang PHK massal jelas merugikan pekerja. Di sisi lain persoalan ini merupakan konsekuensi “wajar” dari penerapan kebijakan yang berorientasi pada kepentingan korporasi. Maka para pemilik modal-lah yang sejatinya diuntungkan dengan penerapan aturan berbasis sistem kapitalisme.
Jika kita sadari tidak akan mungkin tercipta kesejahteraan hakiki selama sistem kapitalisme masih bercokol dan diajadikan sandaran pengaturan kehidupan. Selayaknya kita beralih pada sistem yang shahih sebab bersumber langsung dari Pencipta, Allah Swt, yakni sistem Islam. Allah
Wallahu a’lam bish-shawab.
Posting Komentar