-->

PIK dan Pagar Laut dalam Perspektif Hukum dan Politik Islam

Oleh : Ghooziyah

Pembangunan di kawasan pesisir utara Jakarta, khususnya di Pantai Indah Kapuk (PIK), kembali menuai kontroversi. Kali ini, proyek pagar laut yang dibangun oleh pengembang swasta menimbulkan banyak pertanyaan terkait kepemilikan, akses publik, serta dampaknya terhadap lingkungan dan masyarakat sekitar. Banyak pihak menilai proyek ini sebagai bentuk privatisasi ruang publik yang semakin menguntungkan segelintir elite, sementara rakyat kecil semakin tersingkir.
Dari perspektif hukum dan politik Islam, fenomena ini bukan sekadar isu kebijakan pembangunan, tetapi juga cerminan dari sistem sekuler-kapitalis yang memungkinkan penguasaan sumber daya publik oleh segelintir pihak. Islam memiliki aturan yang jelas terkait kepemilikan tanah, pengelolaan sumber daya alam, dan keadilan dalam pembangunan.

Kepemilikan Publik dalam Islam

Dalam Islam, kepemilikan dibagi menjadi tiga jenis: kepemilikan individu, kepemilikan umum, dan kepemilikan negara. Laut, pantai, dan sumber daya alam yang terkandung di dalamnya termasuk dalam kepemilikan umum.

Rasulullah ﷺ bersabda:
"Kaum Muslim berserikat dalam tiga hal: air, padang rumput, dan api." (HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah)

Hadis ini menunjukkan bahwa laut dan wilayah pesisir tidak boleh dikuasai oleh individu atau perusahaan untuk kepentingan pribadi. Pembangunan pagar laut yang membatasi akses publik terhadap pantai bertentangan dengan prinsip kepemilikan umum dalam Islam. Laut seharusnya tetap bisa diakses oleh semua orang, bukan hanya mereka yang mampu membeli properti eksklusif di kawasan tersebut.

Privatisasi Ruang Publik: Kapitalisme dalam Kebijakan Tata Kota

Pembangunan di kawasan PIK dan proyek pagar laut bukan sekadar inisiatif bisnis, tetapi juga hasil dari kebijakan tata kota yang berpihak pada investor besar. Dalam sistem kapitalisme, pengusaha dengan modal besar memiliki kekuatan untuk menguasai lahan strategis, bahkan dengan mengorbankan kepentingan publik.

Pembangunan pagar laut menjadi simbol bagaimana kebijakan urbanisasi lebih banyak menguntungkan pihak swasta daripada masyarakat umum. Mereka yang memiliki modal besar bisa menikmati pantai privat dengan pemandangan eksklusif, sementara rakyat kecil semakin sulit mengakses wilayah pesisir yang seharusnya menjadi milik bersama.

Dalam Islam, kebijakan pembangunan harus didasarkan pada kemaslahatan umat, bukan kepentingan segelintir elite. Negara bertanggung jawab memastikan bahwa ruang publik tetap dapat diakses oleh semua orang tanpa diskriminasi ekonomi. Setiap kebijakan yang mengarah pada monopoli dan ketimpangan harus dihindari.

Politik Islam: Mengutamakan Kepentingan Rakyat, Bukan Oligarki

Salah satu akar masalah dari proyek-proyek eksklusif seperti di PIK adalah sistem politik yang memungkinkan adanya kolusi antara pengusaha dan pejabat. Dalam demokrasi kapitalis, kebijakan sering kali dibuat berdasarkan kepentingan pemilik modal yang memiliki pengaruh besar dalam pembuatan regulasi.

Islam menetapkan bahwa pemimpin adalah pelayan rakyat, bukan perpanjangan tangan korporasi atau pemodal. Politik Islam berlandaskan pada keadilan, di mana kebijakan yang diambil harus berpihak kepada rakyat secara keseluruhan, bukan hanya kelas tertentu. Dalam Islam, seorang pemimpin bertanggung jawab kepada Allah dan umat, sehingga segala bentuk kebijakan harus berdasarkan syariat yang adil dan tidak merugikan rakyat kecil.

Dampak Lingkungan dan Keadilan Sosial

Selain membatasi akses publik, pembangunan pagar laut di PIK juga menimbulkan dampak lingkungan yang serius. Reklamasi dan privatisasi wilayah pesisir berpotensi merusak ekosistem laut, memperparah abrasi, dan mengganggu keseimbangan lingkungan.

Dalam Islam, segala bentuk pembangunan harus mempertimbangkan aspek lingkungan dan kesejahteraan rakyat. Islam mengajarkan konsep himā (kawasan konservasi) yang melarang eksploitasi berlebihan terhadap sumber daya alam. Negara wajib memastikan bahwa pembangunan tidak hanya menguntungkan investor, tetapi juga menjaga keseimbangan alam dan memberikan manfaat bagi seluruh masyarakat.

Solusi Islam: Mengembalikan Hak Rakyat dan Menata Ulang Pembangunan

Pagar laut di PIK hanyalah salah satu contoh bagaimana sistem kapitalisme menciptakan ketimpangan dalam kepemilikan ruang publik. Selama sistem ini masih diterapkan, kasus serupa akan terus berulang dengan berbagai bentuk dan skala yang lebih besar.

Islam menawarkan solusi yang komprehensif dalam menata pembangunan kota dan mengelola sumber daya alam:

1. Mengembalikan kepemilikan umum kepada rakyat
Laut dan wilayah pesisir harus dikelola oleh negara untuk kepentingan umat, bukan diberikan kepada korporasi untuk dijadikan aset bisnis. Negara harus menjamin akses publik terhadap pantai dan sumber daya alam lainnya.

2. Menghentikan privatisasi sumber daya strategis
Islam menolak konsep privatisasi atas aset yang termasuk kepemilikan umum. Pemerintah dalam sistem Islam tidak boleh memberikan hak penguasaan wilayah pesisir kepada pihak swasta demi keuntungan segelintir orang.

3. Membangun sistem politik yang bersih dari kepentingan oligarki
Pemimpin dalam Islam wajib bekerja untuk kepentingan rakyat, bukan untuk memenuhi agenda pemodal. Keputusan politik harus berdasarkan hukum Islam yang menjamin keadilan bagi seluruh lapisan masyarakat.

4. Menjaga keseimbangan lingkungan dan keberlanjutan ekosistem
Islam memiliki prinsip al-‘umran (pembangunan berkelanjutan) yang menekankan keseimbangan antara pembangunan dan kelestarian alam. Setiap proyek pembangunan harus mempertimbangkan dampaknya terhadap lingkungan dan kehidupan masyarakat sekitar.

Kesimpulan: Kembali pada Aturan Islam untuk Keadilan yang Hakiki

Pagar laut di PIK adalah cerminan dari bagaimana kapitalisme bekerja: sumber daya alam yang seharusnya menjadi milik publik dikomersialisasi demi keuntungan segelintir orang. Dalam perspektif Islam, kebijakan semacam ini tidak sesuai dengan prinsip keadilan dan kepemilikan umum yang ditetapkan oleh syariat.

Islam menawarkan sistem tata kelola yang jauh lebih adil dan berpihak kepada rakyat. Negara dalam Islam bertanggung jawab untuk memastikan bahwa setiap kebijakan pembangunan benar-benar membawa kesejahteraan bagi seluruh masyarakat, bukan hanya untuk kepentingan investor.

Selama Indonesia masih menerapkan sistem sekuler-kapitalis, ketimpangan seperti ini akan terus terjadi. Satu-satunya jalan keluar adalah kembali kepada aturan Islam yang menjamin keadilan, kesejahteraan, dan keberlanjutan bagi seluruh rakyat. Inilah solusi hakiki untuk menata ulang kebijakan pembangunan agar benar-benar membawa manfaat bagi umat.

Wallahu a'lam