Ramadan Tiba, Palestina Masih Dalam Derita
Oleh : Rizky Rachmawati, S.Si
Sudah sekian kali Ramadan menjumpai kita, namun Gaza-Palestina masih dalam kondisi menderita. Ramadan yang seharusnya kaum muslimin khusyuk dalam ibadah, tapi muslim di Gaza-Palestina harus menjalaninya dengan suasana penindasan, penderitaan, dan penjajahan.
Seminggu setelah gencatan senjata di Gaza, militer Yahudi melakukan operasi militer besar. Militer Yahudi melakukan penghancuran sejumlah rumah di kamp pengungsi Jenin di Tepi Barat, Palestina. Warga terpaksa meninggalkan rumah mereka setelah drone dengan pengeras suara memberikan pesan peringatan agar mereka mengungsi. Saat operasi militer terjadi, suara tembakan dan dengungan konstan dari drone terdengar di atas kamp pengungsi. (cnbcindonesia.com, 23-01-2025)
Semenjak militer Yahudi memulai serangannya hingga kini sekitar 40.000 warga Palestina terpaksa meninggalkan rumah mereka di Jenin dan kota Tulkarm di Tepi Barat.
Berdasarkan data dari Kementerian Kesehatan Palestina, setidaknya 923 warga Palestina telah meninggal dan hampir 7.000 lainnya mengalami luka-luka akibat serangan yang dilakukan oleh tentara Yahudi. (metronews.com, 27-02-2025)
Di Gaza, entitas Yahudi memblokir jalan utama di Koridor Netzerim saat warga Palestina ingin kembali ke rumah mereka di Jalur Gaza Utara. Ketika warga sedang berkumpul di sepanjang jalan al Rashid, Gaza tengah terdengar gelegar tembakan. Tembakan tersebut menyebabkan satu orang meninggal dan beberapa lainnya terluka. (Kompas.com, 26-01-2025)
Bukan hanya itu, sebagaimana berita yang di muat oleh media arrahma.id pada Minggu (16/02/2025), Israel melakukan serangan drone di sebalah timur kota Rafah dengan menargetkan para petugas yang mengamankan masuknya bantuan kemanusiaan ke Jalur Gaza. Serangan tersebut mengakibatkan tiga anggota kepolisian gugur.
Serangan-serangan tersebut menjadi bukti bahwa entitas Yahudi tidak pernah serius menjalankan perjanjian gencatan senjata. Sudah menjadi tabiatnya, suka mengingkari janji.
Sementara itu, Presiden AS Donald Trump berambisi untuk mengambil alih Gaza dengan merelokasi secara permanen 2,4 juta penduduk Gaza ke beberapa negara seperti Mesir, Yordania, dan Indonesia. Alasannya, bahwa Gaza sudah tidak bisa dihuni lagi setelah berlangsungnya peperangan selama 15 bulan.
Dia pun ingin membangun kembali Gaza tanpa keterlibatan Hamas. Ambisinya ingin membangun kembali dengan mengubah Gaza menjadi “Riviera of The Middle East” yaitu proyek real estate untuk masa depan.
Aynal Muslimun?
Adapun Presiden Mesir Abdel Fattah el-Sisi dan Raja Yordania Abdullah dalam merespons rencana Trump, mereka sama-sama menolak untuk mendeportasi warga Gaza ke negara-negara Arab. Dalam konferensi persnya pada Rabu (29/1), el-Sisi menyatakan bahwa pemindahan warga Palestina adalah sesuatu yang tidak dapat ditoleransi atau diizinkan karena dampaknya terhadap keamanan nasional Mesir.
Pada hari yang sama, saat Raja Yordania Abdulah II melakukan pertemuan di Brussels, menekankan bahwa warga Palestina harus tetap tinggal di tanah mereka.
Begitu juga Menteri luar negeri dan pejabat dari Mesir, Yordania, Arab Saudi, Qatar, Uni Emirat Arab, Otoritas Palestina dan Liga Arab bersama-sama melakukan penolakan atas rencana Trump.
Sekilas respons para pemimpin negara-negara tersebut tampak berpihak kepada Palestina, akan tetapi di sisi lain mereka menyatakan siap bekerja sama dengan AS untuk mencapai perdamaian antara Israel dan Palestina yang didasarkan pada solusi dua negara. Penolakan mereka semata-mata hanya untuk kepentingan mereka semata, bukan karna ingin menjadi pelindung bagi saudara seakidahnya.
Perlu diingat, Mesir, Yordania, dan negara-negara Arab lainnya telah lama mengakui keberadaan penjajah Yahudi sebagai sebuah negara di tanah Palestina. Hal itu merupakan pengkhianatan terhadap muslim Palestina.
Bahkan, satu setengah tahun lamanya Zionis Yahudi melakukan genosida terhadap warga Gaza, negara-negara Arab hanya bisa mengecam dan mengutuk saja. Tidak ada satu pun negara-negara Arab yang mengirimkan tentaranya atau menyerukan Jihad untuk membela dan melindungi saudara muslimnya. Kita pun masih ingat dengan hastag all ayes on Rafah, saat Rafah tempat kamp pengungsian paling selatan Gaza dibumihanguskan oleh Zionis Yahudi.
Mesir tampak diam saja, tidak ada empati untuk membuka pintu perbatasan Rafah.
Itu semua menunjukkan bahwa tidak ada satu pun negara muslim hari ini yang mampu hadir sebagai junnah (pelindung) bagi muslim Palestina. Justru kaki dan tangan mereka telah terbelenggu oleh sekat nasionalisme. Paham ini telah membuat kaum muslim mati rasa terhadap permasalahan di dunia Islam, termasuk Palestina. Mereka tidak menyadari bahwa paham ini telah membuat perpecahan di tubuh kaum muslim. Menganggap masalah Palestina bukan urusan mereka. Adapun Iran, Irak, Mesir, Lebanon berperang melawan Yahudi, hal itu dilakukan untuk membela kepentingan negerinya masing-masing, bukan untuk membela Palestina.
Pentingnya Khilafah Untuk Palestina
Adanya kesepakatan dan perundingan tak mampu menjadi solusi atas derita muslim Palestina. Bahkan keberadaan Liga Arab dibuat tak berdaya di hadapan Yahudi penjajah.
Sungguh, solusi itu hanya bisa kita gantungkan pada hadirnya institusi Islam bernama Khilafah. Kehadiran Khilafah sangat ditakuti oleh musuh-musuh Islam. Yahudi penjajah akan dibuat lari terbirit-birit, karena Khilafah akan melakukan jihad kepada siapa saja yang melukai kaum muslim apalagi membantai dan mengusirnya. Bahkan Yahudi tidak akan bisa merebut dan memiliki tanah Palestina walaupun sejengkal saja. Palestina merupakan tanah kharajiyah yang diperoleh dengan darah dan air mata kaum muslim, maka selamanya akan menjadi milik kaum muslim. Sementara keberadaan Zionis Yahudi hanyalah sebagai benalu yang menumpang hidup di Palestina. Jika mereka mengganggu dan melakukan pengrusakan, maka Khilafah berhak mengusir mereka.
Di masa Rasulullah, beliau menggerakkan pasukan jihad untuk melindungi kehormatan muslimah dan muslim yang dibunuh secara tidak adil.
Seorang Yahudi dari Bani Qainuqa’ menyingkap aurat seorang muslimah, dan ia pun berteriak. Hal itu membuat seorang muslim datang dan membunuh seorang Yahudi tersebut. Akan tetapi orang-orang Yahudi dari Banj Qainuqa’ berkumpul dan membunuh muslim tersebut.
Konflik tersebut sampai kepada Rasulullah saw. yang merupakan pemimpin kaum muslim. Beliau pun segera menyiapkan pasukan dan memerintahkan untuk melakukan pengepungan di benteng-benteng Bani Qainuqa’ sampai orang-orang Yahudi mematuhi perintahnya.
Sebaliknya, ketiadaan junnah (perisai) yang menjadi dasar penyebab muslim Palestina terus menderita dan terpecah belah. Semenjak runtuhnya Khilafah pada 1924, kaum muslim tak lagi memiliki perisai yang mampu melindungi jiwa dan raga.
Oleh karena itu, dibutuhkan kesadaran dari kaum muslim akan pentingnya kepemimpinan Islam yaitu Khilafah. Umat Islam harus meyakini bahwa masa depan perabadan dunia berada di tangan mereka.
Butuh Adanya Kelompok Dakwah Islam Ideologis
Kembalinya Khilafah sebagai junnah membutuhkan upaya dakwah. Upaya dakwah itu harus dilakukan oleh kelompok dakwah islam ideologis. Kelompok ini terus melakukan berbagai aktivitas yang mengarah pada terwujudnya kepemimpinan umat dan penerapan hukum-hukum Allah tanpa kekerasan, baik melalui pembinaan intensif maupun umum.
Aktivitas perjuangan yang mereka lakuma adalah dengan meneladani apa yang pernah ditempuh oleh Rasulullah saw.
Rasulullah saw., berhasil mengubah pemikiran dan loyalitas bangsa Arab dari jahiliah menjadi sistem Islam. Sejak saat itu bangsa Arab menemukan jalan kebangkitan dari kegelapan menuju cahaya Islam.
Saat itu pula umat Islam berhasil tampil sebagai pemimpin peradaban yang keberadaannya disegani dan ditakuti oleh musuh-musuh Islam sepanjang 13 abad lamanya. Selama itu kaum muslim tampil sebagai khairu ummah (sebaik-baik umat).
Tentu kita berharap itu akan terulang di abad ini juga. Agar muslim Palestina dan di dunia tidak terus menderita.
Posting Komentar