-->

Sekularisme dan Kapitalisme : Lahan Subur bagi Korupsi?


Oleh : Ummu Aqila

Pada 25 Februari 2025, Kejaksaan Agung mengungkap skandal megakorupsi dalam tata kelola minyak mentah dan produk kilang di PT Pertamina serta KKKS periode 2018-2023. Kerugian negara akibat praktik ilegal ini mencapai Rp193,7 triliun per tahun atau hampir Rp1 kuadriliun dalam lima tahun—jumlah yang mencengangkan dan mencatat rekor baru dalam sejarah korupsi Indonesia. Modus yang digunakan meliputi manipulasi produksi minyak dalam negeri, impor melalui broker, serta mark up kontrak pengiriman. Kejagung pun menetapkan sembilan tersangka, termasuk pejabat tinggi Pertamina dan pihak swasta, yang bahkan terlibat dalam pengoplosan Pertalite menjadi Pertamax dengan harga yang digelembungkan. (Kompas.com, 28/02/2025)

Mantan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said menyoroti bahwa kasus ini bukanlah hal baru, melainkan praktik lama yang terus berulang dengan wajah-wajah baru. Menurutnya, lemahnya pengawasan serta sistem yang permisif terhadap korupsi memungkinkan skema kejahatan ini terus terjadi. Jika tidak ada reformasi besar-besaran, korupsi di sektor energi akan terus hidup dan berkembang, sekadar berganti pemain tanpa mengubah modus operandinya. (Kompas.com, 02/03/2025)
Dampak dari skandal ini tidak hanya menghancurkan keuangan negara tetapi juga merugikan masyarakat luas. Rakyat yang selama ini membeli Pertamax ternyata hanya mendapatkan Pertalite dengan harga yang lebih mahal. Skandal ini pun menjadi yang terbesar dalam "klasemen liga korupsi" Indonesia, mengungguli kasus korupsi timah, BLBI, dan skandal besar lainnya. Fakta ini semakin mempertegas bahwa korupsi di Indonesia kian menggurita, dengan nilai kerugian negara yang terus memecahkan rekor, mencerminkan betapa mendesaknya perbaikan sistem dan penegakan hukum yang lebih tegas.

Lahan Subur bagi Korupsi

Korupsi seolah telah menjadi tradisi yang terus mencari celah dalam setiap kesempatan. Dalam kasus korupsi di Pertamina, misalnya, terjadi pengakalan dalam pengadaan barang dengan tujuan mengambil keuntungan pribadi dari transaksi yang dilakukan. Fenomena ini mencerminkan betapa lemahnya integritas para pejabat yang seharusnya bertanggung jawab dan amanah dalam menjalankan tugasnya. Ketika kepentingan pribadi dan keuntungan materi menjadi prioritas, maka pengkhianatan terhadap kepercayaan publik pun semakin marak terjadi.

Sistem yang diterapkan saat ini, yakni sekularisme dan kapitalisme, membuka peluang lebar bagi berbagai bentuk kecurangan, termasuk korupsi. Sekularisme memisahkan nilai-nilai agama dari kehidupan bernegara, sehingga individu merasa bebas melakukan segala cara demi mencapai keuntungan pribadi atau kelompoknya. Tanpa adanya nilai-nilai moral dan spiritual yang kuat, perilaku tidak etis pun menjadi hal yang lumrah. Kapitalisme, dengan prinsip keuntungan sebagai tujuan utama, semakin memperburuk keadaan karena mendorong persaingan yang tidak sehat dan praktik bisnis yang menghalalkan segala cara demi meraih keuntungan.
Salah satu faktor yang turut memperparah masalah ini adalah sistem pendidikan sekuler yang gagal membentuk generasi yang beriman dan bertakwa. Pendidikan saat ini lebih menekankan aspek intelektual dan keterampilan teknis, tetapi kurang dalam membangun karakter moral dan kesadaran akan tanggung jawab sosial. Akibatnya, banyak individu yang tumbuh dengan pola pikir materialistis tanpa merasa terikat pada nilai-nilai agama dalam kehidupan sehari-hari. Ketika mereka menduduki posisi strategis dalam pemerintahan atau perusahaan, mereka cenderung mengutamakan kepentingan pribadi dibandingkan amanah yang diemban. Para pejabat justru bersikap aji mumpung dengan melakukan korupsi sebanyak-banyaknya mumpung masih menjabat. 

Islam Mencegah Tindakan Korupsi

Berbeda dengan kapitalisme, Islam mampu memberantas korupsi hingga tuntas. Sistem politik Islam (Khilafah) akan menerapkan syariat Islam kafah sehingga menutup peluang korupsi. Sistem pendidikan bertujuan membentuk generasi yang beriman dan bertakwa. Dengan pendidikan berbasis akidah, individu akan memiliki kesadaran bahwa setiap perbuatan akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah. Ketika seseorang menjadi pejabat, ia akan menjalankan tugasnya dengan penuh amanah karena memahami konsekuensi moral dan spiritual dari setiap tindakannya.

Dari sisi kesejahteraan, para pejabat dan pegawai akan digaji dengan layak sehingga tidak ada dorongan ekonomi (kebutuhan) untuk melakukan korupsi. Kekayaan pejabat akan diaudit sebelum menjabat dan sesudahnya. Jika ada kenaikan yang tidak wajar, ia harus mampu membuktikan sumbernya. Jika tidak mampu, hartanya akan disita dan dihukum dengan tegas. 

Selain pendidikan, Islam juga menawarkan solusi melalui penerapan tiga pilar utama dalam kehidupan bermasyarakat: individu yang taat kepada syariat, masyarakat yang aktif dalam amar makruf nahi mungkar, serta negara yang menerapkan hukum dengan tegas dan adil. Dengan adanya ketiga unsur ini, individu akan terjaga dari perbuatan maksiat, masyarakat akan saling mengingatkan dalam kebaikan, dan negara akan menegakkan sanksi yang tegas dan menjerakan terhadap pelaku korupsi. Jika sistem ini diterapkan, korupsi tidak akan lagi menjadi budaya, melainkan sesuatu yang dapat diberantas hingga ke akarnya.
Wal hasil, sekularisme dan kapitalisme nyata menjadi lahan subur bagi korupsi karena memberikan kebebasan tanpa batas dalam mengejar keuntungan pribadi. Sementara itu, Islam menawarkan solusi yang menyeluruh dengan membangun individu yang bertakwa, menciptakan masyarakat yang peduli terhadap kebaikan, serta menerapkan hukum yang adil. Oleh karena itu, jika ingin memberantas korupsi secara tuntas, sudah saatnya kita mempertimbangkan kembali sistem yang lebih adil dan bermoral dalam mengatur kehidupan. 
Wallahualam bissawab