-->

Setelah Pertamax Oplosan, Terbitlah Minyakita Oplosan


Oleh : Linda Anisa

Beberapa waktu yang lalu, masyarakat Indonesia dikejutkan dengan kasus Pertamax oplosan, sebuah skandal yang melibatkan kecurangan dalam distribusi bahan bakar minyak. Namun, belum selesai cerita tersebut, kini muncul lagi kasus serupa, kali ini dengan produk minyakita oplosan. Sebagaimana diberitakan melalui laman WWW.antaranews.com Satgas Pangan Polri menyelidiki temuan adanya minyak goreng kemasan bermerek MinyaKita yang dijual di pasaran tidak sesuai dengan takaran yang disebutkan oleh produsen pada label kemasan.
Kasus minyakita oplosan, yang melibatkan pengenceran produk minyak goreng dengan bahan lain yang tidak sesuai, semakin menunjukkan adanya kegagalan negara dalam mengatasi kecurangan para korporat yang berorientasi pada keuntungan semata. Fenomena ini tidak hanya merugikan konsumen, tetapi juga membuktikan bahwa distribusi kebutuhan pangan kini lebih banyak berada di tangan korporasi, sementara negara justru hadir untuk memastikan terciptanya bisnis yang menguntungkan bagi para kapitalis.

Gagalnya Negara Mengatasi Kecurangan Korporasi

Adanya minyakita oplosan hingga takaran yang tidak sesuai dijual di pasaran mencerminkan ketidakmampuan negara untuk mengawasi dan menindak tegas kecurangan yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan besar. Ini jelas menunjukkan bahwa sektor distribusi pangan kini dikuasai oleh korporasi besar, yang lebih mengutamakan laba ketimbang kepentingan konsumen. Negara, yang seharusnya hadir untuk melindungi rakyat, justru hanya berperan sebagai fasilitator bagi kepentingan korporat. Tidak adanya sanksi yang menjerakan terhadap perusahaan yang terbukti melakukan kecurangan semakin memperburuk situasi ini, dan membuat rakyat semakin dirugikan.

Sistem ekonomi kapitalisme dengan asas liberalisme, yang dianut oleh banyak negara saat ini, memberi jalan bagi korporasi untuk menguasai rantai distribusi pangan, mulai dari hulu hingga hilir. Negara seolah hanya menjadi regulator dan fasilitator yang memastikan terciptanya iklim bisnis yang kondusif bagi para kapitalis. Dalam paradigma kapitalis, negara lebih fokus pada penciptaan iklim usaha yang ramah bagi korporasi daripada memikirkan kesejahteraan rakyat. Hal ini membuat negara abai terhadap tanggung jawabnya sebagai pengurus dan pelayan umat, terutama dalam pemenuhan kebutuhan pokok seperti pangan. Pemenuhan kebutuhan rakyat bukanlah sekadar soal pasar bebas dan persaingan sehat, tetapi soal hak dasar rakyat yang seharusnya dijamin oleh negara.

Pengaturan Kebutuhan Rakyat adalah Tanggung Jawab Negara

Dalam pandangan Islam, pengaturan hajat hidup rakyat, termasuk kebutuhan pangan, adalah tanggung jawab negara. Sebagai seorang pemimpin, seorang kepala negara dianggap sebagai "raa'in" atau pengurus umat. Paradigma pengurusan dalam Islam bukanlah berbasis pada bisnis atau keuntungan semata, melainkan pada pelayanan dan pemenuhan hak-hak rakyat. Oleh karena itu, pemenuhan kebutuhan pokok rakyat, seperti pangan, harus sepenuhnya menjadi tanggung jawab negara, yang dijalankan melalui berbagai mekanisme yang sesuai dengan syariat Islam. Negara tidak boleh menyerahkan pengaturan tersebut kepada korporasi, apalagi sampai membiarkan mereka mengontrol distribusi pangan dari hulu hingga hilir.

Negara tidak hanya harus menjaga pasokan produk pangan seperti minyakita agar tetap tersedia, tetapi juga harus mengawasi rantai distribusinya secara ketat. Hal ini termasuk menghilangkan segala penyebab distorsi pasar yang bisa merugikan konsumen, seperti praktik-praktik curang dalam produksi dan distribusi.
 
Dalam sistem Islam, negara memiliki perangkat yang dapat memantau dan mengawasi pasar, seperti qadhi hisbah, yang bertugas melakukan inspeksi pasar dan memastikan tidak ada kecurangan yang terjadi. Jika ditemukan adanya pelanggaran, seperti kasus minyakita oplosan, negara harus memberikan sanksi tegas, bahkan melarang pelaku yang terlibat melakukan usaha produksi maupun perdagangan. Sanksi yang diberikan tidak hanya bertujuan untuk memberi efek jera, tetapi juga untuk memastikan bahwa keadilan dan kesejahteraan rakyat tetap terjaga.

Islam, dengan sistem pemerintahan yang berdasarkan syariat, memberikan paradigma yang lebih adil dalam mengelola kebutuhan hidup rakyat. Negara tidak boleh menyerahkan pengelolaan pangan kepada korporasi, dan harus mengambil langkah tegas dalam mengawasi rantai distribusinya. Dalam sistem Islam, kesejahteraan rakyat adalah prioritas utama, bukan keuntungan semata.

Wallahu a’lam bi ash sawab