-->

SUPPORT SYSTEM MAKSIAT WARA WIRI DI RAMADAN TANPA JUNNAH


Oleh : Musdalifah Rahman, ST.

Di momentum Ramadan yang ke 1446 Hijriah ini, ternyata kita masih harus berhadapan dengan sistem yang tak ramah pada Ramadan.

Bulan yang seharusnya menjadi momentum kaum Muslimin untuk makin mengokohkan keterikatan diri kepada hukum syara’ justru tidak disokong perealisasiannya dengan regulasi. 

Pasalnya, pemerintah daerah di beberapa kota besar di Indonesia memilih untuk tetap mengizinkan pengoperasian tempat hiburan malam.

Di Jakarta misalnya, Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Disparekraf) Provinsi DKI Jakarta telah menerbitkan pengumuman Nomor e-0001 Tahun 2025 tentang Penyelenggaraan Usaha Pariwisata pada Bulan Suci Ramadhan dan Hari Raya Idul Fitri 1446 H/2025 M, yang mana salah satu dari aturan dalam pengumuman tersebut yakni beberapa jenis usaha pariwisata di Jakarta (kelab malam, diskotek, rumah pijat dan semacamnya) diwajibkan tutup selama H-1 Ramadhan hingga H+1 hari kedua Idul Fitri. (sumber : news.republika.co.id Tanggal 02 Maret 2025)

Aceh lebih miris. Dua hari menjelang Ramadan, Pemerintah Kota Banda Aceh merevisi seruan bersama Forkopimda dimana salah satu poin yang direvisi adalah mengenai tempat usaha hiburan yang kini sudah dibolehkan beroperasi selama Bulan Ramadan. (sumber : kompas.com tanggal 28 Februari 2025)

Dalam aturan sebelumnya terdapat poin yang berbunyi “tidak melaksanakan kegiatan karaoke, biliar, Play Station/Game Online, musik hingar bingar dan hiburan lainnya selama Bulan Suci Ramadhan”.
Kini, poin itu dihilangkan dan diganti dengan “para pelaku usaha di sektor hiburan harap menjalankan operasional dengan penuh tanggung jawab, dengan tetap menghormati dan menjaga nilai-nilai syariat islam, tradisi, serta kearifan lokal sesuai dengan aturan dan ketentuan yang berlaku”.

Di kota-kota besar lainnya pun sama. Polanya mirip-mirip.
Pemerintah setempat mengeluarkan kebijakan terkait aturan pengoperasian tempat hiburan di Bulan Ramadan yang mana seolah-olah sebagai bentuk menghargai bulan suci, namun nyatanya hiburan penampung maksiat masih bisa wara wiri.

Jika rasa penghargaan pada Bulan Ramadan itu memang nyata adanya, seharusnya tempat hiburan yang menfasilitasi maksiat sepenuhnya ditutup hingga Bulan Ramadan usai. Bukan hanya sekedar memangkas minim pengoperasiannya. 

Namun dalihnya, aturan tetap dibukanya akses hiburan malam di Bulan Ramadan di beberapa kota berasal dari penampungan aspirasi dan masukan dari masyarakat, serta penganalisaan dengan melihat dinamika dan perkembangan yang terjadi di dalam masyarakat. 

Dari sinilah bisa kita cermati, bahwa kita betul-betul dihadapkan pada sekulerisasi hidup yang terang-terangan. Syara’ tidak lagi menjadi salah satu poin pertimbangan mengeluarkan aturan barang secuilpun.
Siapapun tahu, bahwa aturan tetap beroperasinya tempat hiburan di Bulan Ramadan tidak lepas dari paradigma kapitalisme yang menjunjung tinggi asas kemanfaatan. 

Dalam sistem kapitalisme, aturan akan tetap jor-joran diberlakukan jika ada manfaat atau keuntungan yang dihasilkan meski melanggar ketentuan syariat. 
Sayangnya, hadirnya bulan suci Ramadan sepaket dengan kemuliaanya tidak mampu mencegah melenggang bebasnya promotor praktik-praktik kemaksiatan. 

Ada yang bilang sebanyak apapun tempat hiburan malam, kalau iman seseorang kokoh tentu tidak menjadi problema. 
Ya benar, persoalan hawa nafsu memang diri kita masing-masinglah yang menjadi pengendalinya. Ini mutlak berlaku secara personal. 

Akan tetapi jika kita membahas tentang ruang publik dan masyarakat, maka tidak lagi cocok dipaketkan dengan hawa nafsu individu. Sebab kenampakan masyarakat adalah buah dari kebijakan-kebijakan politik.

Jika kebijakan politik justru menfasilitasi keberadaan support system pelaksanaan maksiat, maka tentu kita bisa membayangkan modelan masyarakat yang seperti apa akan terbentuk.

Selama eksistensi sistem kapitalisme mengakar, pundi-pundi maksiat akan tumbuh subur. Umat tergerus.
Percaya, tanaman kokoh bernama “maksiat” hanya bisa dimatikan akarnya dengan penerapan syariat Islam secara kaffah (menyeluruh).  Hal ini karena dalam Islam, berbagai jenis kemaksiatan meskipun  tidak merugikan orang lain seperti perzinaan, peredaran minuman beralkohol, pelacuran dan semacamnya adalah pelanggaran hukum syara’ dan ada pemberlakukan sanksi untuk setiap jenis maksiatnya.

Tidak hanya itu, kepengaturan semua aspek kehidupan termasuk hiburan dan pariwisata murni berlandaskan akidah Islam, bukan dengan asas kemanfaatan sebagaimana kondisi hari ini. 

Sehingga seberapa besarpun pundi-pundi rupiah yang dihasilkan dari bisnis penyediaan jasa, jika terbukti menjerumuskan pada kemaksiatan, maka pengoperasiannya tidak akan diizinkan, beserta dengan penerapan sanksi tegas yang menjerakan.

Semoga kita bisa segera bertemu dengan sistem yang tidak hanya menjadi perisai di Bulan Ramadan, tapi di sepanjang waktu menjaga fitrah, menjaga akal dan juga menjaga akidah. Aamiin