-->

Temuan MinyaKita Oplosan, Bukti Negara Gagal Mengatasi Kecurangan Korporat

3 minute read

Oleh : Aktif Suhartini, S.Pd.I., Anggota Komunitas Muslimah Menulis (KMM) Depok

Ada apa dengan negeri tercinta Indonesia? Setiap hari selalu saja terdengar kabar yang tidak menyenangkan bahkan cenderung menyadihkan. Belum selesai kasus Pertamax dioplos yang merugikan rakyat dengan kendaraan mereka harus turun mesin dan menanggung biaya yang tidak sedikit, sekarang muncul kasus baru minyak yang diperuntukan untuk rakyat dari kalangan bawah yang dikurangi volume isi takaran atau tidak sesuai dengan takaran di label dan juga harga minyak yang lebih tinggi dari patokan harga yang telah ditentukan (Harga Eceran Tertinggi/HET). Sedemikian rakuskah mereka mengeruk keuntungan dengan mengorbankan rakyat benar-benar sistem kapitalis melanda negeri ini. 

Sebagaimana yang dikatakan Satgas Pangan Polri selidiki temuan Minyakita yang tidak sesuai dengan takaran yang dijual di pasaran. Menurut Ketua Satgas Pangan Polri Brigjen Pol. Helfi Assegaf, penyelidikan itu merupakan tindak lanjut pihaknya, usai menemukan ketidaksesuaian pada produk Minyakita dalam inspeksi yang dilakukan di Pasar Lenteng Agung, Jakarta Selatan. Menurutnya, ada tiga merek MinyaKita yang diproduksi oleh tiga produsen yang berbeda, dan ditemukan ukurannya tidak sesuai dengan yang tercantum di dalam label kemasan. Hasil pengukuran sementara, dalam label tercantum 1 liter, tetapi ternyata hanya berisikan 700-900 mililiter (Antara, 9/3/2025).

Oleh karena itu, Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman minta tiga perusahaan Minyakita disegel dan ditutup, jika ada pelanggaran. Adapun produk tidak sesuai takaran, yaitu Minyak tersebut diproduksi oleh PT Artha Eka Global Asia, Koperasi Produsen UMKM Koperasi Terpadu Nusantara (KTN), dan PT Tunasagro Indolestari. 

Adanya Minyakita oplosan hingga takaran yang tidak sesuai dijual di pasaran menunjukkan gagalnya negara mengatasi kecurangan para korporat yang berorientasi untung. Ini membuktikan bahwa distribusi kebutuhan pangan ada di tangan korporasi. Sedangkan, negara hanya hadir untuk menjamin bisnis yang kondusif bagi para kapital. 

Bahkan, dalam kasus ini tidak ada sanksi menjerakan. Karena kecurangan dan menyengsarakan rakyat seperti ini terus berulang dan sepertinya tidak ada jalan keluar untuk memberantas oknum yang mencari keuntungan sebesar-besarnya dengan mengeluarkan modal sekecil-kecilnya, tanpa memikirkan efek yang menyengsarakan akan ditanggung rakyat. Inikah cerminan kehidupan negara yang berazaskan Berketuhanan Yang Maha Esa?

Yakinlah bahwa di bawah penerapan sistem ekonomi bernuansa kapitalisme dengan asas liberalisme, sudah dapat dipastikan para korporat mendapat karpet merah untuk menguasai rantai distribusi pangan dari hulu hingga hilir. Di manakah negara yang seharusnya melindungi dan menjamin kesejahteraan rakyatnya? Negara hanya bertindak sebagai regulator dan fasilitator. Paradigma kapitalis menjadikan negara abai terhadap tanggung jawabnya sebagai pengurus dan pelayan umat.

Sungguh sangat berbeda dengan sistem Islam, pemimpinnya akan memberi pengaturan terkait hajat hidup rakyat. Sebab pemimpin adalah raa’in atau pengurus umat. Paradigma dalam mengurus rakyat adalah pelayanan, bukan bisnis atau keuntungan, tidak berbasiskan profit oriented. Pemenuhan kebutuhan pokok berupa pangan menjadi tanggung jawab negara dengan berbagai mekanisme sesuai syariat. Tidak boleh diserahkan kepada korporasi, dari mulai hulu hingga berakhir di hilir.

Dalam perekonomian Islam, selain menjaga pasokan produk pangan seperti Minyakita, negara wajib mengawasi rantai distribusi dan menghilangkan segala penyebab distorsi pasar. Qadhi hisbah akan melakukan inspeksi pasar. Jika ditemui ada kecurangan seperti kasus Minyakita oplosan, negara akan memberikan sanksi tegas, bahkan pelaku bisa dilarang melakukan usaha produksi hingga perdagangan. Bukankah ini tindakan nyata yang akan menyejahterakan rakyatnya? Masihkah kita tetetap akan bertahan dengan sistem ini?[]