-->

Umat Islam Al-Quds Dikooptasi, tak layak kita diam


Oleh : Sri Azzah Labibah SPd 

Hamas telah menuduh Benjamin Netanyahu, Perdana Menteri Israel telah menghindari kesepakatan perjanjian gencatan senjata Gaza. Hamas juga meminta para mediator memulai negosiasi untuk tahap kedua dari kesepakatan tersebut. Israel mengatakan pada hari Minggu pagi bahwa mereka telah menyetujui gencatan senjata sementara di Gaza selama bulan Ramadan bagi umat Muslim dan hari raya Paskah bagi umat Yahudi, menyusul usulan utusan AS untuk Timur Tengah Steve Witkoff.

Langkah tersebut dilakukan saat Tel Aviv menghentikan masuknya bantuan kemanusiaan ke daerah kantong Palestina tersebut, beberapa waktu setelah berakhirnya tahap pertama gencatan senjata Gaza dan perjanjian pertukaran tahanan. Hamas membuat pernyataan resmi bahwa “Netanyahu berusaha membatalkan perjanjian gencatan senjata yang telah ditandatangani, untuk memenuhi perhitungan politiknya yang sempit dengan mengorbankan tawanan Israel di Gaza.”(Alinea.id, 2-3-2025)

Pembatasan wilayah adalah penerapan karantina terhadap suatu daerah atau wilayah tertentu dalam rangka mencegah perpindahan orang, baik masuk maupun keluar wilayah itu, untuk tujuan tertentu yang mendesak. Pembatasan akses warga Palestina ke Masjid Aqsa di Yerusalem Timur dilakukan oleh otoritas Israel hampir setiap Ramadan, setiap tahun. Warga Palestina memandang pembatasan ini sebagai bagian dari kebijakan Israel yang lebih luas untuk “meyahudikan” Yerusalem Timur, termasuk Masjid Al-Aqsa, dengan menghapus identitas Arab dan Islamnya. (NomorSatuKaltim, 1-3-2025)

Adanya pembatasan jemaah salat di kompleks Masjid Al-Aqsa selama Ramadhan oleh Zionis dengan dalih keamanan, menunjukkan bahwa wilayah ini masih dalam penjajahan, karena keamanan kaum muslimin di tangan orang kafir. Sedangkan di Gaza, di tengah gencatan senjata, Zionis menghalangi masuknya bantuan dalam berbagai bentuk. Ssungguh jelas, zionis mengontrol kaum muslim Palestina, baik di tepi barat maupun Gaza semuanya. Zionis paham bahwa umat Islam masih menyimpan potensi perlawanan sehingga merasa harus menggunakan cara politik dan militer untuk melakukan penekanan, bahkan di Al Quds.

Lebih miris lagi pelanggaran gencatan senjata yang mencolok mata ini terjadi tanpa ada pihak yang berani mencegah. Amerika dan negara mediator gencatan senjata lainnya (Qatar dan Mesir) pun tidak melakukan apa-apa selain menyuruh pihak Palestina menahan diri. Termasuk ketika pihak Zionis secara licik menunda pembebasan ratusan tawanan Palestina. Dalihnya adalah karena pihak Hamas telah melakukan propaganda media terkait video pelepasan tawanan Yahudi yang berlangsung dengan ramah dan sukacita.

Umat Islam Palestina tidak boleh gentar menghadapi kejahatan Zionis yang dibeking AS. Ramadhan semestinya digunakan untuk menguatkan azzam dalam perjuangan melenyapkan penjajahan. Umat Islam tidak boleh lagi berharap pada solusi Barat dan narasi-narasi sesat soal perdamaian. Demokrasi dan ide nasionalisme adalah racun yang melemahkan ikatan akidah, yang terus dicekokkan musuh-musuh islam. Hingga negeri-negeri muslim yang kaya raya pun hanya menjadi rebutan bagi negara-negara adidaya berikut para kapitalis rakus yang berkolaborasi dengan para penguasanya. Mereka sudah lama kehilangan muruah sebagai khairu ummah dan pemimpin peradaban dunia.

Entitas zionis adalah muhariban fi’lan yang wajib dihadapi hanya dengan bahasa perang yang akan efektif dan solutif jika di bawah komando seorang khalifah. Kaum muslimin hendaknya bersatu untuk mengembalikan kemuliaan umat melalui penegakan kembali Khilafah pada era penuh fitnah ini, sehingga, membutuhkan keseriusan langkah dari umat yang sadar. Mereka dituntut bekerja keras menapaki jalan perjuangan yang Rasulullah saw. contohkan, karena jalan inilah yang dipastikan akan menuai keberhasilan. Mereka pun dituntut menjaga spirit perjuangan di tengah gempuran kerusakan yang berlangsung secara sistemis dan sering kali membuat mereka terposisi sebagai korba

Perjuangan ini tidak mungkin dilakukan sendirian. Perjuangan mengembalikan Khilafah harus dilakukan bersama jemaah dakwah yang terbukti konsisten memegang teguh ideologi Islam. Fikrah dan thariqah-nya pun tidak boleh tersusupi pemikiran dan metode di luar Islam, termasuk konsep demokrasi yang sering dihubung-hubungkan dengan Islam. Kelompok dakwah ideologis ini mengikat kadernya hanya dengan Islam. Mereka ikhlas bergerak secara pemikiran dan politis, serta tidak terpancing untuk melakukan anarki dan kekerasan. Merekalah thaifah dzahirah (kelompok pemenang) yang dijanjikan. Mereka pula satu-satunya kelompok yang diharapkan akan menjadi jalan turunnya kemenangan, yakni dengan tegaknya kembali sang junnah (Khilafah) di panggung peradaban masa depan. Penegakkan kembali Khilafah adalah qadliyah mashiriyah yang wajib menjadi agenda utama umat Islam. Wallahua’lam bisshowab.