Banjir Berulang : Alarm Keras untuk Kebijakan Kapitalistik
Oleh : Ummu Aqila
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) melaporkan bahwa per 1 Januari hingga 17 Maret 2025, Indonesia telah mencatat 641 kejadian bencana, yang mayoritas adalah bencana hidrometeorologi basah seperti banjir, cuaca ekstrem, dan tanah longsor. Peningkatan intensitas curah hujan telah berkontribusi terhadap semakin seringnya intensitas bencana hidrometeorologi di Indonesia. Dampak dari bencana yang tercatat yakni sebanyak 110 orang meninggal, 17 orang hilang, 121 orang mengalami luka-luka, dan 2.245.787 orang terdampak serta mengungsi.
Akibat bajir, masyarakat korban banjir harus mengungsi. Rumah, kendaraan, dan barang-barang mereka rusak akibat banjir. Menteri Sosial Saifullah Yusuf mengatakan, korban banjir di wilayah Jakarta, Kota Bekasi, dan Kabupaten Bogor mencapai 28.000 jiwa. Sementara itu, Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) DKI Jakarta Diana Dewi menaksir kerugian ekonomi akibat banjir mencapai lebih dari Rp5 triliun. tribunnews.com/2025/03/09
Banjir bukanlah fenomena baru di negeri ini. Hampir setiap musim hujan datang, berita tentang banjir memenuhi layar media massa. Rumah-rumah terendam, warga terpaksa mengungsi, dan kerugian materi yang tak terhitung jumlahnya terus berulang. Pertanyaannya, mengapa banjir terus terjadi meski berbagai upaya penanganan sudah dilakukan? Apakah masalahnya hanya pada curah hujan tinggi atau ada faktor lain yang lebih mendasar?
Sering kali, bencana banjir dipandang sebagai problem teknis yang memerlukan solusi fisik, seperti pengerukan sungai, pembangunan tanggul, atau perbaikan drainase. Namun, fakta bahwa banjir terus berulang menandakan ada permasalahan sistemis yang lebih dalam. Kebijakan pembangunan yang berparadigma kapitalistik, yang mengutamakan keuntungan ekonomi semata tanpa memperhatikan keberlanjutan lingkungan, menjadi salah satu akar masalah utama.
Alih fungsi lahan hijau menjadi kawasan komersial, pembangunan properti tanpa kajian lingkungan yang memadai, serta eksploitasi alam yang berlebihan telah memperparah dampak bencana ini. Atas nama pertumbuhan ekonomi, para pengusaha melakukan alih fungsi hutan menjadi permukiman dan tempat wisata. Hal ini terjadi terus-menerus dan masif sehingga menurunkan kemampuan tanah untuk menyerap air hujan.
Paradigma kapitalistik yang mengejar profit tanpa batas cenderung abai terhadap dampak ekologis yang dihasilkan. Hutan sebagai penjaga keseimbangan alam terus ditebang demi kepentingan bisnis. Lahan resapan air beralih fungsi menjadi kawasan beton yang tidak lagi mampu menyerap air hujan dengan baik. Sungai-sungai yang dulu menjadi aliran alami kini menyempit, tercemar limbah industri, dan menjadi tempat pembuangan sampah yang mengganggu aliran air.
Selain itu, lemahnya mitigasi bencana juga menunjukkan betapa kebijakan pemerintah sering kali hanya reaktif dan tidak berorientasi pada pencegahan jangka panjang. Pembangunan yang tepat seharusnya tidak hanya memudahkan kehidupan manusia, tetapi juga menjaga kelestarian alam. Di sinilah pentingnya paradigma pembangunan yang lebih berkeadilan, yang tidak hanya berfokus pada materi tetapi juga memperhatikan kesejahteraan ekologis. Islam sebagai agama yang menyeluruh memberikan panduan tentang bagaimana membangun sebuah negara yang tidak hanya maju secara ekonomi, tetapi juga selaras dengan alam.
Peran Khilafah dalam Mitigasi Banjir Berbasis Prinsip Islam
Dalam Islam, seorang pemimpin adalah raa'in, yaitu pengurus dan pelindung rakyat yang bertanggung jawab memastikan kesejahteraan dan keselamatan warganya. Penguasa yang menjadikan Islam sebagai asas pembangunan akan senantiasa mempertimbangkan kelestarian lingkungan serta berupaya mencegah bencana alam. Jika pemimpin menjalankan tugasnya dengan amanah, mitigasi bencana bukan sekadar formalitas, melainkan komitmen nyata untuk melindungi masyarakat dari ancaman banjir.
Dalam sistem Khilafah, penanggulangan banjir dilakukan secara menyeluruh dengan menerapkan prinsip-prinsip Islam secara komprehensif. Negara memiliki visi sebagai pengelola bumi yang bertanggung jawab, sehingga tidak akan membuat kebijakan yang merusak lingkungan. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam QS Al-Baqarah [2]: 30 yang menyatakan bahwa manusia diangkat sebagai khalifah di bumi, serta perintah dalam QS Al-A’raf [7]: 56 agar tidak merusak tatanan yang telah baik.
Bencana yang terjadi saat ini merupakan akibat dari kelalaian manusia dalam menjalankan hukum Allah, sebagaimana dijelaskan dalam QS Ar-Rum [30]: 41, bahwa kerusakan di darat dan laut disebabkan oleh perbuatan manusia sendiri. Oleh karena itu, dalam sistem Khilafah, penanganan banjir tidak hanya dilakukan saat bencana terjadi, tetapi juga melalui langkah pencegahan yang terencana.
Langkah Pencegahan Banjir dalam Khilafah
Untuk mencegah banjir, Khilafah akan menerapkan kebijakan pembangunan yang ramah lingkungan, menjaga daerah resapan air agar tidak dialihfungsikan untuk permukiman atau aktivitas lain yang dapat mengganggu keseimbangan ekosistem. Pengelolaan hutan dilakukan dengan cermat berdasarkan kajian para ahli agar tidak menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan.
Selain itu, infrastruktur pengendali air seperti bendungan, sungai, dan saluran drainase akan diawasi ketat menggunakan teknologi pemantauan real-time. Jika terjadi peningkatan volume air yang mengkhawatirkan, masyarakat akan segera diberi peringatan, dan pemerintah akan mengambil langkah-langkah untuk mengalirkan air ke tempat yang aman serta mempersiapkan evakuasi jika diperlukan. Upaya lain mencakup pengerukan sungai untuk mengatasi sedimentasi, pembersihan sampah serta tanaman liar yang menghambat aliran air, dan penghijauan kembali daerah yang gundul.
Pemerintah juga akan mengedukasi masyarakat tentang pentingnya menjaga lingkungan, seperti tidak membuang sampah ke sungai. Sanksi tegas akan diberlakukan bagi individu atau perusahaan yang mencemari lingkungan. Selain itu, daerah di sekitar sungai akan diproteksi agar tidak digunakan untuk kepentingan pribadi atau komersial, sesuai dengan konsep hima dalam Islam yang telah dicontohkan oleh Rasulullah ﷺ.
Tanggung Jawab Sosial dan Kesejahteraan Warga
Dalam aspek kesejahteraan, Khilafah akan memastikan bahwa setiap warga memiliki tempat tinggal yang layak sehingga tidak ada lagi yang terpaksa bermukim di bantaran sungai. Pejabat yang dipilih akan memiliki sifat amanah, sehingga tidak akan menyalahgunakan kewenangan dalam perizinan pembangunan yang merusak lingkungan.
Jika banjir tetap terjadi meskipun langkah pencegahan telah dilakukan, pemerintah akan segera mengevakuasi warga dengan melibatkan berbagai elemen masyarakat. Korban akan ditempatkan di lokasi pengungsian yang layak dengan pemenuhan kebutuhan dasar seperti makanan, air bersih, layanan kesehatan, dan keamanan. Infrastruktur yang rusak akibat banjir akan segera diperbaiki menggunakan dana dari baitulmal.
Dalam situasi darurat, anggaran untuk penanganan bencana akan diprioritaskan. Jika dana di baitulmal tidak mencukupi, negara dapat memberlakukan pajak sementara yang hanya dikenakan kepada laki-laki Muslim yang mampu. Jika masih kurang, negara dapat meminjam dana dengan mekanisme yang tidak melibatkan riba. Selain itu, umat Muslim dianjurkan untuk membantu korban dengan bersedekah. Khalifah juga akan mengajak masyarakat untuk bertaubat dan berdoa agar musibah segera berlalu.
Khilafah dan Sejarah Keberhasilannya dalam Mitigasi Bencana
Sepanjang sejarah, sistem Khilafah telah terbukti mampu menangani berbagai bencana. Contohnya adalah tata kota yang diterapkan pada masa Abbasiyah di Baghdad dan Utsmaniyah di Turki, yang menunjukkan keberhasilan dalam mengatasi banjir melalui perencanaan kota yang baik. Selain itu, Khilafah juga mendorong penelitian dan pengembangan teknologi untuk mitigasi bencana dengan pembiayaan dari baitulmal, sehingga program ini dapat berjalan secara berkelanjutan.
Dengan sistem yang berbasis pada syariat Islam, Khilafah tidak hanya berfungsi sebagai pemerintahan, tetapi juga sebagai pelindung rakyat dan penjaga keseimbangan alam. Melalui kebijakan yang adil dan berorientasi pada kemaslahatan, bencana seperti banjir dapat diminimalisir, dan kesejahteraan masyarakat dapat terwujud dengan optimal.
Oleh karena itu, banjir yang terus berulang seharusnya menjadi alarm keras untuk mengevaluasi kembali kebijakan pembangunan yang ada. Saatnya menghentikan pendekatan kapitalistik yang hanya berorientasi pada keuntungan materi, dan beralih pada paradigma pembangunan yang lebih berkelanjutan dan manusiawi. Jika tidak, banjir akan terus menjadi tamu tak diundang yang hadir setiap musim hujan, membawa derita bagi masyarakat yang seharusnya dilindungi. Wallahualam bissawab
Posting Komentar