Daya Beli Masyarakat Turun, Paylater dan Konsumerisme Berkelindan dalam Sistem Sekulerisme Kapitalisme
Oleh : Linda Anisa
Fenomena menurunnya daya beli masyarakat Indonesia pasca-Lebaran 2025 menjadi sorotan banyak pihak. Dari pedagang Tanah Abang hingga pelaku pariwisata di berbagai daerah, semua mengeluhkan penurunan transaksi yang signifikan. RRI dan Metro TV melaporkan bahwa masyarakat cenderung menahan belanja karena tekanan ekonomi yang kian berat. Bahkan sektor pariwisata pun ikut terdampak, sebagaimana dilaporkan Pikiran Rakyat.
Di tengah kondisi ini, masyarakat mencari berbagai cara untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Salah satu cara yang kini marak digunakan adalah skema paylater atau bayar belakangan. Namun, alih-alih menjadi solusi, fenomena ini justru menunjukkan bagaimana sistem sekuler kapitalistik membentuk lingkaran setan antara menurunnya daya beli, utang konsumtif, dan budaya konsumerisme yang makin tak terkendali.
Paylater: Solusi Semu yang Menambah Masalah
Data dari OJK sebagaimana dilansir Liputan6 dan Kompas menyebutkan bahwa utang masyarakat dari skema paylater telah menembus angka Rp21,98 triliun per Februari 2025. Angka ini menunjukkan bahwa masyarakat terjerat dalam budaya konsumtif yang kian massif. Paylater dianggap memudahkan, terutama dengan maraknya transaksi online. Namun, di balik kemudahan itu, ada beban bunga, denda, dan risiko kredit macet yang membayangi.
Lebih dari itu, paylater dalam praktiknya berbasis riba, yang dalam Islam tergolong dosa besar. Masyarakat tidak hanya menambah beban finansial, tapi juga menumpuk beban spiritual. Maka, bukan saja tidak menyelesaikan masalah, paylater justru menambah daftar problem dalam kehidupan rakyat.
Sekulerisme Kapitalisme: Akar Masalahnya
Jika kita mencermati fenomena ini, maka kita dapat menyimpulkan bahwa Sistem ekonomi kapitalisme sekuler adalah biang keladinya. Sistem ini memisahkan agama dari kehidupan, menjadikan kebahagiaan dan kesuksesan diukur secara materiil. Tak heran jika masyarakat terus-menerus didorong untuk membeli, memiliki, dan memamerkan, meskipun harus berutang.
Budaya konsumerisme ini tidak lahir dari ruang hampa. Kapitalisme membutuhkan pasar dan konsumen yang terus membeli, karena begitulah roda sistem ini berjalan. Maka, konsumerisme bukan sekadar budaya, tetapi kebutuhan sistemik dalam kapitalisme.
Sistem Islam: Solusi Hakiki dan Penuh Berkah
Tentu saja kondisi ini tak bisa diabaikan bwegitu saja. Masyarakat harus menyadari bahwa ini adalah racun yang harus dihilangkan dari kehidupan . itu semua hanya bisa dilakukan jika masyarakat sadar dan dapat menwerima Islam sebagai solusi kehidupan.
Sistem Islam datang dengan visi yang berbeda. Dalam Islam, kebahagiaan bukan dinilai dari banyaknya barang yang dimiliki, tapi dari ketaatan kepada Allah SWT. Sistem Islam akan menutup celah munculnya budaya konsumtif. Masyarakat dibangun di atas ketakwaan, di mana setiap perbuatan dikaitkan dengan pertanggungjawaban di akhirat.
Sistem ekonomi Islam juga memiliki mekanisme riil dalam menjamin kesejahteraan masyarakat individu per individu. Negara, dalam hal ini Khilafah, bertanggung jawab memenuhi kebutuhan dasar rakyatnya: pangan, sandang, papan, pendidikan, kesehatan, dan keamanan. Bukan dengan utang, tapi melalui pengelolaan sumber daya alam dan zakat yang dikelola dengan amanah.
Yang paling penting, seluruh praktik ribawi akan dihapuskan. Khilafah akan menjaga agar umat jauh dari transaksi haram yang merusak kehidupan dunia dan akhirat.
Saat ini, masyarakat terjebak dalam krisis yang seakan tanpa ujung. Daya beli menurun, utang meningkat, dan kebahagiaan semu terus dijual melalui iklan dan aplikasi. Paylater bukan solusi, tapi jebakan yang justru menambah derita.
Sudah saatnya kita kembali merenung dan memikirkan akar dari semua persoalan ini. Bukan sekadar mengganti kebijakan, tapi mengganti sistem. Karena hanya sistem Islam kaffah yang mampu menyelesaikan problem ekonomi dari akarnya, dan membawa keberkahan serta kesejahteraan bagi seluruh umat manusia.
Wallahu a'lam bi ash sawab
Posting Komentar