-->

DAYA BELI MASYARAKAT TURUN, PAYLATER DAN KONSUMERISME BERKELINDAN DALAM SISTEM SEKULERISME KAPITALISME


Oleh : A. Salsabila Sauma

Fenomena turunnya daya beli masyarakat Indonesia semakin meluas di berbagai daerah. Momen Ramadan dan Idulfitri 2025 biasanya menjadi waktu panen bagi para pedagang. Namun tahun ini mereka harus menelan kekecewaan sebab para pedagang, khususnya di Pasar Tanah Abang, mengaku mengalami penurunan laba yang signifikan dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. 

Salah satu pedagang, Eli, menyampaikan bahwa meski jumlah pengunjung cukup ramai selama masa puasa hingga Lebaran, daya beli masyarakat mengalami penurunan drastis. Menurutnya, penurunannya sekitar 30-35 persen. "Ramainya pengunjung memang ada. Cuman, untuk daya beli jauh berkurang dibandingkan tahun 2024," ujar Eli. (metrotvnewa)

Sektor pariwisata pun turun mengalami fenomena penurunan daya beli masyarakat. Sekretaris Jenderal PHRI, Maulana Yusran mengungkapkan bahwa tren penurunan ini bisa dilihat dari persentase penggunaan semua moda transportasi yang telah diakui pemerintah turun menjadi 30 persen. "Kemudian lama daripada peningkatan okupansi, jumlah hari peningkatan okupansi itu pendek, cuma tiga atau empat hari habis itu okupansinya langsung di-drop drastis, misalnya dari angka 80 persen atau 90 persen itu bisa di-drop drastis ke 20 persen sekarang rata-rata bahkan ada yang di bawah itu," katanya. (pikiranrakyat)

DAMPAK DARI PHK DAN BNPL

Apabila bebicara mengenai terganggunya daya beli memang harus dilihat dalam konteks situasi ekonomi yang sedang tidak baik-baik saja. Banyaknya pemutusan hubungan kerja (PHK) menjadi salah satu utama penyebab daya beli masyarakat turun. Ditambah dinamika dan kebijakan dalam negeri yang belum sepenuhnya kondusif, kenaikan harga-harga kebutuhan pokok, meningkatnya beban utang rumah tangga, serta tekanan biaya hidup lainnya turut memperparah kondisi.

Akibatnya banyak masyarakat yang kehilangan sumber pendapatan mereka. Hal ini yang membuat penurunan pembelian kebutuhan karena terbatas atau bahkan berhentinya pemasukan yang di dapat. Akhirnya, karena kurangnya pendapatan, masyarakat akan berinisiatif untuk melakukan pinjaman atau membeli dengan mengutang secara online. Istilah yang kita sering sebut pinjol dan paylater.

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat per Februari 2025 total utang masyarakat Indonesia lewat layanan By Now Pay Later (BNPL) atau yang lebih akrab disebut pay later di sektor perbankan menyentuh angka Rp21,98 triliun. Meski angka ini sedikit turun dari posisi Januari 2025 yang berada di Rp22,57 triliun, secara tahunan justru terlihat kenaikan yang cukup signifikan yakni sebesar 36,6%. (moneykompas)

Survei menunjukkan bahwa 58% konsumen menggunakan layanan ini untuk kebutuhan mendesak. Pay later juga menawarkan fleksibilitas dalam pembayaran cicilan dengan cicilan yang bervariasi dan proses yang mudah sehingga menarik bagi konsumen yang mencari alternatif selain kartu kredit. Layanan ini dinilai sebagai solusi praktis atas kebutuhan finansial jangka pendek. Hal ini juga yang membuat masyarakat lebih memilihi belanja daring dari pada langsung ke pasar sehingga para pedagang di pasar konvensional menjadi sepi. Masyarakat melihat pay later sebagai solusi praktis namun sejatinya hanya menjadi jalan pintas yang menjerat banyak orang dalam pusaran utang.

KITA BUTUH SOLUSI PASTI

Kesejahteraan rakyat yang terabaikan akhirnya memperlebar kesenjangan sosial dan ekonomi di antara masyarakat. Kebijakan yang membolehkan praktik riba, rendahnya standar upah pekerja, serta lemahnya perlindungan terhadap sektor-sektor rakyat kecil turut memperparah kondisi daya beli masyarakat. Jika sistem kapitalisme tidak mampu menjaga daya beli masyarakat agar tetap stabil, Islam mampu mewujudkannya 

Dalam sistem Islam yang diterapkan oleh negara khilafah, menjaga daya beli masyarakat bukan hanya menjadi tanggung jawab moral negara tetapi merupakan bagian dari kewajiban negara dalam mengatur urusan umat. Islam menjadikan negara sebagai ra’in yang bertanggung jawab mengurus rakyat dan menyejahterakannya.

Berikut beberapa prinsip bagaimana khilafah mampu menjaga daya beli masyarakat secara sistemik dan menyeluruh. Pertama negara khilafah bertanggung jawab langsung atas pemenuhan kebutuhan pokok (sandang, pangan, papan) setiap individu rakyat. Bukan hanya sekedar mendorong pertumbuhan ekonomi ala kapitalis, Negara akan memastikan setiap warga mendapatkan akses terhadap ketiga hal tersebut dengan layak serta pendidikan dan kesehatan secara gratis.

Kedua, khilafah mengharamkan riba dengan segala bentuknya. Dengan dihilangkannya riba, masyarakat terbebas dari beban utang berbunga yang selama ini menjadi salah satu penyebab melemahnya daya beli. Kemudian, khilafah memastikan distribusi kekayaan terjadi secara adil melalui pengaturan kepemilikan dalam Islam dan larangan monopoli. Negara akan mengawasi pasar secara langsung agar tidak ada praktik penimbunan, manipulasi harga atau kartel yang diharamkan syariat serta merugikan konsumen. Jika ada pelanggaran akan hal tersebut maka hukuman yang dijalani akan tegas dan tidak bisa dikompromi. 

Negara juga berkewajiban menyediakan lapangan pekerjaan bagi para pencari nafkah yang membutuhkannya. Sehingga tidak ada lagi pengangguran di tengah masyarakat. Hal ini juga akan menekan jumlah kejahatan akibat hilangnya pemasukan karena susahnya mencari nafkah di era kapitalisme. 

Dengan prinsip-prinsip ini sistem khilafah bukan hanya menjaga daya beli masyarakat tetapi juga memastikan sistem ekonomi berjalan adil, manusiawi, dan sesuai syariat Islam.

Waallahu’alam bi showab