Daya Beli Menurun tapi Konsumtif?
Oleh : Ida Nurchayati
Daya beli masyarakat di berbagai daerah di Indonesia menurun.
Menteri Perhubungan, Dudy Purwagandhi mengungkapkan terjadi penurunan mudik lebaran 2025 sebesar 4,69% dibanding tahun 2024 yang mencapai 162,2 juta orang, tahun 2025 tercatat 154,6 juta jiwa (www.pikiran -rakyat.com, 13/4/2025).
Pasca lebaran 2025, para pedagang di Pasar Impres Kota Lhokseumawe mengeluh minimnya daya beli masyarakat (rri.co.id, 10/4/2025). Penurunan daya beli juga terjadi di Tana Abang Jakarta Pusat. Lebaran biasanya pedagang panen untung. Namun tahun ini mengecewakan, para pedagang mengalami penurunan omzet signifikan sekitar 30-35 persen dibanding tahun-tahun sebelumnya (www.metrotvnews.com, 10/4/2025).
Anehnya, disatu sisi gaya hidup konsumtif meningkat. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat, per Ferbuarari 2025 total utang masyarakat Indonesia lewat layanan payLater di sektor perbankan menyentuh angka Rp 21,98 triliun (www.liputan6.com, 11/4/2025).
Korban Sistem Kapitalisme
Turunnya daya beli masyarakat, namun disatu sisi gaya hidup konsumtif meningkat disebabkan banyak faktor. Di antaranya karena maraknya PHK, Kementerian Tenaga Kerja mencatat, pada tahun 2024 ada 77.965 terkena PHK, dan 18.000 orang selama Januari - Februari 2025. Faktor lain adalah naiknya harga-harga menjelang Ramadhan dan lebaran, meningkatnya beban utang, juga terpengaruh suasana ekonomi secara global yang tengah lesu.
Himpitan ekonomi membuat masyarakat memutar otak untuk mencukupi kebutuhan hidupnya, tidak sedikit yang berutang dengan memanfaatkan paylater (pembayaran nanti) ketika berbelanja. Keberadaan market place yang menyediakan layanan paylater sangat mendukung. Apalagi belanja saat ini bisa dilakukan secara online sehingga paylater dianggap alternatif yang memudahkan. Di sisi lain, penerapan sistem kapitalisme mengakibatkan besarnya arus budaya konsumerisme. Sistem kapitalisme memandang bahwa nilai kebahagiaan diukur dengan standar capaian materi. Semakin banyak materi yang dimiliki sebagai standar kesuksesan seseorang. Maka orang akan berlomba membelanjakan hartanya demi eksistensi diri meski kadang kurang dan tidah dibutuhkan. Mirisnya, demi harga diri, kadang seseorang memaksakan diri untuk membeli sesuatu meski tidak ada uang. Akhirnya paylater dijadikan solusi, sehingga makin mendorong arus konsumerisme.
Padahal paylater yang marak hari ini dikembangkan dengan basis ribawi, yang haram dalam pandangan Islam. Namun cara pandang sekuler telah menepiskan syariat Islam. Perbuatan boleh dilakukan asal ada manfaat dan keuntungan tanpa mempertimbangkan halal dan haram. Maka wajar, dalam sistem sekuler paylater tumbuh menjamur dan dijadikan solusi yang praktis. Padahal, alih-alih menjadi solusi, paylater justru berpotensi menambah beban masalah masyarakat. Tidak sedikit yang akhirnya terjerat pinjol, depresi dan akhirnya bunuh diri. Dan yang paling urgen, paylater menambah dosa, yang akan menjauhkan masyarakat dari keberkahan.
Islam Melarang Konsumtif
Islam mengajarkan bahwa standar kebahagiaan adalah ketika seseorang melakukan ketaatan, yakni meraih ridha Allah SWT. Sikap ini akan melindungi seseorang dari sifat konsumtif. Orang akan membelanjakan hartanya sesuai dengan kebutuhan bukan keinginan. Orang akan berbelanja hanya produk yang halal secukupnya, tidak berlebihan. Karena Islam melarang sikap tabzir dan boros. Allah SWT berfirman dalam Surat Al Isra' ayat 26 yang artinya,
"Dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros".
Sistem Islam akan menutup celah budaya konsumerisme, karena ada dorongan ketakwaan individu bahwa setiap perbuatannya akan dihisab dan diminta pertanggungjawaban di hadapan Allah swt. Dorongan ketakwaan yang membatasi orang membelanjakan hartanya untuk sesuatu yang dibutuhkan, bukan karena keinginan.
Masyarakat Islam adalah masyarakat yang unik. Mereka memiliki pemikiran dan perasaan yang sama, dan diatur dengan syariat Islam. Maka akan terbentuk pola pikir dan pola sikap yang sama ditengah-tengah masyarakat, standar kebahagiaan bukan dari capaian materi tapi karena mendapatkan ridha Allah SWT. Masyarakat yang memiliki kepedulian untuk beramar makruf nahi munkar. Saling mengingatkan dalam kebaikan dan mencegah dalam kemungkaran termasuk dalam membelanjakan harta.
Negara akan menerapkan Islam secara kaffah, termasuk sistem politik dan ekonomi Islam. Sistem ekonomi Islam akan mengatur sistem kepemilikan menjadi tiga, yakni kepemilikan umum, negara dan individu. Negara juga akan menyediakan lapangan pekerjaan sehingga laki-laki bisa memenuhi kewajibannya memberi nafkah bagi dirinya dan orang-orang yang berada dalam tanggungannya. Negara menjamin setiap individu terpenuhi kebutuhan pokok individunya (sandang, pangan dan papan), juga terpenuhi kebutuhan pokok komunal secara gratis yakni pendidikan, kesehatan dan keamanan. Dengan mekanisme seperti itu, maka bisa dipastikan Sistem Islam mampu mewujudkan kesejahteraan. Orang tidak terjerumus dalam paylater yang diharamkan syariat.
Negara juga menerapkan sistem ekonomi Islam yang melarang segala bentuk praktik ribawi, termasuk paylater. Allah melarang riba sebagaimana dalam Surat Al Baqarah ayat 275 yang artinya,
"Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba."
Maka segala bentuk transaksi yang mengandung riba akan dihapus dalam sistem khilafah. Seorang khalifah akan memberlakukan syariat Islam secara kaffah, termasuk menghapus segala bentuk transaksi ribawi. Khalifah akan menjaga agar rakyatnya tidak terjerumus pada keharaman. Inilah kesempurnaan sistem Islam, mampu mewujudkan kesejahteraan dan keberkahan hidup di dunia dan akhirat. Tidakkah kita merindukannya?
Wallahua'lam
Posting Komentar