Derita Para Pencari Kerja di Sistem Kapitalis
Oleh : Ummu Ayya
Ihwan Sahab (28), warga Kebalen, Babelan, Kabupaten Bekasi, meregang nyawa di Kamboja pada Senin pagi, 14 April 2025. Ihwan bekerja di sebuah perusahaan asal Indonesia yang terlibat dalam praktik penipuan siber (scamming). Ia diduga meninggal dunia setelah mengalami penyiksaan brutal oleh 15 rekan kerjanya lantaran gagal memenuhi target perusahaan (kompas.com, 19-04-3025).
Menteri Perlindungan Pekerja Migran Indonesia Abdul Kadir Karding mengungkap kronologi kematian dua PMI di Kamboja, Rizal Sampurna dan Ihwan Sahab, yang diduga menjadi korban Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO). "Tim BP3MI (Balai Pelayanan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia) Jawa Timur sudah mendatangi rumah keluarga Rizal Sampurna di Desa Klata, Kecamatan Kalipuro, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur, untuk mendapat informasi utuh," kata Karding di kantor P2MI, Jakarta, Kamis (17-04-2025).
Miris. Kisah ini selalu berulang. Seakan cerita yang tak ada endingnya. Kronologi yang minus humanis selalu saja dipersembahkan atas nama materi yang menjanjikan layak hidup namun berakhir tragis.
Sungguh sistem kapitalisme telah mengelabui rakyat negeri ini dengan menjadikan mereka seakan berdaya secara ekonomi, bahkan dijuluki sebagai pahlawan devisa. Sistem kapitalisme yang telah menyebabkan kemiskinan struktural, lapangan kerja sulit, dan lainnya, terus berdusta dengan harapan harta yang manipulatif di negeri orang.
Kasus perdagangan orang berkelindan dengan upaya manusia untuk mencari penghasilan guna memenuhi berbagai kebutuhan mereka. Alhasil banyak tenaga kerja yang pergi ke negeri lain sehingga menimbulkan pergerakan orang dari satu negara ke negara lain dengan tujuan untuk bekerja. Saat ini, sekitar 164 juta manusia sedang bekerja di negara yang bukan negara tempat mereka dilahirkan. Untuk itu, tiap negara menerbitkan sejumlah kebijakan guna melindungi para pekerja migran dari human trafficking yang banyak terjadi hari ini. Indonesia termasuk yang mengalami ini. Terperangkap dusta kapitalis sekuler, yang hanya sebatas janji.
Indonesia adalah salah satu negara asal pekerja migran terbesar di dunia, yang umumnya bekerja di sektor dengan pendapatan yang minim. Kendati demikian, pekerja migran Indonesia berkontribusi secara signifikan untuk pembangunan berkelanjutan Indonesia.
Pada 2018, pekerja migran Indonesia mengirimkan uang sebesar USD11,2 miliar, rekor tertinggi untuk negara ini. Meski memberi kontribusi, nyatanya perlindungan pada para pekerja migran masih sangat minim. Regulasi yang ada belum ampuh mengantisipasi berbagai transaksi gelap yang merugikan para korban.
Menjadi pekerja migran tentu membutuhkan nyali untuk menanggung berbagai macam risiko. Hal ini bukan hanya perkara adaptasi lingkungan, orang, dan budaya. Semuanya tentu dilandasi pada keinginan kuat untuk memenuhi kebutuhan hidup.
Dalam sistem yang memaksa manusia untuk menghalalkan segala cara, semakin banyaknya masyarakat yang mencari kerja telah membuka transaksi bisnis yang menjadikan manusia sebagai komoditas. Walhasil, bisnis tenaga kerja pun kian marak di negeri ini.
Di tengah regulasi yang lemah, banyak penyalur tenaga kerja bodong yang menjebak masyarakat awam. Realitas ini terjadi bukan tanpa sebab. Keinginan untuk memperoleh kemapanan hidup di tengah karut-marut ekonomi negeri telah mendorong masyarakat untuk bekerja hingga ke luar negeri.
Tidak dimungkiri bahwa salah satu penyebab TPPO adalah kemiskinan yang mendera. Sudah selayaknya negara berupaya untuk menyelesaikan kemiskinan ini. Dusta kapitalis sekuler menjebak sedemikian sempurna.
Dusta ini tidak hanya menghasilkan kesenjangan sosial kronis tetapi juga menciptakan sistem ekonomi rimba yang menghalalkan segala cara. Rakyat kecil yang harus berjibaku memenuhi kebutuhannya, menjadi korban dari para pebisnis culas yang memanfaatkan kemiskinan mereka.
Islam dengan konsep-konsep ekonominya yang menyertakan spirit keimanan, melibatkan penguasa yang bertanggung jawab, personal rakyat yang bertakwa, serta kontrol masyarakat yang menjamin penyelesaian kasus TPPO.
Dalam sistem Islam peran negara sangat besar dalam memastikan terpenuhinya kebutuhan rakyat, orang per orang. Islam mendudukkan negara sebagai pengurus (raa’in) yang wajib mengurus rakyat termasuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan mewujudkan kesejahteraan. Rasulullah saw. bersabda,
“Imam (kepala negara) adalah pengurus rakyat. Dia akan diminta pertanggungjawaban tentang rakyatnya.” (HR Bukhari dan Muslim).
Para ulama mengartikan makna ar-râ’i adalah al-hâfizh al-mu’taman (penjaga, pemelihara, wali, pelindung, pengawal, pengurus, pengasuh yang diberi amanah). Artinya, selain memastikan terpenuhinya kebutuhan mereka, penguasa juga adalah pelindung rakyat.
Dalam sistem Islam untuk mencegah munculnya kasus TPPO negara tidak hanya berperan dalam memenuhi kebutuhan rakyat, tetapi juga harus memberikan perlindungan kepada rakyatnya. Ini karena penguasa/pemimpin wajib mewujudkan kemaslahatan tiap orang yang berada di bawah kepemimpinannya.
Islam menetapkan sumber pemasukan negara berbasis baitulmal dari sumber-sumber yang beragam dan banyak yang cukup untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat individu per individu.
Al-‘Alamah Syekh Abdul Qadim Zallum dalam kitab Al-Amwâl fî Dawlah al-Khilâfah menjelaskan bahwa sumber-sumber utama penerimaan negara di baitulmal seluruhnya terstandarisasi oleh syariat Islam. Setidaknya terdapat tiga sumber utama pendapatan negara. Pertama, sektor kepemilikan individu, seperti sedekah, hibah, zakat, dan lainnya. Khusus zakat tidak boleh bercampur dengan harta yang lain. Kedua, sektor kepemilikan umum yakni tambang, minyak bumi, gas alam, ekosistem hutan dan sejenisnya. Ketiga, sektor kepemilikan negara seperti jizyah, kharaj, fai, usyur, dan lainnya.
Sumber-sumber pemasukan dalam negara Islam (Khilafah) akan mampu membuka lapangan kerja dan merekrut banyak tenaga kerja. Ini sekaligus mekanisme negara untuk menciptakan lingkungan kondusif agar para laki-laki dewasa pencari nafkah dapat memenuhi kebutuhan orang/keluarga tanggungannya.
Negara pun berperan dalam menjamin individu rakyat dan masyarakat menjalankan transaksi ekonomi, baik melalui bisnis jasa maupun barang dalam batas-batas yang sesuai syariat. Untuk itu, negara menyelenggarakan sistem pendidikan Islam yang bertujuan untuk membentuk kepribadian Islam rakyatnya.
Dalam Islam, sistem pendidikan Islam yang berasas akidah Islam akan mencetak individu yang berkepribadian Islam, yang senantiasa membingkai diri mereka dengan pola pikir dan pola sikap yang islami. Ketakwaan yang mereka miliki akan menghindarkan mereka dari berbagai kemaksiatan dan perbuatan yang melanggar syariat, termasuk bisnis perdagangan orang yang jelas mengancam nyawa manusia.
Dalam Islam, kasus TPPO sulit ditemukan karena penerapan syariat Islam senantiasa bertujuan untuk merealisasikan tujuan-tujuan syariat (maqashid asy-syariah), yakni menjaga agama (hifzh ad-din), menjaga nyawa (hifzh an-nafsi), menjaga akal (hifzh al-aql), menjaga keturunan (hifzh an-nasl), dan menjaga harta (hifzh al-mal).
Untuk memastikan terjaminnya pelaksanaan syariat, negara hadir untuk menerapkan sistem sanksi tegas bagi siapapun yang melanggar. Negara akan merujuk pada tiap kasus dan diselesaikan sesuai dengan pandangan syariat dan menjatuhkan sanksi sesuai petunjuk syariat. Solusi yang melibatkan berbagai level kehidupan bermasyarakat dan bernegara ini akan memutus mata rantai tindak TPPO secara sistemis dan komprehensif. Dan itu hanya bisa terjadi jika dan hanya jika sistem Islam paripurna terealisasi.
Wallaahu a'laam bisshawaab.
Posting Komentar