-->

Kapitalisme Mencetak Pengusaha yang Curang : Kasus Pertamax Oplosan dan Minyakita Tidak Sesuai Takaran

Oleh : Henise

Di tengah berbagai masalah ekonomi yang melanda Indonesia, publik kembali dikejutkan dengan maraknya praktik kecurangan dalam dunia bisnis. Kasus terbaru yang mencuat adalah peredaran Pertamax oplosan dan Minyakita yang tidak sesuai takaran. Dua kasus ini bukan hanya mencerminkan lemahnya pengawasan, tetapi juga menunjukkan bagaimana kapitalisme menciptakan mentalitas pengusaha yang curang demi mengejar keuntungan.

Dalam sistem kapitalisme, bisnis berorientasi pada profit maksimal. Pengusaha yang ingin bertahan dalam persaingan sering kali menghalalkan segala cara, termasuk praktik kecurangan yang merugikan konsumen. Alih-alih memberikan pelayanan terbaik dan produk berkualitas, mereka lebih memilih jalan pintas dengan manipulasi dan eksploitasi.

Pertamax Oplosan: Keuntungan di Atas Keselamatan Publik

Kasus Pertamax oplosan mencuat setelah ditemukan praktik mencampur bahan bakar dengan zat lain untuk menekan biaya produksi dan meningkatkan keuntungan. Bahan bakar yang seharusnya memiliki standar kualitas tertentu justru dimodifikasi dengan bahan murah, sehingga merusak performa kendaraan dan berpotensi membahayakan keselamatan pengguna jalan. Praktik ini menunjukkan bagaimana sebagian pengusaha dalam sistem kapitalis lebih mementingkan keuntungan daripada keselamatan publik. Mereka rela menjual bahan bakar berkualitas rendah dengan harga premium, tanpa peduli dampaknya terhadap masyarakat.

Yang lebih ironis, kasus semacam ini bukan pertama kali terjadi. Sebelumnya, berbagai laporan mengenai bahan bakar oplosan juga pernah mencuat, tetapi selalu berulang karena lemahnya pengawasan dan hukuman yang tidak memberikan efek jera.

Minyakita Tidak Sesuai Takaran: Merugikan Konsumen Kecil

Kasus lain yang tak kalah mencengangkan adalah Minyakita yang tidak sesuai takaran. Minyak goreng yang seharusnya menjadi solusi bagi masyarakat kecil agar bisa mendapatkan harga yang lebih terjangkau ternyata juga menjadi ajang kecurangan.

Sejumlah laporan menemukan bahwa kemasan Minyakita sering kali tidak berisi penuh sesuai dengan berat yang tertera di label. Konsumen yang membeli 1 liter minyak goreng, misalnya, ternyata hanya mendapatkan sekitar 800-900 ml. Dengan kata lain, ada pengurangan takaran yang secara sistematis dilakukan demi meraih keuntungan lebih besar.

Kasus ini menjadi bukti bagaimana kapitalisme melahirkan pengusaha yang mencari celah untuk menipu konsumen. Jika dihitung secara akumulatif, pengurangan takaran dalam jumlah besar bisa menghasilkan keuntungan ekstra miliaran rupiah bagi perusahaan, sementara masyarakat kecil menjadi pihak yang paling dirugikan.

Kapitalisme dan Mentalitas Curang dalam Bisnis

Dua kasus ini bukan sekadar kelalaian individu, tetapi merupakan bukti nyata bahwa sistem kapitalisme menciptakan lingkungan yang mendorong kecurangan dalam bisnis. Dalam sistem ini, perusahaan berlomba-lomba mencari keuntungan tanpa batas.

1. Prinsip Persaingan Bebas Tanpa Moralitas
Kapitalisme mendorong persaingan bisnis yang kejam. Pengusaha yang tidak memiliki modal besar dipaksa mencari cara untuk bertahan, termasuk dengan cara-cara curang seperti mengurangi kualitas produk, menekan biaya produksi dengan bahan baku murah, atau bahkan memanipulasi takaran seperti dalam kasus Minyakita.

2. Lemahnya Pengawasan dan Hukuman yang Tidak Efektif
Regulasi dalam sistem kapitalisme sering kali lebih berpihak pada pemilik modal. Meskipun ada lembaga pengawas, praktik suap dan lobi politik sering membuat kasus kecurangan tidak ditindak dengan serius. Hukuman yang ringan juga membuat para pengusaha curang tidak jera dan terus mengulang modus yang sama.

3. Keuntungan di Atas Kesejahteraan Masyarakat
Kapitalisme menciptakan paradigma bahwa keuntungan adalah segalanya. Kejujuran, integritas, dan kesejahteraan masyarakat bukan prioritas utama. Pengusaha yang berorientasi pada kapital cenderung lebih peduli dengan laporan keuangan mereka daripada dampak sosial yang mereka timbulkan.

4. Islam dan Konsep Bisnis yang Berkah
Berbeda dengan kapitalisme, Islam memiliki prinsip yang sangat jelas dalam bisnis. Islam menekankan bahwa bisnis bukan hanya soal mencari keuntungan, tetapi juga bagian dari ibadah yang harus dilakukan dengan jujur dan penuh tanggung jawab.

5. Larangan Penipuan dan Manipulasi
Dalam Islam, menipu dalam jual beli adalah dosa besar. Rasulullah ﷺ bersabda: "Barang siapa menipu, maka ia bukan bagian dari golonganku." (HR. Muslim) Pengurangan takaran seperti dalam kasus Minyakita, atau pencampuran bahan bakar dalam kasus Pertamax oplosan, adalah bentuk kecurangan yang sangat dilarang dalam Islam.

6. Keuntungan yang Halal dan Berkah
Islam tidak melarang mencari keuntungan, tetapi keuntungan harus diperoleh dengan cara yang halal dan tidak merugikan orang lain. Bisnis yang berlandaskan Islam tidak hanya mengejar profit, tetapi juga keberkahan yang didapat dari kejujuran dan keadilan.

7. Pengawasan yang Ketat oleh Negara Islam
Dalam sistem Islam, negara memiliki tanggung jawab penuh untuk mengawasi perdagangan dan memastikan tidak ada kecurangan yang terjadi. Khalifah Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu pernah menugaskan pasar dengan pengawas yang akan langsung menindak pedagang yang berbuat curang. Berbeda dengan sistem kapitalis yang sering memihak pemodal besar, Islam menerapkan hukum yang tegas bagi pelaku bisnis curang. Hukuman tidak hanya berupa denda, tetapi juga bisa mencakup sanksi sosial dan pemboikotan usaha mereka.

Saatnya Meninggalkan Kapitalisme dan Kembali ke Islam

Kasus Pertamax oplosan dan Minyakita yang tidak sesuai takaran hanyalah dua contoh dari banyaknya kecurangan bisnis dalam sistem kapitalisme. Selama sistem ini masih diterapkan, praktik curang akan terus terjadi karena sistem ini memang tidak berbasis moralitas dan keadilan.
Islam memberikan solusi yang jelas dalam bisnis: kejujuran, keberkahan, dan pengawasan yang ketat. Jika masyarakat ingin terbebas dari pengusaha curang, maka satu-satunya cara adalah meninggalkan sistem kapitalisme dan kembali kepada sistem Islam yang menjamin keadilan bagi semua pihak.

Sudah saatnya umat sadar bahwa kapitalisme bukan solusi, melainkan akar masalah. Jika kita ingin melihat dunia bisnis yang jujur dan berkah, maka kuncinya adalah menerapkan aturan Islam dalam seluruh aspek kehidupan, termasuk dalam ekonomi dan perdagangan.

Wallahu a'lam