Kebijakan Pajak Membebani Rakyat
Oleh : Aktif Suhartini, S.Pd.I., Anggota Komunitas Muslimah Menulis (KMM) Depok
Setelah kasus mega korupsi tata niaga di PT Timah Tbk yang diungkap Kejaksaan Agung dengan nilai kerugian negara fantastis Rp 217 triliun, dan pelaku korupsi dikenakan hukuman yang sangat ringan dibandingkan kerugian yang telah dilakukannya, kini muncul kasus baru. Kasus baru tersebut adalah pengemplangan pajak yang membuat negara kehilangan potensi penerimaan hingga Rp300 triliun. Kasus ini adalah akumulasi pajak pengusaha yang tidak dibayarkan selama bertahun-tahun dan baru menjadi perhatian saat ini.
Dan di pemerintahan yang baru ini, Presiden Prabowo akan menambal kekurangan anggaran belanja negara pada 2025 dengan mengejar penerimaan negara yang bocor akibat pengemplang pajak. Pasalnya, menurut Anggota Dewan Pakar Tim Kampanye Nasional (TKN) Prabowo-Gibran Dradjad Wibowo, anggaran untuk belanja negara tahun depan membutuhkan sekitar Rp3.900 triliun. Itu artinya, terdapat kekurangan sekitar Rp 300 triliun dari alokasi belanja pada APBN 2025 yang sebesar Rp 3.621,3 triliun (cnbcIndonesia, com, 26/9/2025).
Penerimaan negara yang bocor akibat pengemplang pajak dengan nilai kebocoran pajak melebihi Rp300 triliun. Para pengemplang pajak sudah dinyatakan kalah oleh Mahkamah Agung tapi mereka tak kunjung menyetorkan kewajiban pajaknya sesuai putusan. Wajib pajak sudah kalah, tapi mereka tidak bayar jumlahnya sangat besar, pemerintah katanya akan mengejar potensi penerimaan pajak yang masih bisa dikumpukan. Padahal, mereka itu sudah diberikan keringanan dalam membayar pajak, seperti kebijakan tax holiday, tax amnesty dan lain-lain.
Namun, hal ini berbeda dengan kebijakan pajak kepada rakyat kecil, rakyat dibebani dengan berbagai macam pajak, dan terus mengalami kenaikan. Rakyat dijejali slogan orang bijak taat bayar pajak. Rakyat harus bijaksana membantu pemerintah dengan taat membayar pajak tanpa mendapatkan konpensasi maksimal dari pembayara pajak yang telah dilakukannya. Sementara pengusaha yang mengemplang dan tidak taat membayar pajak terus diberikan keringanan-keringanan pembayaran pajak. Sungguh ironis rakyat bertambah miskin untuk terus dibebani pajak sementara pengusaha kaya leluasa mengemplang pajak.
Penerapan kebijakan pajak yang berbeda antara pengusaha yang memiliki perusahaan dan individu, terlepas dari pandangan atas hukum pajak, terlihat jelas sangat sewenang-wenang dan menzalimi rakyat. Apalagi ketika hal ini berdampak pada penundaan pembangunan yang dibutuhkan rakyat, maka rakyat justru makin sengsara hidupnya. Ke mana kah hasil pajak rakyat yang telah disetorkan kepada negara?
Itulah yang terjadi di negara yang menerapkan sistem kapitalis sekuler. Pajak dijadikan sumber utama pendapatan untuk mengelola negara dan ini lebih dibebankan kepada rakyat kecil sementara para pengusaha bisa leluasa ketika mengemplang pajak. Sehingga beban rakyat dari pembayaran pajak semakin hari semakin berat ditambah beban hidup pun semakin sulit.
Sungguh sangat berbeda dalam sistem pemerintahan Islam. Pembangunan dalam Islam dibiayai dengan pemasukan negara dari berbagai sumber sebagaimana ditetapkan dalam sistem ekonomi Islam. Terutama pengelolaan Sumber Daya Alam yang lebih dioptimalkan untuk kesejahteraan rakyat. Sementara dalam Islam, sebenarnya Namanya bukan pajak, tapi pungutan (dharibah). Dharibah hanya dipungut dalam kondisi khusus atau insidental saja, semisal ketika ada kebutuhan pokok umat yang sangat mendesak, sementara baitul maal tidak mencukupi dan pengambilannya hanya pada orang Muslim yang kaya saja. Tidak seperti saat ini semua rakyat harus menanggung beban pungutan pajak. Bahkan bayi yang baru lahir pun sudah terkena pajak. Astaqfirullah. Masihkah sistem ini masih akan dipertahankan.[]
Posting Komentar