-->

Kelas Menengah Makin Menyusut, PayLater Jadi Solusi Pintas?


Oleh : Dinda Bunga

Memasuki kuartal pertama tahun 2025, Indonesia menghadapi tantangan ekonomi yang kian pelik. Salah satu sorotan utama adalah menyusutnya populasi kelas menengah. Berdasarkan laporan Bank Dunia, proporsi kelas menengah Indonesia turun dari 21,5% pada tahun 2019 menjadi hanya 17,1% pada awal 2024. Artinya, sekitar 9,5 juta orang mengalami penurunan kelas sosial—sebuah angka yang mencerminkan tekanan ekonomi yang signifikan.

Penyebab utama fenomena ini adalah stagnasi pendapatan, inflasi yang terus meningkat, serta biaya hidup yang makin membebani, terutama dalam sektor pendidikan, perumahan, dan kesehatan. Ketika kelas menengah yang seharusnya menjadi penggerak utama konsumsi nasional mulai tertekan, muncul pola baru dalam perilaku keuangan masyarakat: memanfaatkan layanan PayLater.

Menurut data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), total outstanding pembiayaan PayLater per Februari 2025 mencapai Rp21,98 triliun—naik 36,6% dibandingkan tahun sebelumnya. Lonjakan ini menunjukkan bahwa masyarakat makin bergantung pada utang konsumtif untuk mempertahankan gaya hidup atau sekadar memenuhi kebutuhan harian.

Fenomena ini tentu bukan tanpa risiko. Ketergantungan pada PayLater yang tidak diimbangi dengan peningkatan pendapatan dan literasi keuangan tentunya akan menjebak masyarakat dalam siklus utang. Dampaknya bisa menggerus kestabilan keuangan rumah tangga dan memicu masalah sosial, seperti stres ekonomi, penurunan kualitas hidup, hingga meningkatnya angka kredit macet.

Krisis ini bukan sekadar permasalahan konsumsi individu, melainkan mencerminkan kerusakan sistemik dalam sistem ekonomi kapitalis yang menitikberatkan pada pertumbuhan dan konsumsi tanpa perlindungan menyeluruh terhadap rakyat. Sistem ini cenderung membuka celah bagi ketimpangan ekonomi dan memicu krisis utang, baik di tingkat individu maupun negara.

Jika kita melihat dari sudut pandang sistem ekonomi Islam, pemenuhan kebutuhan pokok seperti pangan, sandang, dan papan sudah seharusnya dijamin oleh negara (Daulah Islamiyah). Sistem Islam tidak membiarkan individu memenuhi kebutuhannya melalui utang berbunga atau sistem ribawi seperti PayLater. Sebaliknya, negara bertindak aktif dalam distribusi kekayaan melalui mekanisme zakat, sedekah, dan pengelolaan kepemilikan umum (seperti tambang dan hutan) untuk kemaslahatan umat.

Lebih dari itu, Islam menolak sistem moneter berbasis bunga dan mengharamkan eksploitasi dalam transaksi ekonomi. Negara dalam Islam berfungsi sebagai penjamin kehidupan rakyatnya, bukan sekadar regulator. Di bawah naungan kepemimpinan tunggal—khilafah atau Daulah Islamiyah—seluruh kebijakan ekonomi berlandaskan pada syariat yang ditujukan untuk mewujudkan keadilan sosial dan kesejahteraan hakiki.

Dengan melihat kondisi hari ini, sudah seharusnya kita mempertanyakan kembali sistem yang kita anut. Apakah sistem kapitalis yang memunculkan ketimpangan dan ketergantungan utang ini patut dipertahankan? Ataukah sudah saatnya kita kembali kepada sistem yang berasal dari Zat Yang Maha Mengetahui segala kebutuhan manusia—yakni sistem Islam?