-->

Ketika Rakyat Dihimpit Ekonomi dan Dijebak Konsumerisme Ribawi


Oleh : Novi Ummu Mafa

Fenomena menurunnya daya beli masyarakat di berbagai daerah, termasuk di ibu kota Dki Jakarta bukanlah sekadar dampak ekonomi semata, melainkan potret nyata dari kegagalan sistemik yang mengakibatkan semakin maraknya pemutusan hubungan kerja (PHK), melonjaknya harga kebutuhan pokok, serta tekanan dari lesunya ekonomi global. Dalam himpitan ekonomi yang semakin menyesakkan, masyarakat terpaksa memutar otak demi bertahan hidup. Pilihan tragis pun terpaksa diambil yakni berhutang. Zaman sekarang prosesnya dipermudah melalui mekanisme “modern” seperti paylater (pembayaran tunda) yang kini menjamur seiring mudahnya belanja daring.

Per Februari 2025, total utang masyarakat Indonesia melalui layanan Buy Now Pay Later (BNPL) atau PayLater di sektor perbankan telah dicatat oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencapai Rp 21,98 triliun, angka yang meskipun mengalami penurunan dibandingkan posisi Januari 2025 sebesar Rp 22,57 triliun, namun secara tahunan menunjukkan peningkatan yang signifikan sebesar 36,60 persen. (liputan6.com, 11-04-2025).

Paylater dipromosikan seolah solusi kemudahan, padahal sejatinya adalah jerat kapitalis yang memperluas dominasi ribawi di tengah masyarakat Muslim. Budaya konsumtif pun makin menguat karena sistem kapitalisme memang menjadikan konsumerisme sebagai ruh perputaran ekonominya. Bahagia diukur dari seberapa banyak barang yang dimiliki, bukan dari ketenangan jiwa atau keberkahan hidup.

Sistem kapitalisme sekuler menanamkan standar kehidupan yang sangat dangkal, menumbuhkan mentalitas ingin cepat puas secara materi tanpa mempertimbangkan akibat jangka panjang, baik di dunia maupun di akhirat. Ironisnya, banyak dari skema paylater saat ini berbasis riba yang jelas-jelas diharamkan dalam Islam. Maka bukan saja beban ekonomi yang bertambah, tetapi dosa pun menumpuk. Sistem ini dengan fasih menyesatkan rakyat secara ekonomi dan spiritual, menjauhkan umat dari keberkahan dan mempercepat kehancuran masyarakat.

Wajah Nyata Sistem Demokrasi Kapitalis

Demokrasi sekuler liberal menjanjikan kebebasan dan kemakmuran, tetapi yang dihasilkan justru ketimpangan dan penderitaan. Dalam sistem ini, negara hadir bukan untuk melindungi rakyat, melainkan memfasilitasi korporasi. Negara menjadi regulator bagi kepentingan pasar, bukan penjaga maslahat umat. Ketika rakyat kesulitan membeli bahan pokok, para elite justru berbahagia dengan geliat kapital yang mengalir deras dari pinjaman ribawi. Sistem ini dengan sadar membiarkan rakyat jatuh ke dalam lubang utang, karena utang adalah mesin pertumbuhan kapitalisme.

Tak heran jika instrumen ribawi seperti paylater, pinjaman online, dan kartu kredit begitu didukung dan dibiarkan tumbuh subur. Padahal, dalam perspektif syariat Islam, praktik ribawi adalah bentuk kezaliman yang nyata dan haram hukumnya. Namun, dalam demokrasi sekuler, yang halal dan haram digantikan dengan asas manfaat. Inilah wajah sistem yang tidak memiliki standar moral Ilahiyah, hanya standar ekonomi pragmatis yang menuhankan pertumbuhan dan konsumsi.

Solusi Islam: Menutup Celah Budaya Konsumerisme dan Menjamin Kesejahteraan Hakiki

Sistem Islam hadir bukan sekadar sebagai alternatif, tetapi sebagai solusi mendasar yang mampu menutup celah budaya konsumerisme hingga ke akarnya. Dalam pandangan Islam, kehidupan bukan sekadar akumulasi materi. Setiap individu dibina dengan kesadaran ruhiyah yang tinggi, karena mereka meyakini adanya pertanggungjawaban di hadapan Allah SWT. Takwa menjadi pilar utama dalam membentuk masyarakat. Dengan ketakwaan yang kokoh, standar kebahagiaan bergeser bukan lagi diukur dari banyaknya harta atau kemewahan duniawi, melainkan dari seberapa besar rida Allah yang berhasil diraih.

Penerapan Islam secara kaffah (menyeluruh) melalui institusi Khilafah adalah jaminan hakiki bagi terwujudnya kesejahteraan umat, bukan sekadar ilusi sejahtera ala sistem kapitalisme. Sistem ekonomi Islam memiliki mekanisme khas yang berpihak kepada manusia sebagai individu, bukan sebagai angka statistik. Kesejahteraan tidak dipusatkan pada pertumbuhan ekonomi semu, tapi pada pemenuhan kebutuhan pokok setiap warga negara secara nyata dan merata.

Lebih dari itu, negara Khilafah akan menghapus seluruh praktik ribawi yang menjadi biang kerok ketimpangan ekonomi dan penderitaan rakyat. Negara akan menjaga rakyatnya dari segala bentuk keharaman, karena fungsinya bukan hanya sebagai regulator, tetapi sebagai penjaga agama dan kehidupan umat. Maka tak akan ada ruang bagi kapitalisme yang rakus dan menindas, karena sistem Islam berdiri atas asas keadilan ilahiah yang tidak tunduk pada kepentingan elite pemodal.

Dalam sebuah hadis diriwayatkan "Tidaklah riba dan zina tampak secara terang-terangan pada suatu kaum, melainkan mereka telah menghalalkan (membuka) pintu azab Allah atas diri mereka."
HR. Al-Tabarani dalam al-Mu'jam al-Kabir, dengan sanad hasan.
Hadis ini memberikan peringatan keras, jika masyarakat dan negara membiarkan praktik riba merajalela, maka sejatinya mereka sedang mengundang kehancuran. Riba bukan hanya kezaliman ekonomi, tetapi juga bentuk perlawanan terhadap hukum Allah. Dan ketika hukum Allah ditentang, maka kehancuran sosial, ekonomi, bahkan bencana alam dan konflik, menjadi bentuk azab yang nyata.

Inilah mengapa sistem Islam dengan Khilafah sebagai pelaksananya tidak memberi ruang sedikit pun bagi riba. Negara wajib menghapuskan sistem ribawi dari akar-akarnya dan menggantikannya dengan sistem muamalah yang halal, adil, dan memberkahi seluruh aspek kehidupan.

Dengan sistem Islam, budaya konsumtif yang lahir dari kerakusan kapitalisme akan terkikis. Sebaliknya, akan tumbuh budaya produktif, derma, dan kesadaran bahwa hidup adalah ladang amal menuju akhirat. Inilah peradaban Islam yang mulia, peradaban yang membebaskan manusia dari perbudakan harta dan mengantarkannya pada kehidupan yang penuh makna dalam naungan syariat-Nya.