-->

Lebaran dalam Duka, Gaza Berdarah dan Umat Islam yang Terpuruk


Oleh : dr. Alik Munfaidah, Aktivis Muslimah

Idulfitri 1446 H, yang jatuh pada 30 Maret 2025, harusnya jadi hari kemenangan bagi umat Islam di seluruh dunia. Namun, bagi saudara kita di Gaza, Palestina, menjadi saksi bisu atas kelanjutan agresi brutal Zionis Yahudi yang tak kenal ampun. Di tengah puing-puing reruntuhan, kelaparan, dan pengepungan, warga Gaza melaksanakan shalat Id dengan darah dan air mata, sementara dunia Islam tampak lemah dan terpecah belah menghadapi kezaliman ini.

Sejak berakhirnya gencatan senjata tahap pertama pada 1 Maret 2025, entitas Zionis Yahudi kembali melancarkan serangan tanpa henti ke Jalur Gaza. Menurut Kementerian Kesehatan Gaza, per 6 April 2025, sedikitnya 50.669 warga Palestina tewas dan 115.225 lainnya terluka sejak 7 Oktober 2023 (Tempo.co, 5/4/2025). Kantor Media Pemerintah Gaza bahkan memperbarui angka korban tewas menjadi lebih dari 61.700, dengan ribuan orang hilang di bawah reruntuhan diduga telah meninggal (Katakini.com, 4/5/2025).

Dalam 24 jam terakhir saja, laporan Al Jazeera mencatat 46 orang tewas, termasuk 19 orang di Khan Younis beberapa hari lalu, dengan seorang jurnalis Palestina termasuk di antara korban. Sejak pelanggaran gencatan senjata pada 18 Maret, setidaknya 1.309 orang tewas dan 3.184 luka-luka, menambah daftar panjang korban genosida ini. 

Serangan terbaru sejak 18 Maret 2025, setelah Zionis secara sepihak membatalkan perjanjian gencatan senjata dengan dalih Hamas melanggar kesepakatan. Rumah-rumah, tenda darurat, dan bahkan kendaraan tenaga medis menjadi sasaran. Pada bulan Maret, di rekaman yang beredar menunjukkan tentara Israel menembaki 15 tenaga medis yang mengenakan rompi reflektif di dalam kendaraan bertanda jelas, memicu kemarahan publik dan seruan investigasi kejahatan perang. 

Menurut Juru bicara Pertahanan Sipil Gaza, Mahmoud Al Bassal, jika Israel tidak dimintai pertanggungjawaban, situasi akan lebih buruk. Paramedis dan kru bantuan akan terus jadi sasaran, mengancam kelangsungan hidup masyarakat. Di Khan Younis, Pertahanan Sipil melaporkan warga masih terjebak di bawah reruntuhan, dengan jumlah korban diperkirakan terus bertambah. 

Pada 2 April 2025, Menteri Perang Yahudi, Yisrael Katz, mengumumkan perluasan besar-besaran operasi militer di Gaza, untuk menguasai wilayah-wilayah luas yang akan digabungkan ke dalam zona keamanan Israel (news.detik.com, 2/4/2025). Entitas Zionis telah menciptakan zona penyangga, termasuk Jalur Netzarim, memperluas wilayah yang dikuasai sebelum agresi 7 Oktober 2023. Sebanyak 20% wilayah Gaza telah dipaksa dikosongkan, mendukung rencana genosida dan pengusiran bertahap (mediaindonesia.com, 20/3/2025).

Blokade ketat yang diperketat sejak awal Maret memutus pasokan makanan, minuman, obat-obatan, dan bahan bakar. Hind Khoudary dari Al Jazeera melaporkan dari Deir el-Balah, “Selama sebulan terakhir, tidak ada truk bantuan yang masuk ke Gaza. Situasinya mencekik—warga mengantre untuk satu galon air bersih atau makanan hangat dari dapur umum yang akan kehabisan stok dalam beberapa hari.” Entitas Zionis juga menutup penggilingan dan oven roti setelah tepung habis, memperparah ancaman kelaparan bagi 2,4 juta warga tersisa. Organisasi Pangan Dunia PBB (WFP) memperingatkan stok makanan akan habis dalam 10 hari, sementara rumah sakit penuh sesak dan kekurangan pasokan medis. 

Peran AS Mendukung Genosida di Gaza
AS berperan penting memperpanjang penderitaan Gaza. Dukungan tanpa syarat AS kepada Israel terlihat jelas dalam rencana Presiden Trump yang pada Februari 2025, akan mengambil alih Gaza, membersihkannya secara etnis dari warga Palestina, dan mengubah menjadi ‘riviera’ Timur Tengah—sebuah visi yang disebut Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu ‘layak diperhatikan’ untuk ‘mengubah sejarah’.

Pernyataan itu, dikecam sebagai pengakuan resmi kebijakan genosida, didukung kunjungan Netanyahu ke Washington pada Senin mendatang untuk bertemu Trump. Bahasan dalam kunjungan tersebut mencakup ancaman Iran, hubungan Israel-Turki, dan strategi melawan perintah penangkapan Mahkamah Pidana Internasional atas tuduhan kejahatan perang terhadap Netanyahu. 

AS tidak hanya memberikan restu politik; pasokan senjata dan dukungan militer pun memungkinkan Israel melanjutkan agresi. Sebagaimana yang dikatakan Analis politik Omar Baddar kepada Al Jazeera, “Menurut Trump, kebijakan AS adalah penghancuran masyarakat Palestina dan penguasaan wilayahnya tanpa batas waktu.” Dukungan tersebut kontras dengan sikap diamnya rezim-rezim Muslim, terutama yang berbatasan dengan Gaza, yang memilih normalisasi dengan Israel ketimbang melawan. Sementara itu, serangan Israel yang menewaskan tenaga medis dan jurnalis memperlihatkan impunitas yang diberikan AS, memperburuk krisis kemanusiaan di Gaza. 

Lemahnya Dunia Islam
Tidak hanya Gaza, umat Islam di Tepi Barat juga menderita. Pada Kamis (3/4/2025), tiga warga Palestina terluka dalam serangan Israel di Wadi Abu Hummus, timur Betlehem, dengan seorang remaja 17 tahun tertembak di paha. Di Hebron, pasukan Zionis menyerbu rumah-rumah, menangkap tiga orang, dan menutup Masjid Ibrahimi untuk salat Idulfitri. Inggris pun melaporkan dua anggota parlemennya ditahan dan dideportasi Israel saat kunjungan delegasi, menambah kecaman internasional. Namun, suara pembelaan untuk Palestina kian meredup. 

Hamas menyerukan negara-negara Arab dan umat Islam untuk meningkatkan tekanan, tapi respons nyata nyaris tak ada. Negara-negara mediator seperti Mesir dan Qatar terbelenggu kepentingan pragmatis sebagai sekutu AS, sementara penguasa negeri Muslim lainnya diam atau melanjutkan normalisasi dengan Zionis, mengkhianati Allah, Rasul-Nya, dan kaum Mukmin. Tanggung jawab kini ada di pundak umat Islam untuk memaksa militer mereka bergerak mendukung Gaza dan Tepi Barat, membebaskan Palestina. Tanpa tindakan, mereka tidak akan bebas dari dosa. 

Ketiadaan Khilafahlah akar masalahnya, yang runtuh pada 1924 akibat konspirasi Barat. Tanpa institusi pemersatu, umat Islam terpecah dalam nasionalisme sekuler, menjadi bulan-bulanan musuh meski berjumlah lebih dari dua miliar jiwa. 

Hilangnya Kemenangan Hakiki
Idulfitri harusnya menjadi simbol ketakwaan totalitas kepada Allah, tapi realitas umat jauh dari itu. Di Gaza, kemenangan direnggut bom dan kelaparan. Di Indonesia, lebaran 2025 ‘gelap’ bagi jutaan rakyat yang tak bisa mudik—jumlahnya turun dari 193,6 juta pada 2024 menjadi 47,12 juta—akibat ekonomi sulit dan maraknya pinjol. Potensi zakat Rp507 triliun per tahun yang disebut Menteri Agama Nasaruddin Umar tak dioptimalkan karena sistem sekuler mengabaikan syariat Islam. Kemenangan sejati mensyaratkan penerapan Islam secara kafah, yang hanya mungkin dengan Khilafah untuk menyatukan umat dan melawan penjajah. 

Jalan ke Depan, Dakwah dan Perjuangan
Ketabahan warga Gaza yang shalat di tengah bombardir adalah pelajaran dari madrasah Ramadhan, tapi ketahanan individu tak cukup melawan kekuatan global Zionis dan AS. Umat harus bergerak kolektif melalui dakwah ideologis ala Rasulullah SAW: membangun kesadaran, menanamkan akidah, dan mendirikan Khilafah Rasyidah kedua yang dijanjikan Allah. “Mereka ingin memadamkan cahaya Allah, tetapi Allah menyempurnakan cahaya-Nya,” (QS ash-Shaff: 8). 

Khilafah adalah solusi tuntas, untuk membebaskan Palestina dan mengembalikan kemuliaan umat. Tanpa itu, Idulfitri hanyalah seremonial kosong di tengah darah Gaza dan kehinaan dunia Islam. []