MEMPRIHATINKAN MELEMAHNYA DAYA BELI RAKYAT
Oleh : Irawati Tri Kurnia
(Ibu Peduli Umat)
Memprihatinkan. Terjadi pelemahan daya beli masyarakat. Ini menjadi fenomena yang meluas di berbagai daerah di Indonesia pasca Hari Raya Idul Fitri 1446 Hijriah.
Fatkur Huda selaku Pakar Ekonomi Universitas Muhammadiyah Surabaya (UM Surabaya) mengatakan Indeks Harga Konsumen (IHK) atau inflasi Februari 2025 yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan Indonesia mengalami deflasi selama dua bulan berturut-turut. Tingkat deflasi bulanan sebesar -0,48% dan deflasi tahunan (year-on-year) sebesar -0,09%. Komoditas yang paling banyak berkontribusi pada deflasi antara lain tarif listrik, beras, daging ayam ras, bawang merah, tomat, dan cabai merah. BPS mencatat jika kondisi ini merupakan deflasi tahunan pertama dalam 25 tahun terakhir.
Fatkur merujuk data dari Mandiri Spending Index (MSI) yang menunjukkan penurunan signifikan pada sektor belanja non-esensial, dengan porsi belanja hiburan, olahraga, dan rekreasi turun dari 7,7% menjadi 6,5%, sementara belanja supermarket meningkat ke 15,9%, mengindikasikan peralihan ke kebutuhan dasar. Fenomena ini kemudian dikenal sebagai precautionary saving."Fenomena ini dikenal sebagai precautionary saving, di mana masyarakat lebih memilih menyimpan uang sebagai bentuk antisipasi ketidakpastian ekonomi di masa depan yang kemudian berdampak pada pola konsumsi," jelasnya.
Precautionary saving ini didorong dari tingginya angka Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Berdasarkan data dari Kementerian Tenaga Kerja (Kemenaker) mencatat jika sepanjang tahun 2024, sebanyak 77.965 tenaga kerja kehilangan pekerjaan, dengan tambahan 3.325 orang terdampak PHK pada Januari 2025. Bahkan, PHK massal di PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex) per 1 Maret 2025 menyebabkan lebih dari 10.000 karyawan kehilangan sumber pendapatan mereka (www.detik.com, Selasa 25 Maret 2025) (1).
Beberapa pakar lainnya juga mengomentari tentang hal ini. Guru Besar Ilmu Manajemen Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS), Anton Agus Setyawan, menyatakan bahwa PHK masal pada awal 2025 di mana hampir 14.000 pekerja formal kehilangan pekerjaan sehingga berdampak melemahnya daya beli terhadap sektor manufaktur, karena meningkatnya angka pengangguran.
Sedangkan menurut Yudistira Hendra Permana, Ekonom Departemen Ekonomika dan Bisnis Sekolah Vokasi Universitas Gadjah Mada (UGM), memperkirakan sepanjang 2025 akan terjadi pelemahan daya beli masyarakat akibat krisis global yang belum sepenuhnya pulih semenjak pandemi COVID-19. Berbeda pendapat, Kepala Ekonom PermataBank, Josua Pardede, katakan daya beli masyarakat sejak awal 2025 masih cukup terjaga, meski menghadapi tekanan tertentu yang tercermin dari penerimaan pajak yang melemah (www.tempo.co, Selasa 25 Maret 2025) (2).
Kalau kita bicara soal terganggunya daya beli, memang harus dilihat dalam konteks situasi ekonomi yang sedang tidak baik-baik saja. Banyak terjadi pemutusan hubungan kerja atau PHK. Ditambah dinamika dan kebijakan dalam negeri yang belum sepenuhnya kondusif. Kenaikan harga-harga kebutuhan pokok meningkatnya beban utang rumah tangga serta tekanan biaya hidup lainnya, turut memperparah kondisi.
Lesunya perekonomian global juga memberi dampak domino terhadap sektor-sektor domestik, sehingga mempersempit ruang gerak masyarakat dalam melakukan konsumsi. Semua faktor ini berkontribusi terhadap menurunnya kemampuan dan kepercayaan masyarakat dalam membelanjakan uangnya.
Situasi ini tidak bisa dilepaskan dari dampak penerapan sistem ekonomi kapitalisme yang selama ini dijalankan, di mana orientasi utamanya lebih menitik beratkan pada pertumbuhan ekonomi semata; tanpa memperhatikan pemerataan kesejahteraan di tengah masyarakat. Sistem ini cenderung berpihak pada kepentingan pengusaha besar dan oligarki, sementara kesejahteraan rakyat justru terabaikan. Pada akhirnya memperlebar jurang kesenjangan sosial dan ekonomi.
Kebijakan yang membolehkan praktik riba, rendahnya standar upah pekerja, serta lemahnya perlindungan terhadap sektor-sektor rakyat kecil; turut memperparah kondisi daya beli Masyarakat. Terlebih lagi ketika peran negara dibatasi hanya sebagai fasilitator dan regulator. Akhirnya negara gagal sebagai pelindung dan penjamin kesejahteraan rakyat. Ketimpangan yang terjadi justru menjadi semakin sistemik dan sulit diatasi.
Berbeda dengan Islam memiliki sistem ekonomi yang sangat berbeda dengan kapitalisme. Jika sistem kapitalisme tidak mampu menjaga daya beli masyarakat agar tetap stabil, Islam justru mampu mewujudkannya.
Dalam sistem Islam yang diterapkan oleh negara Khilafah, menjaga daya beli masyarakat bukan hanya menjadi tanggung jawab moral negara, tetapi merupakan bagian dari kewajiban syari dalam mengatur urusan umat Islam. Sistem Islam menjadikan negara sebagai raain (pelayan) yang bertanggung jawab mengurus rakyat dan menyejahterakannya. Rasulullah bersabda :
"Imam adalah raain atau penggembala dan ia bertanggung jawab atas rakyatnya atau gembalaannya." (HR Bukhari).
Berikut beberapa prinsip, bagaimana Khilafah mampu menjaga daya beli masyarakat secara sistemik dan menyeluruh.
Pertama. Negara Khilafah bertanggung jawab langsung atas pemenuhan kebutuhan pokok; yakni sandang, pangan, dan papan setiap individu rakyat; bukan hanya sekedar mendorong pertumbuhan ekonomi ala kapitalis. Negara akan memastikan setiap warga mendapatkan akses terhadap makanan tempat tinggal dan pakaian yang layak, serta pendidikan dan kesehatan secara gratis.
Kedua. Khilafah mengharamkan riba dengan segala bentuknya. Dengan dihilangkannya riba, masyarakat terbebas dari beban utang berbunga yang selama ini menjadi salah satu penyebab melemahnya daya beli. Sistem keuangan yang dijalankan berbasis pada ekonomi riil (nyata), bukan spekulasi atau pasar uang.
Ketiga. Khilafah memastikan distribusi kekayaan terjadi secara adil melalui pengaturan kepemilikan dalam Islam dan larangan monopoli. Islam membagi kepemilikan menjadi tiga, yaitu : individu, umum, dan negara. Kepemilikan umum berupa aset-aset umum seperti tambang air listrik dan hutan. Tidak boleh dimiliki swasta, melainkan dikelola negara untuk kepentingan seluruh rakyat. Negara juga dapat memberi rakyat sebagian dari kepemilikan negara, berupa lahan atau lainnya.
Keempat. Negara akan mengawasi pasar secara langsung, agar tidak ada praktik penimbunan, manipulasi harga, atau kartel yang diharamkan syariat; serta merugikan konsumen. Jika ditemukan pelanggaran, negara bertindak tegas tanpa kompromi. Ini menjaga agar harga barang tetap terjangkau dan daya beli rakyat tetap kuat.
Kelima. Negara berkewajiban menyediakan lapangan kerja yang halal dan produktif. Jika ada rakyat yang tidak mampu mencukupi kebutuhan pokoknya karena tidak memiliki pekerjaan maka negara wajib membantu melalui Baitul Mal atau mengupayakan pekerjaan yang layak baginya.
Mekanisme zakat yang diwajibkan atas harta tertentu dan disalurkan langsung kepada delapan golongan termasuk fakir miskin memastikan kebutuhan dasar mereka terpenuhi. Ditambah dorongan untuk sedekah infak dan wakaf, akan mengalirkan kekayaan dari yang mampu kepada yang membutuhkan. Dengan begitu, daya beli relatif stabil dan kuat, karena dijaga dalam sistem ekonomi yang berpihak pada kemaslahatan umat.
Keenam. Dalam Khilafah, pemimpin atau Khalifah adalah pelayan rakyat, bukan wakil korporat atau pengusaha. Negara tidak boleh tunduk pada kepentingan segelintir elit, melainkan seluruh kebijakan ditujukan untuk kemaslahatan umat, termasuk dalam menjaga kestabilan daya beli.
Dengan prinsip-prinsip yang terperinci seperti di atas, sistem Khilafah bukan hanya menjaga daya beli Masyarakat, tetapi juga memastikan sistem ekonomi berjalan adil manusiawi dan sesuai syariat Islam.
Wallahualam Bisawab
Catatan Kaki :
(1) https://www.detik.com/edu/detikpedia/d-7841419/daya-beli-turun-gegara-precautionary-saving-apa-itu-ini-penjelasan-dosen-ekonomi
(2) https://www.tempo.co/ekonomi/daya-beli-masyarakat-lesu-di-awal-2025-deflasi-phk-massal-dan-krisis-global-jadi-pemicu-utama
Posting Komentar