-->

Menggadaikan Negara pada Taipan, Layakkah?


Oleh : Linda Anisa

Beberapa waktu lalu, publik kembali dikejutkan oleh pertemuan Presiden Prabowo dengan sejumlah taipan dan konglomerat ternama di Istana Negara. Nama-nama besar seperti Tomy Winata hingga Anthony Salim duduk bersama dalam forum eksklusif yang disebut-sebut sebagai ajang tukar pandangan tentang pengelolaan aset negara. Namun, publik patut bertanya: benarkah ini untuk kepentingan bangsa, atau justru untuk mengamankan kepentingan para pemilik modal?

Dalam laporan Tempo dan Kompas TV, disebutkan bahwa pertemuan ini melibatkan tokoh-tokoh besar dunia usaha dalam rangka mendapatkan pandangan investasi. Bahkan, menurut analisis dari Celios (Kontan), pertemuan ini diduga sebagai bagian dari konsolidasi kekuatan modal untuk mendukung pembentukan Badan Pengelola Investasi Danantara.
Namun, publik tidak lupa bahwa para taipan ini juga berada di balik banyak kontroversi proyek bermasalah: mulai dari penggusuran di Rempang, alih fungsi lahan di PIK2, hingga mega proyek IKN yang sarat kepentingan oligarki. Jika negara terus bersandar pada mereka, bukankah artinya negara sedang digadaikan kepada para pemilik modal?

Rakyat Diabaikan, Taipan Didekati

Dalam sistem demokrasi yang katanya dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat, justru rakyat sering kali menjadi pihak terakhir yang didengarkan. Dalam hal ini, Majelis Ulama Indonesia (MUI) pun angkat suara, mempertanyakan: “Kapan rakyat yang butuh keadilan dipanggil ke istana?” Sebuah sindiran tajam yang mencerminkan rasa kecewa dan kehilangan harapan.

Negara mestinya berpihak kepada rakyat, bukan kepada para pengusaha besar. Ketika kebijakan ditentukan berdasarkan kepentingan modal, maka sudah pasti rakyat hanya akan jadi korban. Penggusuran, pengabaian hak dasar, dan eksploitasi SDA adalah hasil nyata dari arah kebijakan yang dikuasai oligarki.

Demokrasi Kapitalisme: Akar dari Semua Ini

Apa yang kita saksikan hari ini bukanlah sekadar kekeliruan pemimpin, tetapi hasil logis dari sistem sekuler demokrasi kapitalisme yang kita anut. Sistem ini memberi ruang luas kepada para pemilik modal untuk ikut menentukan arah negara. Dalam demokrasi kapitalisme, uang adalah suara. Maka jangan heran jika kebijakan negara pun lebih sering berpihak kepada yang punya modal, bukan kepada rakyat jelata.
Negara bukan lagi pelindung rakyat, tapi berubah menjadi “makelar proyek” yang menjual sumber daya dan masa depan bangsa kepada investor.

Kepemimpinan Islam: Penguasa Sebagai Pelayan, Bukan Pedagang Negara

Berbeda dari sistem sekuler, Islam memandang pemimpin sebagai ra’in (penggembala) dan junnah (perisai) bagi rakyatnya. Seorang pemimpin dalam Islam tidak boleh tunduk kepada kekuatan kapital, apalagi menjadikan kekayaan negara sebagai komoditas politik.

Sistem pemerintahan Islam dibangun atas fondasi akidah dan syariah. Ia menjamin independensi negara dari cengkeraman asing maupun dalam negeri. Ia menata ekonomi agar kekayaan tidak hanya berputar di kalangan orang kaya saja. Dan yang paling penting, ia membangun anggaran negara dari sumber-sumber halal dan produktif, seperti kepemilikan umum dan pengelolaan harta zakat, sehingga negara mampu membiayai kebutuhan rakyat tanpa harus mengemis kepada para taipan.

Umat Harus Sadar, Umat Harus Bergerak
Sudah saatnya umat Islam menyadari bahwa sistem demokrasi kapitalisme hanya membawa penderitaan. Kita tidak bisa berharap perubahan dari dalam sistem yang rusak. Maka, satu-satunya solusi hakiki adalah kembali pada sistem kepemimpinan Islam, yaitu Khilafah yang menerapkan Islam secara menyeluruh dalam seluruh aspek kehidupan, termasuk ekonomi dan politik.

Perjuangan ini tidak akan berhasil tanpa keterlibatan umat. Maka, setiap Muslim memiliki kewajiban untuk ambil bagian dalam upaya perubahan ini. Membina pemahaman, menyebarkan kesadaran, serta mendukung gerakan dakwah ideologis yang memperjuangkan sistem Islam adalah langkah nyata yang harus diambil hari ini juga.

Khatimah

Mengundang para taipan ke istana bukan hanya persoalan teknis, tetapi cermin dari arah kepemimpinan dan paradigma bernegara yang dijalankan hari ini. Jika negara terus dikelola berdasarkan kepentingan modal, maka yang akan dikorbankan adalah kedaulatan dan kesejahteraan rakyat.
Layakkah negara ini digadaikan kepada para taipan? Jawabannya jelas: tidak layak.

Sudah saatnya kita hentikan kekuasaan berbasis kapitalisme, dan kembali menata kehidupan bernegara berdasarkan Islam sebagai ideologi, agar pemimpin benar-benar menjadi pelayan umat, bukan broker kepentingan pemilik modal.