-->

Pembelaan Palestina, Hanya Fatwa?

Oleh : Yuniasri Lyanafitri

Genosida yang tengah dilakukan Israel terhadap Palestina telah sampai kepada penghancuran total. Dilaporkan bahwa korban jiwa warga sipil Palestina telah mencapai ratusan pada beberapa hari terakhir. Blockade yang diberlakukan Israel pun semakin menyebabkan warga Palestina kekurangan makanan, bahan bakar, dan lainnya. (https://www.merdeka.com 5/4/2025)

Gambar dan video serangan hebat di Gaza menunjukkan kerusakan yang meluas di lingkungan padat penduduk. Hingga jurnalis Mohammed Abu Mostafa mengungkapkan rasa frustrasinya terhadap komunitas internasional dalam beberapa unggahan. “Selamat tinggal kepada komunitas paling pengkhianat dalam sejarah. Dalam beberapa jam, Gaza akan terhapus. Anda hanya akan menemukan kami di surga.” (https://mediaindonesia.com 6/4/2025)

Situasi yang semakin mengancam ini menjadikan sejumlah ulama muslim terkemuka mengeluarkan fatwa yang menyerukan jihad melawan Israel untuk melakukan intervensi militer, ekonomi, dan politik. Dalam fatwa tersebut juga mendorong negara-negara muslim untuk meninjau kembali perjanjian damai yang ada dengan Israel. Fatwa ini dikeluarkan oleh International Union of Muslim Scholars (IUMS) dan didukung oleh lebih dari selusin ulama yang memiliki reputasi tinggi di kalangan umat Islam.

Dari fatwa tersebut, beberapa negara telah menyatakan dukungannya, sementara yang lain masih berhati-hati dalam mengambil sikap. Alasannya mengingat sejarah panjang konflik ini dan berbagai kepentingan politik yang terlibat.

Fatwa merupakan keputusan hukum Islam yang tidak mengikat dari seorang ulama yang dihormati, biasanya berdasarkan Al Qur’an atau Sunnah sebagai ucapan dan praktik Nabi Muhammad saw. (https://mediaindonesia.com 6/4/2025)

Dari pengertian fatwa tersebut, dapat disimpulkan bahwa fatwa untuk melawan Israel bisa berarti boleh memilih untuk mendukung, mendiamkan, atau bahkan menolaknya. Karena memang fatwa tidak memiliki kekuatan mengikat. Sehingga tidak efektif untuk memaksa melakukan sesuatu. Apalagi yang diserukan hanya jihad defensif yang sebenarnya sudah dilakukan oleh kaum muslimin Palestina di bawah komando sebuah kelompok bersenjata. Karena selama ini kekuatan militer yang ada hanya dijadikan sebagai hiasan yang bahkan tidak menggentarkan pihak lawan. Penguasanya pun hanya gembar-gembor minim aksi.

Begitulah kekuatan fatwa yang sebenarnya. Kurang jelas dan tegas untuk persatuan kaum muslimin seluruh dunia dalam melawan penjajahan. Ada yang masih menimbang fatwa tersebut dimungkinkan atas dasar kepentingan kelangsungan negaranya. Atau kepentingan segelintir orang. Atau pertimbangan yang didasarkan pada dampak karena memberontak arahan Amerika sebagai negara adidaya yang menunjang semua kebutuhan Israel. Karena sudah rahasia umum bahwa Amerika-lah, negara yang mendukung penuh segala hal yang dilakukan Israel.

Padahal saat umat Islam bersatu, kemenangan Palestina atas Israel bukanlah angan-angan. Sebagaimana yang telah berjalan hingga saat ini, yakni aksi nyata boikot produk Israel. Aksi ini secara signifikan berpengaruh kepada pemasukan produk-produk Israel yang sedikit banyak menggerus kekuatan Israel. Namun, untuk seimbang melawan militer Israel harus juga menggunakan kekuatan militer yang mampu membuat musuh ciut.

Hal ini dapat diupayakan dengan adanya jihad sejati yakni jihad fisabilillah dengan kekuatan militer untuk menyerang dan menghancurkan musuh sampai ke akarnya. Upaya tersebut dapat direalisasikan dengan adanya komando dari seorang pemimpin kaum muslimin seluruh dunia. Jadi, harus ada seorang yang kapasitasnya sebagai pemimpin untuk menyeru seluruh kaum muslimin untuk bersatu bukan hanya dari seorang ulama dunia.

Oleh karena itu, suatu kepentingan dan kebutuhan yang genting untuk segera mewujudkan kepemimpinan yang satu sebagaimana seharusnya. Sekaligus menjadi fokus utama oleh gerakan-gerakan dakwah yang konsern ingin segera membebaskan muslim Palestina dari kekejaman Israel. Sebab kepemimpinan satu dunia ini membutuhkan dukungan mayoritas umat sebagai buah dari proses penyadaran ideologis.

Karena umat adalah pemilik hakiki kekuasaan. Sehingga di tangan merekalah ada kemampuan untuk memaksa penguasa yang ada untuk segera melakukan keinginan umat yang sesuai dengan syariat. Entah menjadi penguasa yang benar atau menyerahkan kepemimpinan tersebut kepada penguasa yang benar sesuai syariat.

Sebagai makhluk, manusia diciptakan hanya untuk menyembah kepada Allah swt dan berhukum dengan aturan yang Allah swt. turunkan pada setiap aspek kehidupan termasuk dalam berpolitik yang didalamnya ada kepengurusan umat secara keseluruhan.

Allah swt berfirman yang artinya, “Manusia itu adalah umat yang satu. (setelah timbul perselisihan), maka Allah mengutus para nabi, sebagai pemberi peringatan, dan Allah menurunkan bersama mereka Kitab yang benar, untuk memberi keputusan di antara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan. Tidaklah berselisih tentang Kitab itu melainkan orang yang telah didatangkan kepada mereka Kitab, yaitu setelah datang kepada mereka keterangan-keterangan yang nyata, karena dengki antara mereka sendiri. Maka Allah memberi petunjuk orang-orang yang beriman kepada kebenaran tentang hal yang mereka perselisihkann itu dengan kehendak-Nya. Dan Allah selalu memberi petunjuk orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus.” (Q.S. Al Baqarah : 213)

Wallahu’alam bishshowwab